Selasa, 21 Juni 2016
6 Districts in West Papua Province Initiating District Regulation on Customary Right
They are Tambrauw, Sorong, Fak-Fak, South Manokwari, Kaimana and Bintuni Bay Districts are 6 districts that showing their interest and niece in pushing this regulation. Tambrauw is the advance one among other, that having a legal draft in place and has several time publicly discussed. Determining the vision and mission of the regulation to answer the concrete changes and overcome the problems are crucial while packing the contextually of law words. Except of Tambrauw, the other 5 district are the spot of high investment and have been plotting on the Province development plan as the investment priority areas. Almost all regulation been initiating by the parliament that link to the political mission of the head of the districts. Active supports by several CSO/NGO and local university such as Samdhana Institute, WWF, Paradiesa, AKA WUON and Papua State University for Tambrauw and Paradisea and Papuana Conservation for Fak-Fak have enable this process are working and keep progressing.
Packing next steps should be properly manageable particularly the connectivity among this regulation with the draft regulation that the Papua People Assembly (MRP) at the provinces are now pushing. So once it is legally approved by the parliament, the content are connect each other and not creating miss-link that would implicate to law conflict. West Papua CSO/NGO collision confirmed that strong supports from CSO/NGO to this process are crucial because most of the parliament and government are having lack of understanding on this. Putting all update information and sharing national policy updates are parts of supports that they could provide.
Jumat, 10 Juni 2016
Opini: Menyelamatkan Kawasan Ekologi Rentan di Tanah Papua
Pemerintah Daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat terus mengejar target-target percepatan pembangunan di berbagai sektor dalam rangka mengejar pemerataan pembangunan dan manfaat terpadu serta menggenjot angka pertumbuhan ekonomi (PDRB dan GNP). Prioritas pembangunan kemudian diarahkan pada percepatan pembangunan infrasturktur dan percepatan investasi. Sektor-sektor infrastuktur sendiri menjadi perhatian khusus dengan prioritas pada konektifitas dan aksesibilitas antara wilayah, kampung, kabupaten bahkan dua provinsi. Misalnya di Provinsi Papua pemerintah nasional melalui Kementerian PUPR menargetkan pembangunan jalan provinsi sepanjang 1,105.8km yang menghubungkan kota dan kabupaten, sebagai contoh pembangunan jalan rute Oksibil (Kab pegunungan Bintang) - Waropko - Tana Merah (Kab Bofen Digeol) dan Merauke sepanjang 670 Km. Ruas jalan ini sendiri oleh PU dikonfirmasi hampir rampung. Selain ruas jalan tersebut, pemerintah Pusat dan Provinsi juga sedang mengejar penyelesaian ruas jalan Jayapura - Abepura - Arso (Kabupaten Kerom) - Waris dan Yeti (Kabupaten Keerom) yang dikonfirmasi memiliki Panjang 133,34 km.
Dari segi Investasi, sumber daya alam masih menjadi primadona satu-satu-nya pilihan menguntungkan bagi pemerintah untuk diexplore dan diexploitasi lebih jauh mendukung target pemerintah yang sudah ditentukan. Pertambangan, perkebunan dan kehutanan ditempatkan sebagai sektor prioritas untuk menarik perhatian pemodal besar berinvestasi di Tanah Papua. Salah satu contoh-nya adalah bagaimana kebijakan MIFEE dan pengembangan sawah sejuta hektar ditempatkan pemerintah pusat dan daerah sebagai prioritas di Merauke Papua, Cooper and Gold Mining di Timika dan Oil dan gas exploitation di Papua Barat. Jumlah perijinan sektor extraksi SDA yang besar sebagaimana laporan-laporan setiap sektor pembangunan adalah alat verifikasi yang kuat menegaskan bagaimana SDA adalah tabungan dan modal investasi krusial bagi Papua yang sedang dan dalam waktu dekat akan dialokasi untuk dikelola.
Implikasi positif dari perjalanan cepat pembangunan infrastruktur dan investasi extraksi SDA diharapkan terjadi pada keterbukaan akses, kelancaran arus perdagangan barang dan jasa, pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial. Tentunya perubahan sosial akan terjadi apabila pembangunan Manusia Papua berimbang dan mutu pendidikan/kualitas hidupnya juga berkembang baik secara pararel dengan percepatan pembangunan infrastruktur dan investasi yang diagendakan. Namum, disadari bahwa ada implikasi gangguan keseimbangan ekologis yang akan terjadi sebagai akibat dari terbukanya kawasan-kawasan ekologi rentan. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana perencanaan pembangunan memahami dan mengakomodir kepentingan atau pertimbangan perlindungan ekologis kawasan di Papua? Apakah pemerintah kemudian sudah berhitung terhadap nilai kerusakan ekologis yang mungkin akan besar dibandingkan dengan nilai ekonomi pembangunan itu sendiri? Apakah pemerintah sendiri menyadari bahwa ekologis di papua adalah ekologi rawan bencana alam yang satu system dan system lainnya saling terkoneksi mengamankan manusia yang hidup dan beraktifitas didalamnya?
