Tanggal 20 Maret 2019 melalui proses Paripurna, DPRD
Provinsi Papua Barat telah menetapkan 7 RAPERDASUS,
salah satu diantara ketujuh RAPERDASUS tersebut adalah RAPERDASUS tentang
Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat. PERDASUS ini hadir sebagai bagian
dari upaya Pemerintah Provinsi Papua Barat menjalankan Amanat dari Pasal 43 dari
UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Berpijak pada kondisi de facto dimana
klaim hak atas wilayah adat oleh masyarakat adat di Papua sangat kuat, regulasi
PERDASUS yang ditetapkan diharapkan berdiri sebagai payung pelaksanaan pengakuan,
perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua di Provinsi Papua
Barat.
Photo: Sekda Provinsi Papua Barat (Kiri) Mendampingin Ketua DPRD Provinsi Papua Barat (Kanan) mendandatangani berita acara hasil pleno 7 Raperdasus Papua Barat. Sumber: papuakita.com
Berdasarkan Peta
Wilayah Budaya yang di overlay dengan peta batas administrasi Provinsi Papua
Barat diketahui bahwa Papua Barat berada pada 3 wilayah budaya di Papua yaitu
Domberai, Bomberai dan Saireri. Dimana:
Wilayah Domberai mencakup: Kabupaten
Sorong, Kota Sorong, Raja Ampat, Manokwari, Manokwari Selatan, Sorong Selatan,
Maybrat dan sebagian Kabupaten Bintuni dan Teluk Wondama. Wilayah Bomberai mencakup: Kabupaten Fakfak, Kaimana dan Sebagian
Teluk Bintuni. Dan Wilayah Saireri
mencakup Sebagian Kabupaten Teluk Wondama.
Kompilasi sementara yang dilakukan berdasarkan Stock Taking
Diskusi “Menyusun Peta Jalan Pendaftaran Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat”
tercatat terdapat kurang lebih 35 Suku Besar di tiga wilayah budaya di Provinsi
Papua Barat.
Didalamnya terdapat beberapa Sub Suku dan ribuan marga yang secara sosial
memegang otoritas penuh dalam pemilikan dan penguasaan wilayah adat. Bentuk
pemilikan dan pengusaan wilayah adat bersifat patrilinear dimana garis
keturunan laki-laki di diakui sebagai pewaris wilayah adat. Sekalipun pada
beberapa suku pembagian pemilikan dan penguasaan antara laki-laki dan perempuan
juga terjadi dan teratur secara baik tanpa konflik.
Kehadiran PERDASUS Pengakuan Masyarakat Adat dan
Wilayah Adat membuka pintu untuk langkah baru dalam menjawab
persoalan-persoalan pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat
yang selama ini dinilai belum baik dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Secara
ringkas terdapat 6 persoalan dan tantangan mendasar dalam melaksanakan PERDASUS
pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di Papua Barat,
yaitu:
- Belum
tersedianya data dan informasi yang lengkap tentang masyarakat adat dan wilayah
adat-nya. Jumlah data spasial, narasi dan tabulasi informasi sosial dari
masyarakat adat dan wilayah adatnya masih sangat minim dan cenderung tidak bisa
di temukan di pemerintah. Salah satu ukuran ketidakseriusan dalam urusan data
adalah referensi jumlah suku yang tidak konsisten antara beberapa sumber yang
terpublish dan menjadi referensi. Peta wilayah adat untuk semua suku juga belum
semuanya selesai. Berdasarkan update Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) di
situ www.brwa.or.id bahwa baru 1 sub suku
yaitu Sub Suku Moi Kelim dari Suku Moi di Kabupaten dan Kota Sorong yang
pemetaan-nya telah terverifikasi selesai. Selain daripada data spasial tentang
wilayah adat, keterbatasan data tentang potensi sumber daya alam dan
kajian-kajian lanjutan tentang peluang pengembangan ekonomi masyarakat adat
juga sangat terbatas. Sehingga formulasi scenario pembangunan ekonomi
masyarakat adat berbasis pada potensi di setiap wilayah adat dan kekuatan
sosial masyarakat adatnya tidak banyak tersedia.
- Keterancaman Kehilangan Tanah Adat dan
Kehilangan Nilai Manfaat Wilayah Adat. Bagi beberapa komunitas adat, regulasi
PERDASUS yang baru ditetapkan dianggap sangat terlambat dihadirkan, karena sebagian
dari mereka telah kehilangan hak atas wilayah adat sebagai akibat dari expansi
investasi dan pembangunan. Bahwa ruang-ruang hidup dan ruang kelola yang
menopang ekonomi mereka telah menjadi milik pihak lain. Atau kondisi-nya sudah
rusak dan tidak produktif sekalipun masih dimiliki/dikuasai oleh masyarakat
adat. Munculnya gerakan sosial di masyarakat adat dengan berbagai aksi
penolakan dan perlawanan terhadap investasi adalah salah satu wujud/bentuk dan
dari perasaan terancam.
