Boomingnya isu REDD dalam konteks kesempatan legal untuk akses benefit sebagai upaya dari satu wilayah hutan primer berkontribusi terhadap upaya perlindungan dan pengamanan karbon disambut baik secara global termasuk di Papua. Phase persiapan dan inisiasi awal kemudian dilakukan baik melalui mekanisme voluntary, join partnership agreement antar pemerintah maupun pilot action melalui NGO. Sebagai wilayah dengan tutupan hutan primer yang masih baik di Indonesia, Papua kemudian merespon isu ini dengan aksi-aksi persiapan termasuk didalammnya membangun tata ruang untuk memberikan kepastian legal kawasan dimana skema REDD atau REDD+ ini bisa diimplementasikan dan maupun dimonitor, diukur dan evaluasi performa penyelematan karbon hutannya dalam cakupan spasial tertentu yang disepakati. Posisi penting Tata Ruang juga dipandang penting sebagai kerangka hukum ruang bagi setiap initiative skema REDD atau pembangunan rencana emisi yang ingin dilaksanakan.
Srategi dan rencana aski untuk implementasi REDD+ kemudian digagas dibawah koordinasi Papua Low Carbon Development Task Force yang dibentuk oleh Gubernur Barnabas Suebu dengan Bapak Agus Rumansara sebagai ketua harian pelaksana tim kerja ini. Pada diskusi awal dengan Bappeda Papua dihighlight bahwa "Penataan ruang mengambil peran penting dalam sektor LULUCF di Daerah. Kepastian ruang merupakan dasar penting dalam mengontor aktifitas penggunaan ruang didalamnya. Pemerintah dalam peranturannyannya No 26 tahun 2007 memberikan aturan dalam penyusunan tata ruang di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Untuk konteks REDD+, kepastian ruang untuk mengimplementasikan REDD+ menjadi satu faktor kunci yang perlu dipastikan diawal sebelum melakan persiapan teknis lain untuk mendukung implementasi proyek. Pemerintah daerah sebagai “provider” perlu secara jelas merencakan ruang untuk setiap aktifitas pembangunan rendah karbon termasuk REDD+. Status dan fungsi ruang, alokasi peruntukannya dan jaminan pengeloaannya dengan sebuah regulasi juga merupakan instrument-instrument prasyarat kelayakan pemanfaatan ruang". Dalam perkembanganya kemudian Task Force secara aktif ikut mendukung penyelesaian dokumen RTRW Provinsi dengan beberapa asistensi teknis terutama untuk mempertegas delineasi dan prinsip-prinsip dasar yang harus dimuat dalam tata ruang terkait dengan pembangunan Rendah Emisi.
Karena dipandang sebagai kerang legal spasial dan acuan juridis arah pemanfaatan kawasan serta untuk menjadi REDD+ bisa berjalan efektif di Papua, dipertegas bahwa "Tata ruang disyaratkat disusun dengan proses partisipatif dan integratif dengan mengakomodir ruang pembangunan nasional, daerah dan masyarakat didalamnya. Aspek sosial-budaya menjadi bagian penting lain yang harus diperhatikan dan diakomodir dalam tata ruang. Tata ruang juga mengakomodir kesepakatan batas antar wilayah administrasi kabupaten/kota".
Keadaan saat ini
Sampai dengan saat ini
masih berlaku Peraturan Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 2 Tahun 1993 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Irian Jaya, yang disusun berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan
perkembangan wilayah yang terjadi dan pemekaran daerah yang terjadi di Provinsi
Papua maka RTRW Propinsi Irian Jaya sudah tidak mampu lagi mengakomodasi
dinamika pengembangan wilayah yang terjadi serta pengembangan wilayah ke depan
dalam rangka perwujudan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua.
Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor
24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan penyusunan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) dan bagi RTRW Provinsi berjangka 2 (dua) tahun setelah
Undang-Undang Penataan Ruang ditetapkan. Implikasi dari UUPR yang baru tersebut
menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Papua untuk menyusun Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua. Penyusunan RTRW Provinsi Papua dilakukan semenjak Tahun 2008 dengan
memaksimalkan keterlibatan pemangku kepentingan di Provinsi Papua. Sampai dengan saat ini
RAPERDA RTRW Provinsi Papua telah mendapatkan Persetujuan Substansi dari
Menteri Pekerjaan Umum yaitu dengan SK Menteri Pekerjaan Umum Nomor Nomor: HK.01/03-Mn/115 Tanggal 30 Maret
2011. Evaluasi RAPERDA RTRW Provinsi Papua dilakukan setelah RAPERDA RTRW
Provinsi Papua mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum
dan persetujuan substansi kehutanan dari Menteri Kehutanan.