Rangakaian pertanyaan tersebut mengajak kita untuk melihat kembali, bagaimana sebaran ekologis kawasan di Papua terbangun dan kemudiannya menjalankan fungsinya sebagai system penyangga alam dan penghidupan manusia. Pemerintah sering mengabaikan apa yang dinamakan dengan kawasan ekologi rentan. Yang dalam beberapa definisi disebutkan sebagai wilayah-wilayah ekologis yang karena stuktur, komposisi, kelabilan dan fungsinya terhadap kemungkinan terjadi kerusakan dan bencana yang berdampak besar. Mengenal kawasan ekologis rentan di Papua dalam konteks definisi dan sebaran secara spasial tentu akan membantu kita mengemas detail rencana dan implementasi pembangunan yang ramah lingkungan.
Ecology of Papua yang ditulis oleh beberapa kontributor dan di review, edit dan finalkan oleh Andrew.J Marshall dan Bruce.M Beehler menyebutkan bahwa "Papua adalah surga bagi biodiversity dunia dengan kekayaan zona ekologisnya yang menyebar secara merata hampir mulai dari hutan pantai, mangrove sampai zona alpine dengan tutupan salju abadi. Sebagian besar diantaranya adalah kawasan dengan kerentanan ekologis yang tinggi apabila mendapatkan ganggung". Beberapa kelompok yang penting dan berimplikasi besar coba dirangkum dalam kompilasi beberapa kajian dibawah:
- Kawasan Mangrove. Mangrove di Papua lebih familiar dengan istilah "Bakau". Mangrove merupakan salah satu hutan dengan kaya karbon di dunia. Hutan mangrove Indonesia menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare dibandingkan dengan hutan tropis dataran tinggi (Murdiyarso et al., 2015). FAO World’s Mangrove Assessment (2006) mencatat Indonesia sebagai salah negara dengan luas hutan mangrove terbesar didunia dengan total 3.1 juta, dimana dari total mangrove Dunia dan 65%-nya atau sekitar 2 juta ha berada di Papua. Sebaran hutan mangrove di Papua hampir merata di seluruh wilayah pesisir Papua dengan pusat-pusat di Wilayah Sarmi, Bintuni, Sorong Selatan dan Merauke. Secara ekologis mangrove di Papua mengambil peran penting dalam pengaturan tata air laut, rumah bagi lebih dari 20 spesies reptile, 35 jenis burung dan lebih dari 13 specie pohon mangrove. Selain itu mangrove menyimpan sumber pangan yang sangat besar nilainya bagi masyarakat.
- Hutan Rawa Gambut. Gambut menjadi isu krusial dimata dunia yang terus memperhatikan komitmen Indonesia mengurangi gas rumah kaca karena kemampuan gambut untuk menyiapan carbon dalam jumlah yang besar. Wetland International dalam report-nya di Tahun 2001 Tentang Atlas Gambut Papua memberikan keterangan bahwa hutan Gambut di Papua cukup luas mencapai 7.97 juta ha atau sekitar 38.7% dari total kabupaten di Indonesia. Sebaran lahan gambut juga menyebar merata dari Merauke sampai Sorong dengan konsentrasi terbesar di wilayah Selatan Papua (merauke, Asmat, Bofen Digoel, Mappi dan Mimika) serta Barat Papua (Sorong, Merauke dan Sorong Selatan). Gambut secara ekologis merupakan regulator air secara alam dalam mencegah banjir. Didalamnya juga stock makanan untuk Manusia dan kekayaan keankeragaman hayati Papua tersembunyi.