PERDASUS sendiri perlu menjadi payung hukum dalam mengatur tentang penggunaan,
pemanfataan wilayah adat yang tetap menjaga nilai manfaat utama wilayah adat
bagi masyarakat.
Konflik
Internal di Masyarakat Adat dan kemajemukan Lembaga Adat. Beberapa pihak
mengatakan bahwa salah satu alasan kenapa pembangunan tidak berjalan optimal
karena konflik klaim hak atas wilayah adat antar masyarakat yang tidak selesai.
Ketidakpastian keamanan tenure hak atas tanah cenderung mempengaruhi keputusan
pihak luar untuk membangun di Papua. Kondisi ini pada beberapa kasus diperparah
dengan ketidakaktifan Lembaga Adat. Regulasi PERDASUS yang baru ditetapkan akan
bergerak efektif apabila ada kelembagaan adat yang kuat mengorganisir
masyarakat adat-nya untuk mengetahui pijakan hukum proteksi hak mereka dan memfasilitasi pelaksanaan upaya-upaya perlindungan tersebut. Fakta bahwa terdapat
beragam Lembaga Adat dengan garis koordinasi dan komunikasi yang tidak saling
sambung menjadi persoalan khusus yang harus ditata. Ditambah lagi dengan
orientasi dan misi dari Lembaga Adat yang pada beberapa kasus keluar dari
kesakralan urusan adat menciptkan kesan bahwa ‘adat’ adalah komoditi untuk kepentingan tertentu. Setidaknya ada 5 bentuk kelembagaan adat yang
dominan kita jumpai di Papua Barat, yaitu: LMA (Lembaga Masyarakat Adat), DAP
(Dewan Adat Papua), DPMA (Dewa Persekutuan Masyarakat Adat), DAS (Dewan Adat
Suku) dan Kepala Suku. Kesemuanya berdiri dengan kiblat dan mashab masing-masing, namun dengan basis konstituen
masyarakat adat yang cenderung sama. Pengunaan nama juga cenderung membingunkan;
ada yang menggunakan nama Suku, Ada yang menggunakan nama Kabupaten atau kota
bahkan ada yang menggunakan nama dengan istilah tertentu yang diambil dari
Bahasa daerah setempat. Carut marut kelembagaan adat ini berimplikasi pada
kurang efektif-nya layanan kepada penyelesaian sengketa tanah adat. Pelaksanaan
PERDASUS di Papua Barat perlu di kemas secara baik untuk memastikan keberagaman
‘mashab’ Lembaga adat dapat terkelola dengan baik untuk mendukung masyarakat
adat konstituen-nya.
- Minim
regulasi, belum jelas tata Layanan Urusan Masyarakat Adat Papua di Pemerintah
Provinsi Papua Barat. OTSUS sejauh ini diakui hanya menjebak pemerintah
Provinsi Papua dan Papua Barat dari segi jumlah uang yang harus di habiskan
dengan ukuran fisik dan makro impact dari distribusi uang tersebut.
Masih banyak masyarakat adat Papua dengan keterbatasan pemahaman dia tentang
OTSUS menilai kebijakan ini telah gagal dan tidak mampu menjawab persoalan di
Papua. Hal mendasar yang menjadi penyebab ‘kegagalan’ ini adalah kekosongan dan
ketidakjelasan tata layanan urusan masyarakat adat Papua di Pemerintah Daerah
Provinsi. Sejak diberlakukannya UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
yang kemudian oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat di tindaklanjuti dengan
penetapan PERDA No 07 Tahun 2016 Tentang Organisasi Perangkat Daerah di
Provinsi Papua Barat setidaknya adalah 5 OPD dan Biro yang beririsan kuat
sebagai OPD kunci dalam pelasakaan PERDASUS Tentang Pengakuan Masyarakat Adat
dan Wilayah Adat yaitu: Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan, Dinas Kehutanan,
Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung, Biro Otonomi Khusus dan BAPPEDA - Bidang
OTSUS. Secara politis kelima OPD/Biro ini secara kuat di tunjang oleh MPR PB
dan DPRD Fraksi Otsus. Yang artinya kekuatan kelembagaan di Pemerintah Provinsi
Papua Barat sudah cukup kuat. Tinggal kemudian membangun koordinasi dan
komunikasi yang efektif antar OPD, Biro, Lembaga Kultur dan Legislatif dalam
pelaksanaan PERDASUS. Keterbatasan kapasitas, pemahaman dan paradigma kerja
yang bias pada pelaksana tugas di OPD, Lembaga dan Biro tersebut diatas
kemudian makin memperparah persoalan di level tata layanan.
