Tim Dinas Kehutanan Provinsi Papua, UNIPA, WWF dan Samdhana Institut
Jayapura, Maret 2014
URGENSI
PENERAPAN SVLK
ATAS
IMPLEMENTASI IUPHHK-MHA
A. Kerangka Masalah
Papua dengan luas hutan mencapai
31 juta ha, secara national memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan kehutanan. Praktek pengelolaan hutan yang berjalan
sampai saat ini di Papua diakui telah memberikan nilai tambah yang besar baik terhadap peningkatan
pendapatan daerah maupun pembangunan ekonomi local sampai keterbukaan akses
masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Hutan Papua dengan kekayaan
alamnya yang besar, masih memberikan tantangan besar bari para aktor kehutanan
dan lingkungan dalam pengelolaannya. Secara social (1) pengelolaan hutan di
Papua belum secara signifikan memberikan pengaruh pada penuntasan kemiskinan
masyarakat, (2) masih tinggi konflik antara masyarakat adat dengan pengakuan de facto sebagai pemilik hak adat atas
sumber daya hutan dengan pemerintah sebaga pengatur dan perusahaan sebagai
pengelola, (3) pembagian manfaat yang tidak adil yang juga mengakibatkan
kesenjangan dan ketidakadilan dan (4) minimnya partisipasi masyarakat dalam
praktek pengelolaan hutan secara legal. Pada aspek ekonomi-pembangunan, diakui
bahwa nilai manfaat pengelolaan hutan bagi daerah/negara masih belum dipungut
secara optimal akibat praktek-praktek pemanfaatan hutan di masyarakat yang
belum memiliki izin legal. Hal ini terjadi sebagai implikasi dari kesenjangan
ekonomi di tingkat masyarakat dan ruang akses legal yang masih sulit diperoleh masyarakat adat terutama dibidang legalitas
produksi kayu masyarakat adat.
Persoal-persoalan di atas tentu
menjadi “boomerang” terhadap citra pembangunan kehutanan nasional yang
bertemakan ‘hutan untuk kesejahteraan masyarakat’. Secara local, memberikan kritik terhadap Papua
dengan UU Otonomi Khusus yang merupakan
lex specialist bagi pembangunan di Papua yang belum mampu menjawab
kebutuhan pembangunan.
Merespon permasalah d iatas dengan
belajar dari pengalaman IPKMA pada periode 2002 – 2003 yang memberikan
penekanan pada lemahnya aspek kebijakan teknis, control dan monitoring serta mekanisme
verifikasi yang tersistem, beberapa langkah maju telah digagas di Papua..
Pemerintah Daerah provinsi dengan mengacu pada UU 21 Tahun 2001 tentang Otsus
dan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan membentuk Peraturan Daerah Khusus
Provinsi Papua (PERDASUS) No 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan di Papua. Perdasus dengan menekankan pada harmonisasi kepentingan
nasional dan Papua, telah memberikan ruang legal bagi masyarakat adat asli
papua untuk berkesempatan mengelola sumber daya hutannya – dengan kayu sebagai
salah satu hasil hutan yang dikelola. Dibawah PERDASUS 21 Tahun
2008, 3 skema pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dikembangkan yaitu:
(1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Masyarakat Hukum Adat
(IUPHHK-MHA), (2) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman
Rakyat Masyarakat Hukum Adat (IUPHHHTR-MHA) dan Izin Usaha Industri Primer
Hasil Hutan (IUIPHH).
Merespon
kebutuhan pengaturan legal teknis pengelolaan dan pemanfaatan di dalam skema
IUPHHK-MHA, IUPHHK-HTRMHA dan IUIPHH, sebanyak 9 Peraturan Gubernur (PERGUB) dan
4 SK Kepala Dinas kehutanan dan
Konservasi untuk mengatur tentang control dan monitoring peredaraan hasil hutan
Izin usaha masyarakat hukum adat. Semangat dari PERDASUS dan Peraturan Gubernur tersebut adalah menata
pengelolaan hutan di Provinsi Papua untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Papua khususnya masyarakat hukum adat, menghormati dan menghargai hak-hak
masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, memberikan kesempatan kepada
masyarakat adat Papua untuk berperan aktif dalam pengelolaan hutan lestari untuk
peningkatan kesejahteraan hidupnya sekaligus mendukung optimalisasi nilai
manfaat hutan Papua bagi Negara melalui izin-izin pengelolaan kayu rakyat yang
legal.
B. Tujuan
Kebijakan pemberian ruang kepada masyarakat hukum adat untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutannya melalui IUPHHK-MHA, IUPHHH-TRMHA
dan IUIPHH adalah:
·
Akses
legal: Memberikan akses legal kepada MHA untuk mengelola hutan dengan
menggunakan prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan legalitas produksinnya
·
Peluang
usaha: Memberikan peluang usaha bagi masyarkat adat Papua untuk mampu
secara professional membangun bisnis
produktif serta berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah.
·
Nilai
Tambah: Meningkatkan nilai tambah hutan dan hasil hutan yang berdampak
langsung kepada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan tunai masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam
dan di sekitar hutan.