- Hutan Sagu. Hutan satu ini sudah pasti menjadi asset berharga orang Papua. Karena selain fungsi ekologis sebagai regulator air. Hutan Sagu juga merupakan sumber pangan utama yang mempertahankan penghidupan Manusia Papua terutama diwilayah dataran rendah, pesisir dan kepulauan selama ribuan tahun. Sekitar 1,2 juta ha hutan sagu berada di Papua yang apabila dilihat secara nasional luat hutan sagu di Papua mengcover hampir 90% hutan sagu yang ada di Indonesia. Sagu di Papua mengambil 3 fungsi krusial yaitu: (1) budaya, dimana sebagian masyarakat adat di papua menempatkan sagu sebagai simbol budaya misalnya pembangunan rumah dan mas kawin. (2) pangan dan papan. Sudah tidak bisa kita bantah lagi one for many adalah satu istilah yang tepat untuk menggambarkan sagu. Karena kalau ingin di daftarkan, pemanfaatan batang sagu adalah pemanfaatan tumbuhan dengan rendemen terkecil di Papua. Daunnya untuk atap rumah, pelepah untuk dinding, gagar/kulit kerasnya untuk lantai dan getahnya untuk perekat alami. Yang kemudian melengkapinya adalah extrak pati sagu merupakan sumber pengan utama dan sisa patinya merupakan media bagi jamur. Sisa batang yang ditingkan juga merupakan rumah bagi "apatar" atau "tombelo" yang merupakan sumber protein bagi masyarakat Papua. (3) hidrologis, penadah sedimentasi, abrasi dan erosi. Fungsi berikutnya adalah fungsi perlidungan ekologis yang besar mulai dari hidrologis sebagai regulator air dengan fungsi dan perannya dalam tata aliran air dan penyimpanan air, pengatur sedimentasi, pencegahan abrasi dan erosi yang sering berdampak panjang ke Banjin. Sebaran hutan sagu di Papua hampir merata diseluruh Papua kecuali daerah pegunungan tengah.
- Kawasan Karts. Kajian terhadap kawasan karst di Tanah Papua masih sangat minim, hal ini ditunjukan dengan tidak adanya data pasti sebaran kawasan kawasan ini. Tetapi perkiraan sementara adalah mengikuti struktur geologogi bebatuan di Tanah Papua, dimana bisa diprediksi 30% dari Pulau Papua adalah gugusan bebatuan karts dengan sebaran gua-gua yang beragam tampilannya. Gugusan pulau-pulau di Raja Ampat sampai Kaimana adalah sebagian kecil dari wilayah karts yang bisa dilihat selain itu RTRWP Papua mencatat bahwa sebaran karts di Papua umumnya ditemukan di wilayah pegunungan tengah. Tata ruang Papua secara khusus merekomendasi wilayah-wilayah karts agar dimasukan dalam fungsi cagar alam geologi. Fungsi utama kawasan karst adalah penahan tata air tanah. Wilayah-wilayah seperti Biak, Yapen dan Raja Ampat merupakan wilayah-wilayah yang pengelolaan hutan tutupan dimana tumbuhnya diatas bebatuan karst harus diperhatian secara serius.
- Mochimin (2013) didalam blognya. http://mochhim23.blogspot.co.id/ menggambarkan struktur, bentuk dan sejarah geologi Papua secara baik. Didalam kesimpulannya beliau mengatakan: Fisiografi Papua secara umum dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian Kepala Burung, Leher dan Badan. Bagian utara Kepala Burung merupakan pegunungan dengan relief kasar, terjal sampai sangat terjal. Batuan yang tersusun berupa batuan produk vulkanisme, batuan ubahan, dan batuan intrusif asam sampai intermedier. Morfologi ini berangsur berubah ke arah baratdaya berupa dataran rendah aluvial, rawa dan plateau batugamping. Bagian Badan didominasi oleh pegunungan tengah, dataran pegunungan tinggi dengan lereng di utara dan di selatan berupa dataran dan rawa pada permukaan dekat laut. Karena terbentuk dari proses yang panjang dan beberapa diantaranya adalah patahan batuan seperti yang berada di Wilayah pegunungan tengah Papua, sehingga kerentanan Wilayah ini untuk bencara alam sangat tinggi. Gugusan bebatutuan dengan relief jurang dan gunungn tinggi menjadikan Papua sebagai salah satu Wilayah dengan tingkat kerawanan bencana terbesar di Papua
- Hutan penyangga danau dan sungai. Papua memiliki kekayaan potensi panorama alam danau yang sangat mempesona. Sebut saja danau Anggi di Manokwari, Habema di Wamena, Tigi-Tage di Paniai, Yamor di Kaimana, Sentani di Jayapura dan Ayamaru di Maybrat. Secara ekologis ketersediaan air dan kualitas penghidupan ikan dan biota lainnya didalam danau dipengaruhi oleh keamanan kawasan hutan yang tersusun rapi menyangga danau. Danau Ayamaru sendiri sebenaranya contoh nyata degradasi ekologis yang terjadi karena laju pengendapan, pengurangan luas permukaan danau dan kehilangan keanekaragaman hayati akibat penyusutan jumlah dan debit air. National geographi dalam catatan perjalanannya ke Danau Ayamaru mengkonfirmasi bahwa belum diketahui penyebab pasti kenapa penyusutan danau Ayamaru terjadi begitu cepat. Analisis citra selama 10 tahun terakhir menunjukan bahwa penyusutan luas danau mecapai 1 meter pertahun, beberapa indikasi muncul adalah karena pembukaan kawasan penyangga air yang tinggi seiring dengan percepatan pembangunan infrastuktur jalan di daerah reservoir seperti Mare dan Tambrauw. Keberadaan danau sangatkan penting. Sebut saja danau Paniai yang selalu menjadi sumber protein bagi masyarakat adat di sekitar Danau.
