Pengantar
Esania adalah nama kampung di Kabupaten
Kaimana tempat program hutan desa yang dibangun dengan inisiasi bersama
masyarakat, NGO dan Pemerintah daerah. Pembangunan hutan desa yang diawali
dengan diskusi bersama para pihak ini diawali dengan respon positif para pihak
untuk mendorong wilayah ini sebagai model di Papua Barat. Rangkaian aktifitas
sudah mulai, akan dan sedang dilakukan pada semua aspek dasar pengelaan hutan
berkelanjuntan, termasuk aspek dasar mengenai batas adat kampung Esania yang
selanjutnya diusulkan sebagai batas wilayah calon hutan desa. Termasuk melengkapi
kebutuhan pra-syarat legal untuk usulan penetapan local dan legalitas
pengelolaan dan pemantaan sumber daya hutan pada wilayah tersebut.
Namun sampai tahun ke 3 sejak
dicanangkannya program bersama ini di tahun 2010, beberapa harapan yang
dibangun bersama diawal belum menunjukan progress yang signifikan, bahkan
program ini secara politis digaungkan sebagai prioritas di daerah, tetapi pada
tataran dukungan implementasi belum optimal dukungan yang diberikan. Beberapa
tantangan di level masyarakat juga masih menjadi pekerjaan rumah panjang yang
perlu di sedianya menjadi perhatian bersama pihak pendamping, pemerintah dan
masyarakat itu sendiri. Keterbukaan komunikasi dan respon cepat antara pihak di
kementerian kehutanan di Nasional dan para pihak didaerah terkait hal-hal
mendasar yang perlu diperhatikan dalam fasilitasi HD juga menjadi tantangan
tersendiri.
Peta Jalan Pembangunan Hutan Desa Esania.
Usaha pembangunan kemandirian
masyarakat di Papua dalam rangka pengelolaan hutan untuk manfaat yang besar
terus menjadi perhatian prioritas kebijakan pengelolaan hutan di Tanah Papua.
Belajar dari pengalaman panjang konsep pengelolaan sebelumnya seperti KOPERMAS
(Koperasi Peran Serta Masyarakat) atau IPKMA (Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat
Adat) dimana legalitas tanpa pendampingan dan control yang baik telah memojokan
posisi masyarakat sebagai korban hukum dan terkesan mendudukan mereka sebagai
actor perusak hutan negara. Pengalaman ini tentu memberikan kritik tegas
bagaimana system pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Papua perlu
diperhatikan dan revitalisasi kembali program-program kehutanan masyarakat di
Papua termasuk “Hutan Desa” yang merupakan salah satu skema legal baru berbaju
lama.
Program bersama Hutan Desa di Kaimana, diinisiasi dengan tujuan, mendorong kepastian hak atas tanah dan memperkuat posisi tawar masyarakat mencegah infestasi kehutanan dan lahan skala luas yang bersifat destruktif sekaligus mampu menciptkan kemandirian pengelolaan hutan yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Secara local beberapa praktek pengelolaan hutan untuk kebutuhan ekonomi instant telah dilakukan masyarakat seperti menebang dan menjual kayu olahan ke kota, membuat perahu, memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti Pala dan kelapa. Tantangan terbesar yang ditangkap oleh tim diawal adalah bagaimana melembagakan pengelolaan tersebut yang mana masyarakat memliki jaminan legal pengelolaan hutan dan mampu membagi dan mengelola manfaat yang diterima dari pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan seimbang. Menjawab kebutuhan tersebut, beberapa kegiatan pra kondisi dilakukan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Gambar dibawah adalah infomasi jalan 4 tahun memfasilitasi kebutuhan PHBM di Kaimana
Pelajaran Penting Fasilitasi Hutan Desa di Esania
Banyak
pelajaran penting yang didapat selama fasilitasi hutan desa di Esania –
Kaimana, pelajaran ini datang dari proses yang berjalan termasuk
tantangan-tantangan yang dialami dilapangan dalam memfasilitasi persiapan hutan
desa. Pelajaran datang dari internal strategi program, pemerintah daerah dan
program kerjanya, masyarakat juga kondisi lain yang mempengaruhi langsung
maupun tidak langsung fasilitasi hutan desa di Esania. Rangkai pertanyaan
berikut diharapkan membantu kita untuk melihat pembelajan 4 tahun di Kaimana:
A. Memanfaatkan
hasil hutan di wilayah adat-nya mengapa masyarakat harus pakai ijin Negara?
Legalitas pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat adat di Papua masih di pandang belum berpengaruh
signifikan terhadap keberlanjutan aktifitas mereka. Karena claim yang muncul
adalah mereka mengambil kayu pada wilayah adatnya untuk kebutuhan mereka.
Secara de facto masyarakat masih memegang bahwa mereka adalah pemilik wilayah
adat dan siapapun yang datang adalah mitra kerja mereka dan harus menghormati
hak mereka. Hal ini Nampak jelas di Esania dan beberapa kampung di Kaimana,
dimana dalam konteks pengelolaan hutan, beberapa penadah kayu kecenderungan
datang dan berminta langsung dan dengan bebas mengambil kayu dari wilayah
masyarakat tanpa ada prosedur legalitas perijinan kawasan hutan yang dikelola.