·
Pertumbuhan
Ekonomi: Menertibkan dan mengendalikan kegiatan pemanfaatan hutan dan
hasil hutan di Provinsi Papua, sehingga hak-hak negara (Pajak dan PNBP) dapat terealisasi dengan baik.
·
Sertifikasi:
mengupayakan agar IUPHHK-MHA mendapatkan
sertifikat legal dengan standar SVLK
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup tulisan
ini adalah pengaturan mekanisme pemanfaatan hutan dengan menggunakan
prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi lestari bagi Masyarakat Hukum Adat
(MHA) dengan standar legal SVLK.
D. Manfaat
- Terjaminnya
kepastian hukum dan kepastian berusaha, baik kepada masyarakat hukum adat
selaku pemegang IUPHHK-MHA, maupun bagi para investor di bidang kehutanan yang bermitra dengan
IUPHHK-MHA
- Meningkatnya kesejahteraan dan keberdayaan MHA
yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
- Meningkatnya
pertumbuhan ekonomi lokal yang
berpengaruh terhadap meningkatnya kekuatan fiskal daerah.
- Meningkatnya
stabilitas sosial, politik dan
ekonomi untuk meminimalisir konflik dan bibit disintegrasi bangsa di Tanah Papua.
- Pemanfaatan
hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dapat dilaksanakan secara
legal, terkendali dan menggunakan
prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
- Mengurangi
praktek-praktek “Illegal Logging”
yang dilakukan oleh masyarakat maupun
oleh mitra kerja.
E. Konsep Legal
IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHH di Papua
Matriks berikut secara rinci menampilkan konsep legal IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA
dan IUIPHH di Papua:
Table. 1. Konsep IUPHHK-MHA dan IUPHHHTR-MHA
|
IUPHHK-MHA
|
IUPHHK HTR-MHA
|
Lokasi
|
·
Berada dalam hak ulayat masyarakat
di kampung yang diusulkan
·
Kawasan hutan produksi tetap,
·
Hutan produksi yang dapat
dikonversi,
·
Kawasan Budidaya Non
Kehutanan/Areal Penggunaan Lain
·
Apabila areal telah dibebani
perizinan usaha pemanfaatan hutan kayu dilakukan pola kerjasama kemitraan
|
· Tanah
hak ulayat yang merupakan lahan kritis, tidak produktif, baik yang berada di
dalam kawasan hutan produksi atau kawasan budidaya non kehutanan
· Tidak
dibebani izin/hak lain
·
Letaknya diutamakan dekat dengan
lokasi industri hasil hutan.
|
Pemohon
|
Untuk IUPHHK-MHA
·
Koperasi masyarakat pemilik hak
ulayat
·
Badan usaha milik masyarakat hukum
adat
|
Pemohon IUPHHK HTR-MHA
· Kelompok
tani atau koperasi atau badan usaha yang dibentuk oleh pemilik hak ulayat
yang telah memperoleh pengesahan dari lembaga adat, kepala kampung dan
diketahui oleh kepala distrik
Kelompok tani/ koperasi/ badan
usaha yang dibentuk masyarakat suku lain selain pemilik hak ulayat yang
diberi izin oleh pemilik hak ulayat dan disahkan oleh lembaga adat, ketua
kampung dan diketahui oleh kepala distrik
|
Perijinan
|
Gubernur Papua dengan rekomendasi
dari Bupati/Walikota dan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan dan
Konservasi Papua
|
·
Pencadangan lokasi oleh Gubernur
·
Perijinan diterbitkan oleh
Bupati/Walikota
|
Luas
Areal
|
2000 – 5000 ha
|
Maksimal 5000 ha untuk setiap ijin
|
Lama
Ijin
|
10 Tahun dan dapat diperpanjang
|
30 tahun dan dapat diperpanjang
|
Kewajiban
pemegang Ijin
|
Pemegang ijin wajib memiliki
IUIPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur.