Memiliki kompilasi data spasial dan analisis kerentaran ekologis secara detail menjadi penting bagi pemerintah daerah dan semua pemerhati lingkungan di Papua untuk secara baik menguji, merevisi dan mengawas implementasi dari kebijakan, program dan rencana pembangunan yang disusun. Mempertimbangkan kekhususan dan kekritisan pengaruh kawasan ekologi rentan di Papua terhadap penghidupan dan penyangga keanekaramanhayati, langkah komprehensi, taktis dan konsisten harus dibangun bersama. Beberapa langkah yang perlu diambil antara lain lain:
- Melaksanakan satu kajian komprehensif tentang kawasan ekologi rentan baik aspek tabulasi, analisys implikasi dan tingkat spasial serta analisis hubungannya dengan system penghidupan manusia Papua.
- Membangun sistem data keruangan terkait kawasan ekologi rentan yang terkoneksikan dengan system data perencanaan pembangunan daerah. Serta selanjutnya membangun system monitoring dan kontrol penggunaan kawasan.
- Mengembangan protokol investasi/pembangunan yang menjangka kawasan ekologi rencana, mengoptimalkan fungsi dan peran unit teknis pengelolaan kawasan tersebut serta membangun regulasi-regulasi lokal dalam upaya proteksi kawasan dan pemanfaatan berkelanjutan.
- Membangun dan mendorong terus upaya-upaya penyiapan Manusia Papua yang siap untuk bisa menjalankan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan dalam jalur-jalur yang bijak. Serta menjaga konsisten penegakan hukum terutama pada aspek pembangunan infrastruktur dan investasi yang keluar dari kode pengamanan dan pemanfatan berkelanjutan kawasan ekologi rentan di Papua.
Tata kelola ruang yang baik tentu akan bisa diukur keberhasilannya apabila setiap sektor pembangunan dan nilai manfaatnya dirasakan secara seimbang. Bukan yang lain dikorbanka untuk yang lain, apalagi yang dikorbankan memberikan pengaruh besar pada keberlanjutan hidup manusia Papua.
Selasa, 07 Juni 2016
Opini: Bagaimana Memastikan Kebijakan Provinsi Konservasi di Terima Semua Pihak?
By Yunus Yumte at 18.36
No comments
Manokwari, 6 Juni 2016. Bertempat di Hotel Swiss Bell manokwari Pemerintah Provinsi Papua Barat dalam kolaborasinya dengan Conservation International (CI), The Nature Conservation (TNC), World Wild Fund (WWF) dan Universitas Negeri Papua (UNIPA) mengadakan seminar dan sosialisasi sehari tentang perkembangan kerja pokja mengemas draft regulasi Provinsi Konservasi. Draft regulasi menindaklanjuti komitmen pemerintah yang dilaunching Pak Gubenur pada oktober 2015 lalu. Dalam sambutan-nya, Pak Jack Manusawai mengatakn bahwa "appresiasi harus diberikan kepada Pak Gubernur yang punya niat baik mendorong pembangunan di Provinsi Papua Barat yang berwawasan konservasi". Beliau menambahkan "draft regulasi yang sedang dibangun adalah untuk 30 tahun. Isinya sendiri sudah mulai dikembangkan sejak tahun 2010" - red: yang artinya sudah hampir 6 tahun. Waktu yang cukup panjang tentunya untuk menghasilkan satu paket perencanaan, program dan kebijakan yang padat dengan analisis dan scenario keberhasilan dan kegagalan pencapaian. Waktu yang juga cukup banyak tentunya untuk memastikan bahwa kebijakan yang sedang digagas dipahami, diterima dan dijalankan semua pihak di Provinsi Papua Barat.
