Angin dan hujan malam itu mengantarkan kami sampai tiba di Kota Kaimana kira-kira Jam 8.40 malam. Waktu yang bagi sebagian orang sangatlah berbahaya untuk menyeberangi tanjung Simora mengikuti kuatnya arus sungai Arguni hanya dengan perahu motor tanpa alat navigasi yang cukup, bergantung pada instinct dan pengalaman sang driver boat. Wajar saja kami tiba tengah malam, karena jarak tempuh yang kami lewati adalah sekitar 6 jam dari hulu sungai Airguni Kampung Kensi tempat dimana kami memulai perjalanan dengan long boat - alat transportasi yang menjadi pilihan utama masyarakat. Dari kensi kami baru bertolak jam 2.45 siang, tetapi karena harus mengejar jadwal yang padat, kami pun harus bisa sampai di Kota untuk melanjutkan assesstment dan kajian yang harus kami lakukan terkait Hasil Hutan Bukan Kayu dari kampung Kensi. Ini adalah akhir cerita penting dari perjalanan kami ke Kampung Kensi dan mengantarkan saya pada tulisan ini tentang kampung Kensi - diujung batas kaimana dan teluk Bintuni dan Diantara batas Suku Mairasi dan Suku Kuri.
Kampung Kensi Distrik Arguni Atas Kabupaten Kaimana adalah bagian dari kampung-kampung pedalaman yang sulit dijangkau - beberapa diantaranya yang terkenal juga adalah kampung Yamor di Timur Kaimana yang berbatasan dengan Kabupaten Nabire, Papua. Tidak tanggung-tanggung untuk mencapai Kampung yang letaknya yang diutara Kabupaten Kaimana ini minimal waktu 7 jam perjalanan harus disediakan untuk mencapai tempat ini dari Kota. Waktu tempuh tersebut mencakup 6 Jam mengarungi laut, masuk sungai sampai ke muara sungai Kensi dan kemudian dilanjutkan dengan 1 jam berjalan kaki menuju kampung menapaki tebing terjal dan menyeberangi beberapa aliran sungai kecil. Bagi saya, ini adalah pengalaman travelling yang mengasikan menjelajahi Tanah Papua dan memahami bagaimana tidak sederhananya percepatan pembangunan untuk target pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan manfaatnya oleh mereka yang tinggal di tempat-tempat terpencil ini. Selefanus Ayi, salah satu masyarakat lokal yang menemani kami pada perjalanan ini mengatakan bahwa "menghitung waktu pasang surut air laut dan sungai harus dilakukan untuk memastikan kita bisa mencapai titik pemberhentian terakhir dari perahu sebelum ke kampung karena apabila terlambat perahu motor tidak bisa mencapai titik terjauh yang artinya kita akan jalan lebih jauh lagi". Infomasi ini dibuktikan memang dengan bagaimana surutnya air dan membuat jalur ke muara sungai menjadi dangkal dan kelihatan bebatuan sungai dibawahnya yang bisa kita langkahi atau lewati dengan hanya berjalan kaki. Pada saat trip balik ke kota, kamipun diberikan pelajaran berharga akan hal ini, terutama karena tidak disiplin dengan info waktu pasang surut air. Karena terlambat berangkat di kampung untuk mencapai titik penjemputan perahu, kami harus menunggu hampir 3 jam di titik penjemputan untuk air kembali pasang dan perahu bisa naik menjemput kami.
Pemandangan yang indah, udara yang sejuk, makanan yang organik dan fresh menyambut dan memberikan cerita tersendiri dari perjalanan panjang ini dan menghilangkan kelelahan yang dirasakan. Kampung Kensi yang berpenduduk hampir 170 jiwa dalam 23 KK ini tersembunyi diam diatas pegunungan utara Kaimana. Kondisi inilah yang menjadi faktor bagaimana hampir 90% penghidupan masyarakat bergantung dan sumber daya alam. Bahkan untuk cash income sebagian dari mereka bergantung dari pembayaran hak ulayat atas hutan yang dimanfaatkan kayu-nya oleh PT. Wanakayu Hasilindo sedangkan sebagian lainnya masih menjual kulit masohi dan daging buruan tetapi jumlah-nya cukup terbatas.
Posisi dan letaknya yang sangat jauh dari kota sepertinya menjadi faktor utama yang mempengaruhi bagaimana masyarakat di Kampung Kensi tidak banyak mengakses pendidikan yang baik. Terlepas dari fakta tersebut letaknya yang berada pada pertemuan dua kabupaten dan dua suku secara sosial dan administrasi seharusnya menjadikan kensi perhatian tersendiri oleh pemerintah. Dengan jumlah penduduk yang kecil hanya 23 Kepala Keluarga dengan struktur sosial yang sederhana karena hampir 98% penduduk di Kensi adalah Marga Yafata dari Suku Mairasi pendekatan pembangunan melalui jalus sosial dan adat sepertinya bisa menjadi pilihan. Tetapi tentu tantangan untuk mendekatkan pelayanan publik dan akses terhadap fasilitasi penunjang terutama pendidikan dan kesehatan adalah besar, termasuk pembangunan ekonomi masyarakatnya dengan pilihan pada pemanfaatan hasil hutan. Perjalanan panjang pulang pergi dengan jarak dan waktu tempuh yang jauh serta bagaimana tantangan dalam kemampuan mengenal alam dan waktu pasang surut adalah pengalaman dan pelajaran penting. Kensi yang berada di ujung utara kaimana dan merupakan kampung terluar yang berbatasan dengan Kabupaten teluk bintuni memberikan cerita dan catatan tersendiri akan Papua dan dinamika tantangan pembangunan yang dihadapi untuk menjawab tujuan pemerataan.