IUIPHHK dengan peralatan berupa portable sawmill berada di dalam areal
kerja IUPHHK
|
· Membayar
iuran kehutanan
· Menyusun
rencana kerja PHHK yang terdiri dari rencana umum dan rencana operasional
· Melaksanakan
kegiatan selambat-lambatnya 3 bulan sejak ijin terbit
· Melaksanakan
PUHH sesuai ketentuan
· Menyampaikan
laporan kegiatan pada pemberi izin
|
Tabel 2. Konsep IUIPHHK Rakyat
|
IUIPHHK Rakyat
|
Pemohon
ijin
|
Untuk IUIPHHK Rakyat, pemohon adalah:
perorangan, koperasi dan badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Hanya
mengatur pemberian ijin dengan kapasitas dibawah 6000 m3
|
|
RPBBI sebagai syarat teknis dalam
permohonan ijin
|
Sumber
Bahan Baku
|
· IUPHHK/IUPHHK-MHA/IPK
· Limbah
Pembalakan
· IPHHK
· Kayu
Lelang
· Hutan
Tanaman Rakyat
· ISL
|
Jenis
Produk
|
· Kayu
Gergajian
· Moulding
· Flooring
|
Tujuan
Pemasaran
|
· Pemasaran
lokal, regional, nasional dan eksport
· Khusus
bahan baku dari IPHHK hanya untuk pemasaran lokal
|
Permohonan
Diajukan Pada
|
· Bupati/walikota
untuk kapasitas dibawah 2000 m3/tahun
· Gubernur
untuk kapasitas 2000 – 6000
· Dapat
diberikan bersamaan dengan IUPHHK MHA
|
Persyaratan
Administrasi
|
· Rekomendasi
Kepala Dinas Kabupaten/Kota
· Fotocopy
KTP untuk pemohon perorangan dan akte pendirian beserta perubahannya untuk
Koperasi
· SIUP
· SITU
|
Persyaratan
Teknis
|
· RPBBI
· Daftar
nama, tipe dan jenis peralatan
· Perjanjian
kerjasama suplai bahan baku dengan pemegang ijin pemanfaatan/pemungutan hasil
hutan kayu
· Rencana
pengelolaan lingkundan dan rencana pemantauan lingkungan
|
Penerbit
Ijin
|
· Gubernur/Bupati/Walikota
· Dapat
dilimpahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota
|
Lama
Ijin
|
· 10
tahun bagi yang tidak memiliki jaminan suplai bahan baku
· Selama
jangka waktu perijinan IUPHHK-MHA bagi
yang memiliki jaminan suplai bahan baku
|
Note: Mekanisme peredaran hasil hutan disajikan di gambar berikut:
F. Aturan Legal
IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHHK-MHA di Papua
Sebagaimana disebutkan di pendahuluan bahwa IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA
dan IUIPHHK-MHA di Papua dibangun dengan semangat mendorong pengelolaan hutan
berkelanjutan yang memberikan manfaat kepada masyarakat adat dan Negara.
Sehingga dalam rancang bangunnya, perangkat hukum nasional dan local dipakai
sebagai konsideran utama, beberapa perangkat legal yang menjadi konsideran
adalah:
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang
Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di
Propinsi Irian Barat
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi
- Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan;
Sebagai turunan dari PERDASUS 21/2008,
berikut adalah PERGUB-PERGUB yang dikembangkan sebagai peraturan pelaksana
IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHH di Papua :
- Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat;
- Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang
Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu
- Peraturan Gubernur Nomor: 13 Tahun 2010 tentang
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA)28
- Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakkan
- Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Industri Primer Hasil Hutan kayu Rakyat
- Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Pemetaan Hutan Masyarakat Hukum Adat
- Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
- Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Provinsi PapuaPeraturan
Gubernur Nomor: 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemberian izin
Pemasukan dan Penggunaan Peralatan.
G. Perkembangan Perizinan
Sejak
tahun 2010 PERGUB-PERGUB pelaksana PERDASUS 21/2008, 14 Izin telah diterbitkan
oleh Gubernur Provinsi Papua, 5 diantaranya adalah IUPHHK MHA model. Model-model tersebut dan informasi kesiapan
pengelolaannya disajikan dalam table berikut:
Tabel 3.
Perkembangan dan kesiapan implementasi 5 model IUPHHK-MHA di Papua
No
|
Lokasi Model
|
Kesiapan Implementasi
|
Lembaga
|
Areal Kerja
|
Ijin
|
Persiapan
Pengelolaan
|
Sarana/
Prasaran
|
Pendamping
|
1
|
KSU Mo Make Unaf
di Kabupaten Merauke
|
·
SK Koperasi
·
AD/ART
·
Modal kerja 100 juta
|
Luas: 4500 ha
Jangka Waktu: 10
tahun (dapat diperpanjang)
Kelas Perusahaan : Rimba Campuran
AAC : 6000m3/thn
|
IUPHHK-MHA: No. 91 Tahun 2011
IUIPHHK-MHA No. 99 Tahun 2011
|
RKU, RKT sudah disahkan
|
·
Chain saw
·
Portable sawmill
|
WWF Regio Sahul
dan Dinas Kehutanan Kab.
|
2
|
Koperasi Year
Esai di Kabupaten Kepulaun Yapen
|
·
SK Koperasi
·
AD/ART
·
Modal kerja 100 juta
|
Luas: 3000 ha.