Mengutip apa yang disampaikan Prof Yohanis Usfunan bahwa satu paket kebijakan yang baik adalah kebijakan yang singkat, operasional dan diterima semua pihak memperkuat 2 dari 5 pertanyaan yang saya angkat pada diskusi ini. 2 pertanyaan tersebut adalah:
- Perubahan apa yang diharapkan terjadi disetiap sektor yang ada? Aspek-aspek krusial pembangunan seperti permbangunan ekonomi masyarakat/sosial dan ukuran keterpercayaan lainnya yang akan menjadi alat masyarakat menguji keberhasilan kebijakan konservasi ini?
- Apakah semua masyarakat dari tingkat provinsi sampai kabupaten/kota atau setidaknya aktor aktor kunci yang akan akan menjalankan pembangunan di daerah sudah memahami keseluruhan amanat, strategi, rencana implementasi dan skenario pembangunan provinsi konservasi ini?
Jason M. Patlis dalam buku-nya "PEDOMAN PENYUSUNAN PERDA TERKAIT HUTAN" yang dicetak CIFOR tahun 2004 menegaskan bahwa "Sebelum menyusun Perda baru tentang pengelolaan
hutan, Pemda harus benar-benar memahami
wewenang dan tanggung jawabnya. Selain itu
mereka juga perlu memahami dengan jelas kerangka
kerja hukum dan perundang-undangan yang ada dan
mempertimbangkan apakah sebuah Perda memang
paling sesuai untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi atau tidak". Point yang disampaikan Patlis seharusnya menjadi dasar awal yang sudah mulai ditapaki pemerintah provinsi Papua. Prinsip good governance dalam pengembangan sebuah produk legal daerah sudah seharusnya menjadi alat uji bagi pemerintah provinsi sebelum melangkah jauh ke proses legislasi. Karena pro dan kontra yang masih berkembang terhadap kebijakan yang sedang digodok yang dalam beberapa sesi diskusi dianggap tidak realistis dan tidak berdasarkan kajian yang komprehensif. FAO menetapkan enam prinsip untuk merancang UndangUndang
Lingkutan Hidup yang lebih baik: (1) menghindari
agar tidak melampaui batas kewenangan legislatif
yang ditentukan; (2) menghindari persyaratan yang
berlebihan untuk mengimplementasikannya;
(3) meningkatkan ketentuan-ketentuan yang bersifat
transparan dan bertanggung gugat; (4) meningkatkan
peran masayarakat dan pihak yang akan menjadi subject tetapi juga object dan penerima dampak; (5) memastikan bahwa rancangan
peraturan perundangan bersifat partisipatif; dan (6)
memastikan bahwa Undang-Undang tersebut
mencakup mekanisme penegakkannya secara
langsung (Lindsay, 2002). Dimana semua-nya itu bisa terpenuhi apabila aspek partisipatif, menyuluruh, transparan dan konprehensif dilakukan oleh pemerintah daerah.
Merefleksi pada proses yang sedang dibangun oleh pemerintah provinsi, sepertinya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibangun untuk memastikan pihak-pihak kunci yang oleh perda ini diatur dan mempengaruhi mereka baik yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten kota memahami dan menyetujui substansi yang diatur oleh pemerintah daerah. Pemerintah provinsi tentu perlu mencari dan mengembangkan cara optimal untuk mendiseminasikan kebijakan yang ada bukan hanya dalam bentuk layer berita masa seperti koran yang umumnya menceritakan kejadian tetapi dalam bentuk komunikasi yang padat substansi sehingga pemahaman tersebut bisa terbangun. Substansi yang disajikan juga selayaknya:
- Konkrit dan jelas: artinya apabila dibaca oleh orang awam tentang visi, missi tujuan dan target perubahan yang diharapkan dari implementasi perda ini di 30 Tahun kedepan harus secara jelas terdeskripsikan baik dalam bentuk angka, graphic, presentasi atau bentuk lainnya yang bisa dimengerti.
- Terpadu dan berimbang: informasi yang disajikan tentu harus berimbang dari semua hal (BAB per BAB) yang diatur, misalnya aspek hak dan kewajiban, subject dan object sampai dengan sanksi. Sehingga para pihak memahami arah pengaturan dan isi yang diatur.
- Dapat dipertanggung jawabkan referensinya: menegaskan kepada siapa pertanyaan, saran, komentar, keberatan dan koreksi harus disampaikan dan bagaimana memonitor proses selanjutanya.