Transaksi kerjasama bisnis kecil antara masyarakat adat terjadi secara lansung.
Sehingga pertanyaan kritis yang
muncul adalah “apakah legalitas pengelolaan hutan penting untuk dimiliki
masyarakat di Esania?” Hutan Desa dipandang sebagai program Negara. Berkaca
dari pelajaran di Esania, program ini diinterpretasi sempit oleh masyarakat
sebagai kesempatan mereka untuk mendapatkan nilai tambah dari hutan, bukan dari
konteks legalitasnya tetapi nilai manfaat ekonomi yang akan mereka terima. Konteks
pelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara legal tidak dipandang
menjadi penting dibandingkan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang mendesak.
Dan dalam praktek yang berjalan sejauh ini, legalitas masih menjadi nomor
ketiga dibandingkan ketersediaan pembeli dan nilai hasil hutan dipasar yang
menguntungkan.
B. Apakah Pemerintah Daerah melihat legalitas
pengelolaan hutan sebagai kebutuhan penting di level masyarakat adat? Bagaimana
Prakteknya selama ini?
Interpretasi legalitas pengelolaan
hutan di daerah disempitkan pada konteks pemanfaatan dan pemungutan kayu
sebagai objek produk hutan. Belajar dari kasus Kaimana, pemerintah daerah
kecenderungan bermain aman untuk mengambil posisi tidak melarang dan juga tidak
secara transparan mengkomunikasikan legalitas pengelolaan hutan kepada
masyarakat. Pada saat bersamaan pemerintah kecenderungan untuk tidak memberikan
penegakan hukum terhadap praktek-praktek ‘ilegal’ yang ada. Sedangkan kayu-kayu
yang beredar untuk pembangunan di Kota Kaimana, hampir seluruhnya adalah
berasal dari kayu-kayu yang kelola oleh masyarakat adat yang tidak memiliki
ijin pemanfaatan hutan bahkan ijin pemungutan kayu. Kayu-kayu tersebut
diperdagangkan secara terbuka. Praktek ini dinilai secara jelas mempengaruhi
kepedulian dan keinginan pemerintah daerah untuk secara serius mendorong
legalitas pengelolaan hutan di Kaimana.
C.Bagaimana cara mengkomunikasikan dan berharapa masyarakat mengerti konteks pengelolaan hutan kontekstual yang padat ke Masyarakat adat di Esania?
Masyarakat di Esania secara bertahap mengalami perubahan dari pemahaman pengelolaan hutan subsisten ke pengelolaan hutan modern dengan pendapatan cash sebagai salah satu orientasi. Kayu misalnya sebagai salah satu produk cash unggulan menjadi object penting yang mendorong perubahan dan peningkatan adaptasi masyarakat terhadap perkebangan pembangunan. Sebagai contoh, pada aspek teknologi, beberapa masyarakat adat di Esania secara baik memliki kemampuan teknis membagi batang menjadi olahan kayu dengan kelas mutu yang beragam, bahkan beberapa diantaranya telah memiliki kemampuan teknis membagi batang berdasarkan kebutuhan pasar.
Berkaca dari hal diatas, secara signifikan masyarakat memilik pola adaptasi alami secara bertahap dengan kebutuhan pembangunan yang berjalan. Pola adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh interaksi masyarakat yang berulang dan terus menerus terhadap aktifitas dan object tersebut. Ini menjadi salah satu titik kritis penting bagaimana seharus-nya memperkenalkan konteks pengelolaan hutan yang padat secara bertahap. Salah satu kendala mengapa hutan desa lambat dan belum menjadi perhatian prioritas di masyarakat Esania adalah juga karena ada gap pemahaman dan masyarakat sudah lebih awal menilai program ini sebagai sesuatu yang susah dan perlu ilmu tinggi untuk diterapkan. Apalagi pendekatan pembangunan program yang harus diakui kecenderungannya menilai masyarakat akan mampu melakukan apa yang sudah mereka peroleh dalam diskusi atau training dan pendampingan yang disediakan tidak menjadi teman yang baik bagi masyarakat.
D. Untuk masyarakat seperti kasus di Esania, komposisi tim pendamping lapangan seperti apa yang dibutuhkan?
Fasilitator/pendamping mengambil peran kunci dilapangan dan ikut menjadi salah satu factor penentu efektifitas dan signifikansi perubahan dari program bersama masyarakat di Kampung. Melihat kembali ke masyarakat yang mana pada satu sisi memiliki kemampuan alami untuk secara perlahan beradaptasi dari interaksi mereka yang berulang dan disisi lain memiliki keterbatasan pendidikan dan kemampuan, memberikan kita masukan kritis bahwa mereka membutuhkan teman yang bisa menjadi bagian dalam usaha bersama memecahkan masalah mereka tetapi juga memiliki pemahaman dan pengalaman teknis dan strategis yang sedikit maju. 4 tahun perjalanan program di Esania memberikan pelajaran penting bahwa keterbatasan kemampuan dan pemahaman teknis kehutanan oleh pendamping lapangan menjadi salah satu penyebab kekakuan dan ketidakkreatifan program di lapangan. Selain itu pendamping kecenderungan belum menjadi teman baik, tetapi masih banyak mengambil peran guru kepada masyarakat. Dan fasilitasi dilakukan dengan datang dan kembali menjadi salah satu alasan program belum efektif berkembang dalam psikologis masyarakat.