jangka Waktu : 10
Than (Dapat diperpanjang)
Kelas Perusahaan:
Merbau, Rimba Campuran
AAC = 6000 m3/thn
|
IUPHHK-MHA No. 98 Thn 2011
IUIPHHK-MHA No. 92
Thn 2011
|
RKU, RKT sudah disahkan
|
·
Chain saw
·
Portable sawmill
|
WWF – Regio Sahul
dan Dinas Kehutanan Kab. Kepulauan Yapen
|
3
|
KSU Tetom Jaya di
Kabupaten Sarmi
|
·
SK Koperasi
·
AD/ART
·
Modal kerja 100 juta
|
Luas: 4800 ha
Jangka Waktu: 10
Tahun (Dapat Diperpanjang)
Kelas Perusahaan : Merbau, Rimba Campuran
AAC = 6000 m3/Thn
|
IUPHHK-MHA No. 93 Thn 2011
IUIPHHK-MHA No. 100 Thn 2011
|
RKU, RKT sudah disahkan
|
·
Chain saw
·
Portable sawmill
|
Pt PPMA – Papua
dan Dinas Kehutanan Kab. SARMI
|
4
|
Koperasi Jibogol
di Kabupaten Jayapura
|
·
SK Koperasi
·
AD/ART
·
Modal kerja 100 juta
|
Luas: 5000 ha
Jangka
Waktu: 10 Tahun (Dapat Diperpanjang
Kelas Perusahaan: Merbau, Rimba Campuran
AAC = 6000
m3/tahun
|
Sk : 97 Thn 2011 IUPHHK-MHA; No. 94 Thn 2011, IUIPHHK-MHA
|
RKU, RKT sudah disahkan
|
·
Chain saw
·
Portable sawmill
|
WWF – Regio Sahul
dan Dinas Kehutanan Kab Jayapura
|
5
|
KSU Lwagubin Srem
di Kabupaten Jayapura
|
·
SK Koperasi
·
AD/ART
·
Modal kerja 100 juta
|
Luas: 2500 ha
Jangka Waktu: 10
Thn (dapat diperpanjang)
Kelas Perusahaan: Merbau dan Rimba Campuran
AAC = 6000
m3/tahun
|
IUPHHK-MHA No. 96 Thn 2011
IUIPHHK-MHA No. 95 Thn 2011
|
RKU, RKT sudah disahkan
|
·
Chain saw
·
Portable sawmill
|
Pt PPMA – Papua
dan Dinas Kehutanan Kab. Jayapura
|
Beberapa peta areal kerja Koperasi yang disebutkan disajikan dibawah ini:
Gambar1. Peta
Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Koperasi Jibogol di
Kabupaten Jayapura
Gambar 2. Peta
Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Koperasi Mo Make Unaf di
Kabupaten Merauke
Gambar1. Peta
Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Koperasi Totem Jaya di Kabupaten
Sarmi
H. Kesesuaian Regulasi Indikator dan
Verifier PHPL-SVLK dengan Regulasi Kehutanan Papua
Kriteria dan
Verifier PHPL dan SVLK Nasional dan Papua pada prinsipnya sama atau sesuai
sehingga dapat diimplementasikan (Lihat Tabel 3, 4, 5 dan 6). Justifikasi kesesuaian Indikator
&Verifier PHPL –SVLK menggunakan norma yang diatur oleh perdasus, pergub
Provinsi Papua dan Petunjuk Teknis Dinas Kehutanan Provinsi yang disajikan pada
Lampiran 1.
Tabel
3. Kesesuaian Kriteria & Verifier SVLK Nasional dan IUPHHK-MHA Papua
No.
|
SVLK
Nasional (IUPHHK-HA)
|
Kesesuaian
IUPHHK-MHA
|
Keterangan
|
Prinsip
|
Kriteria
|
Indikator
|
1.
|
Prinsip
1
Kepastian
Areal dan Hak Pemanfaatan
|
Kriteria
1.1
Areal
unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi
|
Indikator
1.1
Pemegang
izin mampu menunjukkan keabsahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
|
Sesuai
|
Verifier, Perdasus 21 Thn 208,
Pergub 13 tahun 2010,
|
2.
|
Prinsip
2
Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang
Sah
|
Kriteria
2.1.
Pemegang izin memiliki rencana penebangan
pada areal tebangan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
|
Indikator
2.1.1
RKUPHHK/RPKH dan RKT disahkan oleh pejabat
yang berwenang
|
Sesuai
|
-
|
Kriteria
2.2
Adanya rencana kerja yang sah
|
Indikator
2.2.1
Pemegang izin mempunyai rencana kerja yang
sah sesuai dengan peraturan yang berlaku
|
Sesuai
|
-
|
Indikator
2.2.2
Seluruh peralatan kerja yang dipergunakan
dalam kegiatan pemanenan telah memiliki izin penggunaan peralatan dan dapat
dibuktikan kesesuaian fisik di lapangan
|
Sesuai
|
Verifier Pergub 19 Thn 2010
|
3
|
Prinsip
3:
Keabsahan Perdagangan atau Pemindahtanganan
Kayu Bulat
|
Kriteria
3.1
Pemegang Ijin menjamin bahwa semua kayu yang
diangkut dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan ke TPK Antara dan dari TPK
antara ke Industri Primer Hasil Hutan (IPHH)/pasar mempunyai identitas fisik
dan dokumen yang sah
|
Indikator
3.1.1
Seluruh kayu bulat yang ditebang/dipanen
atau dimanfaatkan telah di LHPkan.
|
Sesuai
|
Verifier Pergub. 12 Thn 2010
|
|
|
|
Indikator
3.1.2
Seluruh kayu yang diangkut keluar areal izin
dilindungi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator
3.1.3
Pembuktian asal usul kayu bulat dari
pemegang IUPHHK-HA/IUPHHK-HTI/RE/ Pemegang hak pengelolaan
|
Sesuai
|
Pergub 13 Than 2010 dam Pergub 12 Thn 2010
|
|
|
|
Indikator
3.1.4
Pemegang izin mampu membuktikan adanya
catatan angkutan kayu ke luar TPK
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
Kriteria
3.2
Pemegang izin telah melunasi kewajiban
pungutan pemerintah yang terkait dengan kayu
|
Indikator
3.2.1
Pemegang izin menunjukkan bukti pelunasan DR
dan atau PSDH
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Kriteria
3.3
Pengangkutan dan perdagangan antar pulau
|
Indikator
3.3.1
Pemegang izin yang mengirim kayu bulat antar
pulau memiliki pengakuan sebagai pedagang kayu antar pulau terdaftar
|
Sesuai
|
-
|
|
|
|
Indikator
3.3.2
Pengangkutan kayu bulat yang menggunakan
kapal harus kapal yang berbendera Indonesia dan memiliki izin yang sah
|
Sesuai
|
-
|
4.