- Sinergitas
Kebijakan di Kabupaten Kota dengan Regulasi di Tingkat Provinsi. Sebelum
RAPERDASUS Masyarakat Adat dan Wilayah Adat ditetapkan, ada 3 Kabupaten yang
telah lebih dulu maju dan menetapkan regulasi daerah tentang pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten
Sorong, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Teluk Bintuni (lihat table di lampiran 2). Kehadiran PERDASUS sediannya memperkuat
regulasi-regulasi ini dan bukan sebaliknya menggugurkan pelaksanaan dari
regulasi-regulasi tersebut. PERDASUS perlu berdiri sebagai panduan dan kerangka
hukum di tingkat Provinsi untuk membangun layanan terhadap pelaksanaan dari
regulasi-regulasi yang sudah di tetapkan di tingkat kabupaten/kota.
- Belum
ada konsep membangun ekonomi daerah berbasis kekuatan sosial adat dan potensi
di masyarakat adat. Pemerintah cenderung melihat masyarakat adat sebagai
subject sosial yang lemah, miskin, tak berdaya dan kurang pengalaman.
Pendekatan pembangunan ekonomi berbasis teori modern sejauh ini cenderung
mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait pembangunan ekonomi daerah dan
investasi.
Minimnya asistensi dan bentuk capacity development ke masyarakat yang didesain
berdasarkan kekuatan sosial budaya. Program-program pemerintah cenderung
bergerak tanpa konsep dan mekanisme pembangunan ekonomi masyarakat adat yang
telah diuji. Yang terjadi kemudian adalah meningkatnya ketimpangan sosial
antara masyarakat adat Papua dengan para pelaku ekonomi luar yang masuk ke
Papua. Secara makro, pemerintah patut berbangga bahwa angka kemiskinan di
Provinsi Papua Barat bergerak turun, begitu juga IPM dan pendapatan per kapita
penduduk di Provinsi Papua Barat bergerak naik. Tetapi pemerintah mungkin tidak
jeli melihat angka lain bahwa pertumbuhan penduduk di Papua Barat juga
mengalami peningkatan yang besar seiring dengan migrasi penduduk yang meningkat.
Yang artinya kemungkinan IPM dan income perkapita yang meningkat di Papua Barat
adalah pengaruh dari jumlah migrasi dengan kualitas pendidikan dan level
ekonomi yang mapan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas
hidup masyarakat adat Papua mungkin masih rendah karena tidak ada analisis
kondisi micro pada skala masyarakat adat Papua yang keluar angka real
statistiknya
Jadi kemudian pertanyaan-nya apa saja yang harus dilakukan agar
operasionalisasi PERDASUS Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di
Provinsi Papua Barat dapat berjalan sesuai harapan?
Melihat kembali pengalamana fasilitasi kerja-kerja tenurial yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dan lembaga adat yang selama ini berjalan, beberapa point berikut sepertinya perlu menjadi perhatian serius:
- Memulai
dengan data yang lengkap dan akurat. Pemerintah tentu sadar bahwa perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan yang benar harus beranjak dari data yang lengkap
dan akurat. Tanggung jawab besar yang harus dilakukan bersama oleh pemerintah
provinsi Papua Barat adalah memastikan data dan informasi tentang masyarakat
adat dan potensi-nya tersedia secara lengkap dan terupdate secara berkala. Kegiatan pemetaan wilayah adat, kajian
sosial dan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat didalam
wilayah adat-nya adalah kegiatan-kegiatan yang harus mendapatkan perhatian
serius oleh pemerintah daerah.
- Melakukan penetapan legal keberadaan masyarakat
adat dan hak-nya atas wilayah adat, serta memberikan proteksi akses masyarakat
adat terhadap sumber daya alam yang dimiliki. Kontestasi klaim antara pengaturan hutan dan
lahan menurut negara dengan de facto klaim hak atas tanah adat harus
dijembatani dengan pengembangan regulasi-regulasi, tata layanan dan supervise
yang kontinyu.
Pemerintah daerah provinsi Papua Barat harus juga bisa membangun system
pendaftaran wilayah dan asset adat yang membantu masyarakat adat dalam
meregistrasi hak-nya untuk dicatatkan dalam buku negara. PERDASUS yang telah
ditetapkan tentu baru akan bisa operasional kalau kelengkapan regulasi
pelaksana dan unit layanannya telah terbangun di Provinsi Papua Barat
Minutes meeting dengan Kepala Biro Hukum Provinsi Papua Barat, 19 Februari 2019 – Hotel Valdos, Manokwari