Staff
|
Bebereapa
kamampuan dasar yang dibutuhkan
|
Teknis kehutanan
|
- Memiliki pemahaman tentang prinsi dan
bagaimana melakukan tata hutan (perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan dan
monitoring)
- Memahami dasar-dasar pemetaan dan pembagian
peruntukan lahan
- Bersedia untuk tinggal lama di kampung (tidak
datang dan pulang ke kota)
|
Sosial antopologi
|
- Memiliki kemampuan komunikasi social yang
untuk berinteraksi dan berbagi dengan masyarakat
- Memiliki kemampuan adminitrasi yang baik
|
Ekonomi
|
- Memahami konteks kelembagaan ekonomi local
(mis: koperasi)
- Memiliki jiwa pengusaha dan kreatif melakukan
analisis pasar dan produk yang ada di masyarakat
- Memiliki kreatifitas baik untuk mengajak
masyarakat berkreasi memanfaatkan sumber daya yang ada disekitar mereka untuk
dikembang menjadi usaha-usaha kreatif
|
Terlepas dari beberapa kendala di
tingkat daerah (Kampung dan Kabupaten), lambatnya proses fasilitasi hutan Desa
Esania juga disebabkan oleh lambatnya kementerian kehutanan memberikan respon
terhadap usulan masyarakat dan bupati yang sudah disampaikan. Kurangnya
komunikasi dan koordinasi efektit antara pemerintah daerah dan pusat serta
keterjebakan program pemerintah dalam renstra dan renja yang mana belum mengakomodir
pembangunan hutan desa di Papua diakui menjadi salah satu kendala minimnya
dukungan yang diberikanke Esania.
Selain hal diatas, proses politik
dan pergantian kepala UPT kementerian di daerah yang bertanggung jawab langsung
terhadap fasiltasi Hutan Desa ikut mempengaruhi keseriusan dukungan kepada
program yang berjalan. Kekhawatiran pemerintah pusat terhadap lemahnya
kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan cenderung mendominasi pertimbangan
mereka memberikan ruang kelola kepada masyarakat adat di Papua.
F. Berapa lamakah waktu ideal yang dibutuhkan untuk memfasilitasi hutan Desa menujukemandirian masyarakat melakukan pekerjaan itu sendiri? Berapakah biaya yang dibutuhkan mulai dari pra kondisi awal sampai persiapan pengelolaan dan pemanfaatan hutan desa?
Harapan besar proses panjang fasilitasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat adalahberkembangnya kemandirian masyarakat mengelola wilayah dan sumber daya hutannya dengan kapasitas teknis dan strategis yang mendukung dalam kerangka jaminan kepastian hak dan pembagian manfaat yang jelas. 4 tahun perjalanan fasilitasi inisiatif PHBM di Esania memberikan masukan penting untuk menyusun strategi pendampingan dan optimalisasi transisi pekerjaan kepada masyarakat yang seharusnya sebagai pemilik pekerjaan. Karena berhadapan dengan masyarakat yang dinamis perubahannya dan level pendidikan yang rendah bisa jadi waktu 10 tahun merupakan titik akhir transisi pekerjaan kepada masyarakat dan pendamping mengambil peran supervise dari jauh sebagai mitra aktif masyarakat.
Belajar dari pengalaman di Kaimana dan lambatnya proses
penetapan kawasan hutan desa dan perijinan, 5 tahun adalah waktu yang diestimasi paling cepat masyarakat baru bisa memulai melakukan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan sesuai dengan RKU-nya. Dalam 5 tahun tersebut, berdasarkan pengalaman
berjalan dan estimasi kebutuhan anggaran untuk mendukung kegiatan, dibutuhkan
kurang lebih Rp. 3 milliar rupiah untuk memfasilitasi 1 wilayah adat seperti
Esania. Lalu apabila kita berharap pendekatan yang sama di aplikasikan di
tempat lain di Papua dengan asumsi masyarakat dan pemerintah daerah bersedia
memfasilitasi, apakah kita yakin dengan semua proses yang ada dan kebutuhan
waktu yang pendanaan yang ada, masyarakat adat atau pemerintah daerah lain di
Papua mau mengembangkan hutan desa di tempatnya?
F. Berapa lamakah waktu ideal yang dibutuhkan untuk memfasilitasi hutan Desa menujukemandirian masyarakat melakukan pekerjaan itu sendiri? Berapakah biaya yang dibutuhkan mulai dari pra kondisi awal sampai persiapan pengelolaan dan pemanfaatan hutan desa?
0 komentar:
Posting Komentar