|
Prinsip
4:
Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang
Terkait dengan Penebangan
|
Kriteria
4.1
Pemegang izin telah memiliki Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)/ Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan (DPPL)/ Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) & melaksanakan kewajiban yang dipersyaratkan dalam
dokumen lingkungan tersebut
|
Indikator
4.1.1
Pemegang izin telah memiliki Dokumen
AMDAL/DPPL/UKL-UPL meliputi Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Kelola
Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah disahkan
sesuai peraturan yang berlaku meliputi seluruh areal kerjanya.
|
Sesuai
|
-
|
|
|
|
Indikator
4.1.2
Pemegang izin memiliki laporan pelaksanaan
RKL dan RPL yang menunjukkan penerapan tindakan untuk mengatasi dampak
lingkungan dan menyediakan manfaat sosial.
|
Sesuai
|
-
|
5.
|
Prinsip
5
Pemenuhan terhadap Peraturan Ketenagakerjaan
|
Kriteria
5.1
Pemenuhan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan
kerja (K3)
|
Indikator
5.1.1
Prosedur dan implementasi K3
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Kriteria
5.2
Pemenuhan hak-hak tenaga kerja
|
Indikator
5.2.1
Kebebasan berserikat bagi pekerja
|
Sesuai
|
Verifier AD/ART -
|
|
|
|
Indikator
5.2.2
Adanya kesepakatan kerja bersama atau
peraturan perusahaan
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator
5.2.3
Perusahaan tidak mempekerjakan anak di bawah
umur
|
Sesuai
|
idem
|
Tabel 4. Kesesuaian
Indikator & Verifier SVLK Nasional
dan IUPHHK-HTR Papua
No.
|
SVLK Nasional (HTR,HKm, HD)
|
Kesesuaian
HTR-MHA
|
Keterangan
|
Prinsip
|
Kriteria
|
Indikator
|
1
|
Prinsip
1
Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan
|
Kriteria
1.
Areal unit manajemen hutan terletak di
kawasan hutan produksi
|
Indikator
1.1
Pemegang izin mampu menunjukkan keabsahan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
|
Sesuai
|
Perdasus 21 thn 2008, Pergub 11
Thn 2010
|
2.
|
Prinsip
2
Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang
Sah
|
Kriteria
2.1
Pemegang izin memiliki rencana penebangan
pada areal tebangan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
|
Indikator
2.1.1
RKUPHHK/RPKH dan RKT disahkan oleh pejabat
yang berwenang
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
Kriteria
2.2
Adanya rencana kerja yang sah
|
Indikator
2.2.1
Pemegang izin mempunyai rencana kerja yang
sah sesuai dengan peraturan yang berlaku
|
Sesuai
|
Idem
|
|
|
|
Indikator
2.2.2
Seluruh peralatan kerja yang dipergunakan
dalam kegiatan pemanenan telah memiliki izin penggunaan peralatan dan dapat
dibuktikan kesesuaian fisik di lapangan (tidak berlaku bagi pemegang hak
pengelolaan)
|
Sesuai
|
Pergub 19 Thn 2010
|
|
|
Kriteria
2.3
Pemegang Ijin menjamin bahwa semua kayu yang
diangkut dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan ke TPK Antara dan dari TPK
antara ke Industri Primer hasil hutan (IPHH)/pasar mempunyai identitas fisik
dan dokumen yang sah
|
Indikator
2.3.1
Seluruh kayu bulat yang ditebang/dipanen
atau dimanfaatkan telah di LHPkan.
|
Sesuai
|
Pergub 12 thn 2010
|
|
|
|
Indikator 2.3.2
seluruh kayu yang diangkut keluar areal izin
dilindungi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator 2.3.3
Pembuktian asal usul kayu bulat dari
pemegang IUPHHK-HA/IUPHHK-HTI/RE/ Pemegang hak pengelolaan
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator 2.3.4
Pemegang izin mampu membuktikan adanya
catatan angkutan kayu ke luar TPK
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
Kriteria 2.4
Pemegang izin telah melunasi kewajiban
pungutan pemerintah yang terkait dengan kayu
|
Indikator 2.4.1
Pemegang izin menunjukkan bukti pelunasan DR
dan atau PSDH
|
Sesuai
|
Verifier Pergub. 13 Than 2010
|
3
|
Prinsip
3:
Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang
Terkait Dengan Penebangan
|
Kriteria
3.1
Pemegang izin telah memiliki dokumen
lingkungan sesuai peraturan yang berlaku
|
Indikator
3.1.1
Pemegang izin telah memiliki dokumen
lingkungan yang telah disahkan sesuai peraturan yang berlaku meliputi seluruh
areal kerjanya
|
Sesuai
|
Verifier Pergub 13 2010
|
|
|
|
Indikator
3.1.2
Pemegang izin memiliki laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
|
Sesuai
|
idem
|
Tabel 5. Kesesuaian
Indikator & Verifier SVLK Nasional
dan IUIPHHK_MHAPapua
No.
|
SVLK Nasional (IUIPHH,IUI dan TDI)
|
Kesesuaian
IUIPHHKR
|
Keterangan
|
|
Prinsip
|
Kriteria
|
Indikator
|
|
1.
|
Prinsip 1.
