Berawal dari obrolan singkat siang ini dengan Abang Lichin dan Mas Risdianto, dua Senior NGO di Papua Barat tentang potensi Kulit Masohi yang besar di wilayah teluk bintuni saya kemudian mencoba untuk menelusuri informasi-informasi yang ada tentang Masohi. Perkenalan saya dengan produk alam yang cukup terkenal dari Papua ini secara langsung terjadi ketika studi bersama IUCN dan Samdhana Institute yang dilakukan di Kampung Kensi Kabupaten Kaimana Tahun 2009. Dimana studi ini membawa kami untuk mendaftarkan dan mengidentifikasi kondisi market untuk merangkai pilihan ekonomi yang tepat kepada masyarakat adat. Masohi menjadi produk yang disebutkan oleh masyarakat kensi berkontribusi besar terhadap ekonomi masyaraka di kampung sekalipun sebenarnya mereka rugi karena cost yang lebih besar dari profit. Mungkin mereka menjadi terus rugi karena menjual mentahan kulit masohi yang nilai jual-nya tidak besar dan tidak mampu menutupi biaya logistik pengiriman barang (kulit) ke pasar. Pada saat itu, Pak Andrew Ingles dari IUCN dengan hasil assessment yang kita lakukan memberikan saran agar dua opsi dilakukan yaitu (1) membangun hutan tanaman masohi untuk pasokan yang lebih stabil dan (2) introduksi teknologi penyulingan untuk membantu meningkatkan nilai tambah dari produk daripada masyarakat hanya menjual kulit dengan harga yang merugikan mereka di kota.
Saya mencoba untuk menelusuri cerita tentang masohi, memulai dengan mengetik "jual minyak masohi Papua". Sayapun dibawa Google ke beberapa pilihan informasi. Perhatian saya kemudian tertuju khusus pada info google dimana link-nya adalah tokopedia.com. Sebagai orang Indonesia, tokopedia kita kenal baik sebagai salah satu situs e-commerce yang sangat aktif dan lancar transaksi. Didalam tokopedia muncul sekitar 10 iklan produk minyak kulit masohi dengan kisaran harga yang kurang lebih sama. Semua penjual berdomisili di luar Papua, mereka tersebar di Jakarta, Surabaya dan Palu. Harga terendah yang disajikan disitu adalah Rp.80,000 rupiah untuk minya dengan ukuran botol 25ml sedangkan harga tertinggi adalah Rp.440,000 untuk botol 80ml. Nilai ekonomi produk yang besar tentunya. Informasi dari Litbang Kehutanan Manokwari sebagaimana di upload di http://www.forda-mof.org/files/HHBK-Potensi_Pemberdayaan_Masyarakat_Sekitar_Hutan.pdf , bahwa dipasaran nilai minyak masohi dihargai rata-rata Rp. 3,250,000/liter: itupun tergantung dari kandungan "Lactone" didalamnya untuk kandungan lakton yang tinggi mencapai 70% nilai jualnya bahkan bisa mencapai Rp. 4,500,000/liter.
Apa sebenarnya yang spesial dari kulit pohon ini? Kenapa nilai jual per liter-nya begitu tinggi dipasaran? Pertanyaan ini terjawab dengan beberapa literatur. Dari situs https://www.britannica.com/science/lactone misalnya saya menemukan informasi bahwa inti dari pohon kulit kayu Masohi adalah kandungan 'Lactone' yang merupakan bagaian dari gugus ester asam pekat. Lactone selama ini menjadi asam organic yang dipakai di industri parfum ingredient, kosmetik, plastik, vitamin C dan antibiotic. Situs http://beneforce.com singkat tetapi tegas menyebutkan contoh penggunaan extract lactone ini untuk mengurangi kesuburan pria, dan digunakan di china untuk praktek ini. Sehingga penggunaan secara berlebihan sangat tidak disarankan. Lebih jauh http://indonetwork.co.id memberikan penegasan tentang rasa manis tetapi panas yang dihasilkan sebagai akibat dari reaksi kimia dari lactone, sehingga beberapa minyak urut sebagaimana yang dipromosikan di tokopedia adalah untuk menjadi minya urut. Literatur-literatur ini secara padat membantu saya untuk memahami apa manfaat pohon ini dan kenapa nilai jualnya tinggi serta tingkat pencarian-nya begitu tinggi di Papua.
Hanya Kulit yang Dijual Masyarakat
Sumber: http://hutanpapua-indonesia.blogspot.co.id/2015/10/teknologi-budidaya-kulit-masohi.html
Mempelajari tentang Masohi dan fakta bahwa kayu ini adalah endemic Papua dan hanya ditemukan di Papua memberikan perasaan sedih bahwa inilah kekuatan ekonomi Papua yang belum optimal manfaatnya dirasakan masyarakat. Kesedihan itu tentu berkaca dari bagaimana masyarakat Kensi dan Masyarakat di Irarutu Teluk Bintuni hanya menjual kulit kayu saja kepada penadah. Introduksi teknologi yang didorong dengan paket pengembangan kapasitas kepada masyarakat untuk proses penyulingan, kontrol mutu dan pengemasan belum dilakukan optimal. Informasi bahwa nilai jual di kampung sebesar 8000 rupiah/kg sangatlah jauh dari nilai di tingkat pengempul yaitu Rp. 40,000 - 50,000 rupiah/kg.
Minim Perhatian
Sama seperti produk-produk unggulan Papua lainnya, kulit masohi yang sudah jelas diketahui nilai pasar dan juga kebutuhan industrinya belum dilihat sebagai sumber kekuatan ekonomi kehutanan di Papua. Pemberian ijin konsesi kayu dan pembukaan lahan untuk peruntukan non kehutanan sayangnya terus naik menjadi prioritas daerah yang jelas konsekuensinya pada hilangnya aset-aset ekonomi yang mungkin sengaja di abaikan ini. Minim perhatian jelas sekali dari bagaimana tidak adanya kajian lengkap yang diikuti dengan rencana pengembangan produk unggulan daerah dari masohi. Regulasi daerah untuk perlindungan ekologi masohi pun tidak ada.
Membangun Ekonomi Rakyat dari Masohi
Pemanfaatan sumber daya hutan yang benar sudah pasti akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat terutama masyarakat adat yang saat ini hidup didalam hutan adatnya dalam kemiskinan. Pemerintah bersama dengan smua pihak perlu memberikan perhatian serius pada pengembangan usaha masohi sebagai produk unggulan daerah. Pembangunan hutan tanaman masohi dan pengembangan industri destilasi di tingkat kampung bisa menjadi langkah awal yang harus dibangun di tingkat tapak. Yang kemudian dilanjutkan dengan fasilitasi pemasaran dan kontrol kualitas dan harga untuk menjamin kelancaran bisnis masyarakat yang mengelola dan memanfaatkan masohi.