Persetujuan substansi kehutanan harus didapatkan oleh RAPERDA RTRW Provinsi
Papua karena di dalam rencana pola ruang mensyaratkan adanya perubahan kawasan
hutan di Provinsi Papua, baik perubahan peruntukan maupun perubahan fungsi
kawasan hutan. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan proses perubahan
kawasan hutan di Provinsi Papua melalui mekanisme penelitian terpadu. Sampai dengan saat ini, dimulai dengan Kegiatan Harmonisasi dan
Sinkronisasi Kawasan Hutan dan Perairan yang dilaksanakan pada Agustus 2009
maka pada proses perubahan kawasan hutan telah melalui 9 (sembilan) kali
pertemuan tim terpadu, peninjauan lapangan dan uji konsisten. Terakhir pada
Kamis, 21 Juli 2011 dilakukan paparan hasil penelitian terpadu oleh Tim Terpadu
kepada Menteri Kehutanan. Dari hasil penelitian terpadu maka direkomendasikan
luas kawasan hutan di Provinsi Papua adalah 30.917.673 Ha (atau 94,34% dari
luas wilayah Provinsi Papua) serta usulan perubahan kawasan hutan di Provinsi
Papua tidak memiliki dampak penting, dampak cakupan luas dan dampak strategis
sehingga perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua tidak memerlukan persetujuan
DPR RI. Implikasi dari Paparan Tim Terpadu kepada Menteri Kehutanan tersebut maka
usulan perubahan kawasan hutan Provinsi Papua akan mendapatkan Surat Keputusan
Penunjukan Kawasan Hutan yang baru, setelah syarat administrasi penandatanganan
peta perubahan kawasan hutan ditandatangani oleh Gubernur dan Bupati/Walikota
se Provinsi Papua.
Ruang hijau 94% di kawasan hutan Papua
merupakan peluang untuk implementasi kegiatan-kegiatan ekonomi rendah emisi.
Untuk melengkapi RTRWP juga Papua menyiapkan visi pembangunan berkelanjutan
yang dijadikan dasar dalam mengawal dan mengawasi pemanfaatan ruang di Papua.
Ruang-ruang strategis yang menjadi ruang hidup masyarakat dan sumber
biodiversity Papua akan dipertahankan. Visi 100 tahun kedepan adalah membangun
kualitas manusia Papua dengan tetap mempertahankan kekayaan sumber daya
alam-nya. Visi Papua 2100 juga menekankan Papua akan menjadi perhatian dunia
karena mampu mempertahankan hutan untuk penyelamatan lingkungan.
Untuk kegiatan-kegiatan pembangunan rendah
karbon termasuk REDD+ belum disebutkan secara jelas dalam RTRWP yang ada. Namun
dalal rencana strategis pola dan struktur ruang RTRWP telah mendaptkan
perhatian untuk menunjuk beberapa kawasan strategis propinsi untuk pengembangan
pembangunan ekonomi rendah karbon.
Apa yang harus dilakukan/oleh
siapa?
Pertanyaan penting tentunya harus dijawab di Papua adalah apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukan aksi tersebut untuk memastikan tata ruang terselesaikan dan mengakomodir kepenting kepastian legal spasial kawasan utuk imlementasi REDD+ di Papua?
Dalam beberapa diskusi lanjutan kemudian didaftarkan beberapa aksi dan tanggung jawab yang urgent dan penting dilakukan untuk percepatan persiapan spasial dan tata ruang untuk implementasi REDD+ di Papua. Beberapa aksi tersebut diantaranya:
- Pemerintah daerah propinsi dan kabupaten akan mengambil peran penting di fase awal kegiatan proyek. PEMDA memastikan bahwa ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung implementasi proyek REDD+. Dengan mengacu pada aturan daerah dan nasional yang ada wilayah ditentukan secara partisipatif. Pada fase ini Dinas Kehutana, BAPPEDA, BPSDALH dan PU akan berperan
- Menyiapkan unit registrasi ruang adat masyarakat Papua untuk mendukung kejelasan status ruang masyarakat. Unit ini merupakan bagian dari lembaga REDD+/Pembangunan Ekonomi Rendah Carbon Papua. Selanjutnya perlu memastikan bahwa ruang yang dialokasikan untuk pengembangan program ekonomi rendah karbon sudah terdaftar. Menyiapkan instrument abitrase dan penyelesaian konflik ruang masyarakat
- Investor agar tetap memperhatikan UU penanaman modal dan pemanfaatan ruang di Daerah, termasuk menghormati alokasi dan pola ruang yang ada. Membangun koordinasi dan komunikasi
- Delineasi dan digitasi batas-batas wilayah yang akan diusulkan untuk REDD+. Selanjutnya peta hasil delineasi dan digitasi tersebut di overlay dengan peta tutupan kawasan dan RTRW yang ada didaerah untuk memastikan bahwa ruang yang diusulkan tidak dibebani ijin pemanfaatan lahan lain dan sesuai dengan peruntukannya.
- Menetapakan criteria dan indicator yang akan digunakan sebagai bahan evaluasi dan monoting perkembangan proyek di Lapangan. Pemertintah daerah lewat kelembagaan yang dibentuk menetapkan sistem MRV – terutama untuk pemanfaatan ruang yang ada untuk mengontrol dan menjamin aktifitas dijalankan sesuai dengan perencanaannya.
Secara keseluruhan kepastian tata ruang dalam hal dasar legal kawasan untuk implementasi REDD+ adalah krusial untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan REDD dan memberikan kepastian hukum terhadap law enforcement, reward dan punishment yang kemudian bisa diatur dalam kesepakatan kerjasama REDD+.
0 komentar:
Posting Komentar