Industri Pengolahan Hasil
Hutan Kayu mendukung terselenggaranya perdagangan kayu sah.
|
|
Kriteria 1.1.
Unit usaha dalam bentuk :
a)
Industri pengolahan, dan
b)
Eksportir produk olahan memiliki izin yang sah
|
|
Indikator 1.1.
Unit usaha pengolahan
adalah produsen yang memiliki izin yang sah
|
|
Sesuai
|
Verivier Pergub 15 tahun 2010
|
|
|
|
Indikator1.2.
Eksportir produk kayu olahan adalah eksportir yang
memiliki izin sah, berupa eksportir produsen.
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
Kriteria
1.2.
Unit usaha dalam bentuk kelompok pengrajin/industri rumah
tangga
|
Indikator
1.2.1.
Akte pembentukan kelompok (koperasi/ CV/ kelompok usaha
lainnya)
|
Sesuai
|
idem
|
2.
|
Prinsip 2.
Unit usaha mempunyai dan menerapkan sistem penelusuran
kayu yang menjamin
|
Kriteria
2.1.
Keberadaan dan penerapan sistem penelusuran bahan baku dan
hasil olahannya
|
Indikator
2.1.1q
2.1.1 Unit usaha mampu membuktikan bahwa bahan baku yang
diterima berasal
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator
2.1.2
Unit usaha menerapkan sistem penelusuran kayu
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator
2.1.3
Proses pengolahan produk melalui jasa atau kerjasama
dengan pihak lain (industri lain atau pengrajin/industri rumah tangga)
|
Sesuai
|
idem
|
3.
|
Prinsip 3
Keabsahan perdagangan atau pemindah tanganan kayu olahan
|
Kriteria
3.1.
Pengangkutan dan perdagangan antar pulau
|
Indikator
3.1.1.
Pelaku usaha yang mengirim kayu olahan antar pulau
memiliki pengakuan sebagai Pedagang Kayu Antar Pulau Terdaftar (PKAPT).
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator
3.1.2
Pengangkutan kayu olahan yang menggunakan kapal harus
kapal yang berbendera Indonesia dan memiliki izin yang sah.
|
Sesuai
|
idem
|
|
|
|
Indikator 3.1.3.
PKAPT mampu membuktikan bahwa kayu yang dipindahtangankan
berasal dari sumber yang sah
|
Sesuai
|
|
|
|
Kriteria
3.2.
Pengapalan kayu olahan untuk ekspor.
|
Indikator
3.2.1.
Pengapalan kayu olahan untuk ekspor harus memenuhi
kesesuaian dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
|
Sesuai
|
idem
|
4.
|
Prinsip 4
Pemenuhan terhadap peraturan ketenaga kerjaan
|
Kriteria
4.1.
Pemenuhan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan
|
Indikator 4.1.1.
Prosedur dan implementasi K3
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Kriteria
4.2.
Pemenuhan hak-hak tenaga kerja
|
Indikator
4.2..1.
Kebebasan berserikat bagi pekerja
|
Sesuai
|
-
|
|
|
|
Indikator
4.2.2
Adanya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau Peraturan
Perusahaan (PP )
|
Sesuai
|
-
|
|
|
|
Indikator
4.2.3.
Tidak mempekerja-kan anak di bawah umur
|
Sesuai
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tabel 6. Kesesuaian Indikator
& PHPL Nasional dengan IUIPHHK_MHAPapua
No.
|
K&I PHPL Unit Manajemen
|
Kesesuaian
IUIPHHK-MHA
|
Keterangan
|
Kriteria
|
Indikator
|
1.
|
Kriteria 1.
Prasyarat
|
Indikator 1.1.
Kepastian kawasan unit pengelolaan
hutan alam produksi lestari
|
Sesuai
|
Verifier Perdasus 23 thn 2008, Pergub 13 2010
|
|
|
Indikator 1.2.
Komitmen Pemegang Izin
|
Sesuai
|
|
|
Indikator1.3.
Jumlah dan Kecukupan Tenaga
Profesional Bidang Kehutanan pada Seluruh Tingkatan Untuk Mendukung
Pemanfaatan Implementasi Penelitian, Pendidikan dan Latihan
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator1.4.
Kapasitas dan Mekanisme untuk
Perencanaan Pelaksanaan
Pemantauan Periodik, Evaluasi dan Penyajian Umpan Balik
Mengenai Kemajuan Pencapaian (Kegiatan) IUPHHK – HA/RE/HT/Peme gang Hak
Pengelolaan
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator1.5.
