Analisis untuk bahan diskusi lanjutan
Presiden Joko Widodo/Jokowi. FOTO: MI/PANCA SYURKANI - metronews/ 09092015
Dinamika ekonomi global terutama fluktuasi perdagangan
international yang berimplikasi pada fluktuasi nilai tukar mata uang dolar
terhadap rupiah secara langsung telah juga memberikan goncangan kritis terhadap
stabilisasi pasar barang dan jasa serta penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan
melambatnya perekonomian dalam negeri. Merespon kondisi tersebut pemerintan pun
segera mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang dianggap ampuh untuk
menjawab kepercayaan global market terhadap Indonesia dan mempercepat
pembangunan investasi di Indonesia. Dimana kesemuannya diharapkan berjalan
optimal untuk menjaga kestabilan ekonomi negara dan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika.
Paket kebijakan Ekonomi Tahap 3 yang dikeluarkan tanggal 5
oktober 2015, misalnya mengarahkan prioritas kebijakan pemerintah pada
pemangkasan perijinan. Sektor kehutanan[1]
dan lahan adalah beberapa sector-sector yang dinilai proses perijinannya
terlalu panjang dan perlu dipangkas untuk mempercepat pembangunan investasi di sector
ini “Pemerintah memangkas 14 perizinan menjadi enam perizinan, termasuk
membersihkan 9 peraturan menteri sebelumnya”.
Dalam kerangka upaya Indonesia untuk mengimplementasikan komitmen
Indonesia untuk menurunkan emisi dari sector kehutanan dan lahan, paket
kebijakan ekonomi ini dinilai akan menjadi boomerang dan dianggap kontrak
produktif karena kemungkinan akan memacu perluasan pembukaan lahan dan hutan
untuk menjawab kebutuhan investasi. Seiring dengan prioritas pembangunan yang
didorong pada optimalisasi lahan dan orang untuk mendorong optimalisasi
pembangunan pertanian menjadi salah satu indicator terhadap bagaimana kebijakan
ekonomi yang berorientasi pada percepatan perijinan sector SDA akan menjadi
salah satu pendorong percepatan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di
Indonesia.
Fakta-fakta dan kasus meningkatkan pelepasan kawasan hutan
di beberapa sentra hutan primer di Indonesia seperti Kalimantan dan Papua[2]
yang saat ini juga di kepung oleh asap akibat kebakaran hutan untuk
tujuan-tujuan expansi perkebunan[3]
atau pemukiman tersebut mendorong kita untuk secara kritis melihat bagaimana
implikasi paket ekonomi Pemerintah Indonesia terhadap komitmentnya mengurangi
emisi GRK dari sector kehutanan dan Lahan? Perhatian dan keseriusan pemerintah
Indonesia untuk menekan upaya-upaya penyelamatan bumi dari dampak perubahan
iklim melalui kepastian kebijakan mempertahankan hutan sangat diragukan melihat
trend yang ada. Kebijakan ini dinilai hadir disaat yang belum tepat untuk sector
SDA karena saat ini negara sedang belum tuntas menyelesaikan
persoalan-persoalan perijinan serta tata kelola sector pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia. Persoalan-persoalan krusial di tingkat dasar sperti urusan
kepemilikan sumber daya, posisi dan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya alamnya, kerangka penyelesaian sengketa sampai dengan kepastian hukum
hak-hak komunitas adat belum juga matang disiapkan atau diimplikasikan di
wilayah-wilayah dengan sentra SDA yang kaya seperti Papua, Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi.
Kebijakan yang kontrakproduktif ini perlu disikapi semua
pihak dengan baik untuk menjamin bahwa kebijakan pembangunan ekonomi dari sector
SDA secara umum dan kehutanan dan lahan secara khusus tidak memperparah
dinamika persoalan pengelolaan hutan di Indonesia. Dan secara bersama
merumuskan kegiatan untuk mengawal atau mengontrol implementasi paket kebijakan
ekonomi yang baru ini dikeluarkan ini.
0 komentar:
Posting Komentar