Persetujuan atas dasar informasi
awal tanpa paksaan (PADIATAPA)
|
Sesuai
|
-
|
2
|
Kriteria 2.
Produksi
|
Indikator 2.1.
Penataan areal kerja jangka
panjang dalam pengelolaan hutan lestari
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 2.2.
Tingkat pemanenan lestari untuk
setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 2.3.
Pelaksanaan penerapan tahapan
sistem silvikultur untuk menjamin regenerasi hutan
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator
2.4.
Ketersediaan dan penerapan
teknologi ramah lingkungan untuk pemanfaatan hutan
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator2.5
Realisasi penebangan sesuai dengan
rencana kerja penebangan/ pemanenan/ pemanfaatan pada areal kerjanya
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 2.6
Tingkat investasi dan reinvestasi
yang memadai dan memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan hutan, administrasi,
penelitian dan pengembangan, serta pening-katan kemampuan sumber daya manusia
|
Sesuai
|
-
|
3.
|
Kritedria 3.
Ekologi
|
Indikator
3.1.
Keberadaan, kemantapan dan kondisi
kawasan dilindungi pada setiap tipe hutan
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 3.2.
Perrlindungan dan pengamanan hutan
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 3.3.
Pengelolaan dan pemantauan
dampak terhadap tanah dan air akibat pemanfaatan hutan
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 3.4.
Identifikasi spesies flora dan
fauna yang dilindungi dan/ atau langka (endangered),
jarang (rare), terancam punah (threatened) dan endemik.
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator3.5.
Pengelolaan flora untuk :
3.5.1.Luasanan tertentu dari hutan
produksi yang tidak terganggu, dan bagian yang tidak rusak.
3.5.1. Perlindungan terhadap
species flora dilindungi dan/ atau jarang, langka dan terancam punah dan
endem
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 3.6.
Pengelolaan fauna untuk:
5.6.1. Luasan tertentu dari hutan
produksi yang tidak terganggu, dan bagian yang tidak rusak.
5.6.1. Perlindungan terhadap
species fauna dilidungi dan/ atau jarang, langka, terancam punah dan endemik
|
Sesuai
|
-
|
4
|
Kriteria 4.
Sosial
|
Indikator
4.1.
Kejelasan deliniasi kawasan operasional perusahaan/
pemegang izin dengan kawasan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat
setempat
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 4.2.
Implementasi tanggungjawab sosial perusahaan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 4.3.
Ketersediaan mekanisme dan
implementasi distribusi manfaat yang adil antar para pihak
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 4.4.
Keberadaan mekanisme resolusi konflik yang handal
|
Sesuai
|
-
|
|
|
Indikator 4.5.
Perlindungan, Pengembangan dan
Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Kerja
|
|
|
I.
Kebutuhan Penyiapan Kerangka Pengaturan Implementasi SVLK IUPHHK-MHA
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Papua
1.
Pada
Tingkat Undang-undang
Peraturan “Induk” Kehutanan Indonesia adalah
UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan beserta perubahannya. Sementara itu
penyelenggaraan Pemerintahan secara umum diatur berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah (yang mencabut dan menggantikan UU No. 22 Tahun 1999). Kedua UU
tersebut merupakan turunan dari Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 18 UUD 1945.
Pada tahun 2001, Pemerintah dan DPR RI
menyetujui diberlakukannya otonomi khusus untuk Papua, melalui persetujuan dan
pengundangan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dengan demikian, penyelenggaraan Pemerintahan Papua selanjutnya mengacu kepada
UU No. 21 Tahun 2001 sebagai lex
specialist dari UU Pemerintahan Daerah. Untuk pengelolaan hutan, Mutatis mutandis – maka dengan
sendirinya menurut hukum, juga mengacu dan didasarkan pada ketentuan pengelolaan hutan yang terdapat di dalam UU
Otsus Papua.
Pasal 4 ayat (1-3) UU OTSUS PAPUA menyebutkan bahwa “Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan
tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Selain kewenangan tersebut, dalam rangka pelaksanaan
Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan
Undang-undang ini. Pelaksanaan kewenangan tersebut diatur lebih lanjut dengan
Perdasus atau Perdasi.
Berdasarkan
ketentuan di atas maka kewenangan pengelolaan bidang kehutanan termasuk yang
menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Papua, yang pengaturannya harus
ditindaklanjuti dan diatur berdasarkan Perdasus dan Perdasi.
Di dalam suatu
Pemerintahan yang tengah berjalan maupun dalam proses transisi, harus dihindari
terjadinya kekosongan hukum (recht vacuum).
Dalam konteks Papua, sebelum adanya peraturan yang diturunkan berdasarkan UU
OTSUS Papua maka yang berlaku adalah seluruh peraturan yang ada. Sebaliknya, apabila
peraturan pelaksanaan OTSUS atas hal-hal yang sebelumnya diatur berdasarkan
ketentuan nasional perse telah dibuat
dan diundangkan, maka peraturan tersebut dapat dijalankan. Pembahasan dan
penyusunan pengaturan mengenai SVLK haruslah dijadikan sekaligus sebagai
momentum bagi harmonisasi peraturan perundang-undangan yang akan dijalankan.
Prinsip hokum
tersebut termuat di dalam ketentuan peralihan khususnya Pasal 71 ayat (2) UU OTSUS Papua yang menyebutkan bahwa, Semua
kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota berdasarkan
peraturanperundang-undangan tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan
Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan Undang-undangini. Selain itu juga
perlu juga diperhatikan ketentuan di dalam Pasal 74 yang menyebutkan bahwa
“Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di
Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini”.
2.
UU
OTSUS sebagai Konsideran Pengaturan SVLK
Pengaturan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) harus dipahami sebagai penjabaran dari prinsip-prinsip pengelolaan yang
termaktub di dalam UU Kehutanan dan oleh karenanya harus tunduk pada
undang-undang tersebut dan kepada UU OTSUS Papua sebagai lex specialist. Oleh karena itu meletakkan UU OTSUS dan turunannya
di dalam “konsideran mengingat” merupakan wujud dari harmonisasi dalam
pemberlakuan aturan SVLK yang bersifat nasional dengan kekhususan di dalamnya.
Lebih
lanjut pengaturan bidang kehutanan harus diharmoniskan dengan perkembangan
penyelenggaraan pemerintahan tersebut, baik pada tingkat PP No. 6 Tahun 2007
sebagai salah satu peraturan organik UU Kehutanan, maupun peraturan di bawahnya
yang berkaitan dengan prinsip, standar dan indicator pengelolaan hutan lestari
yang dapat diberlakukan secara umum maupun yang harus diberlakukan secara
khusus.
3.
Harmonisasi
di tingkat Peraturan Pemerintah
Penyempurnaan atas Peraturan Pemerintah No. 6
Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan hutan serta
Pemanfaatan Hutan dalam kaitannya dengan OTSUS Papua (dan juga NAD) perlu
dilakukan pada beberapa bagian yaitu dalam :
a. Konsideran MenimbangPerlu ditambahkan substansi dengan contoh
kalimat “bahwa dengan ditetapkannya OTSUS Papua dan NAD yang kewenangannya juga
mencakup bidang kehutanan maka hal tersebut perlu diharmonisasikan dan diatur
di dalam Peraturan Pemerintah ini”.
b.
Konsideran Mengingat
Perlu ditambahkan:
(1) UU
No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua
(2) Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21
Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
c.
Batang tubuh
Perlu ditambahkan (terkait SVLK) Pada
Bab I, Pasal 1:
-
Penambahan istilah IUPHHK MHA pada definisi
-
Penambahan istilah IUPHHK MHA Bab dan Pasal
yang relevan.
4.
Harmonisasi
di tingkat Peraturan Menteri Kehutanan
Penyempurnaan atas Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia No. P.38/MENHUT-II/2009 sebagaimana telah diubah
beberapa kali dengan ….dalam kaitannya dengan OTSUS Papua (dan juga NAD) perlu
dilakukan pada beberapa bagian yaitu dalam:
a.
Menimbang,
bahwa
sambil menunggu dilakukannya perubahan terhadap PP No. 6 tahun 2007, terkait
dengan OTSUS Papua dst…maka perlu diatur
standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu oleh
MHA.
b.
Mengingat
Ditambahkan,
1. UU No. 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
2.
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
c.
Batang Tubuh
Mengikuti atau melengkapi penambahan dan/atau
perubahan yang akan dilakukan sesuai konsultasi regional dan konsultasi
nasional atas Peraturan Menteri Tentang PHPL dan SVLK atas rumusan atau
ketentuan yang ada (existing), perlu
ditambahkan ketentuan mengenai MHA.
5.
Pada
Tingkat Peraturan Dirjen BUK
Disingkronkan
dengan rumusan pada hasil Konsultasi regional dan nasional.
J.
Adopsi IUPHHK-MA dalam Permenhut SVLK (P38 Jo Permenhut 42)
Dengan melihat pada jastifikasi yang ada dan pertimbangan bahwa kebijakan
IUPHHK-MHA, IUHHHTR-MHA d dan IUIPHHKR menggunakan UU 41 Tahun 1999 sebagai
konsideran maka, rekomendasi penting dari Papua adalah PP No. 6/2007 perlu
direvisi untuk memasukkan peraturan perundangan tentang otonomi khusus Papua.
Pedoman dan standar untuk IUPHHK-MHA disamakan dengan pedoman dan standar untuk
IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, dan IUPPHK-HD dengan mengacu pada UU No 21/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, Perdasus No. 23/2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan
Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Perdasus 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan di Propinsi Papua, dan Pergub No. 13/2010 tentang IUPHHK-MHA.
Dengan penekanan bahwa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Masyarakat Adat (IUPHHK-MHA) adalah izin untuk memanfaatkan kayu alam pada
hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain yang kegiatannya terdiri dari
pemanenan atau penggunaan, pengolahan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan
pemasaran hasil hutan kayu yang diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat pemilik
hutan ulayat pada hutan milik adatnya. Sehingga pada revisi PP 06/2007, P38 Jo
Permenhut 42 perlu cicantukan Verifier, Metode verifikasi dan Norma Penilaian
ditambah IUPHHK-MHA.