Secara ekologi, kebijakan pembangunan ruang cenderung kontra produktif dan mengabaikan prinsip-prinsip ekologis dan pengamanan kawasan ekologi khusus dan rentan. Penetapan definisi dan delinease serta kebijakan proteksi kawasan-kawasan ini belum kelihatan strategi, aksi dan implementasinya. Bahkan kawasan-kawasan ekologi rentan seperti hutan sagu di Sorong Selatan yang merupakan sumber pangan masyarakat, sistem penyangga DAS dan tata air di sepanjang Kais - Kokoda serta kawasan penyimpanan karbon tertinggi karena kandungan gambut yang besar sekarang sudah di alokasikan untuk investasi industri extractive. Pegunungan carts di Manokwari yang diatasnya hidup beberapa satwa endemik Manokwari sendiri sekarang telah dikorbankan menjadi pabrik semen.
Kamis, 17 Desember 2015
Opini: Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Konservasi Yang Konsisten di Provinsi Papua Barat
Bersamaan dengan perayaan ulang tahun ke 16, Pemerintah Provinsi Papua Barat medeklarasikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi pertama di Indonesia, 19 Oktober 2015 Lalu. Provinsi Konservasi merupakan inisiatif Gubernur Papua Barat, Abraham O. Atururi yang dimaksudkan untuk melindungi dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai modal dasar pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Papua Barat. Pencanangan Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi ini merupakan yang pertama di Indonesia bahkan di dunia (www.wwf.or.id). Secara politis ini menjadi momentum penting provinsi Papua Barat bersama dengan semua pihak untuk mengimplementasikan pembangunan dalam rangka pertumbuhan ekonomi-pembangunan yang positif dengan dampak kerusakan lingkungan yang minim.
Secara ekologi, kebijakan pembangunan ruang cenderung kontra produktif dan mengabaikan prinsip-prinsip ekologis dan pengamanan kawasan ekologi khusus dan rentan. Penetapan definisi dan delinease serta kebijakan proteksi kawasan-kawasan ini belum kelihatan strategi, aksi dan implementasinya. Bahkan kawasan-kawasan ekologi rentan seperti hutan sagu di Sorong Selatan yang merupakan sumber pangan masyarakat, sistem penyangga DAS dan tata air di sepanjang Kais - Kokoda serta kawasan penyimpanan karbon tertinggi karena kandungan gambut yang besar sekarang sudah di alokasikan untuk investasi industri extractive. Pegunungan carts di Manokwari yang diatasnya hidup beberapa satwa endemik Manokwari sendiri sekarang telah dikorbankan menjadi pabrik semen.
Bagi beberapa pihak, kebijakan ini dinilai kontraproduksi dengan kebijakan, rencana, program dan arah pembangunan ruang yang sudah dibangun pemeritah Provinsi Papua Barat dimana paket rencana, program dan kebijakan tersebut cenderung menempatkan ekstraksi sumber daya alam sebagai pilar utama pertumbuhan pembangunan. Tata Ruang (RTRWP Papua Barat 2014 - 2034) misalnya menempatkan 2.5 juta ha dari 9 juta ha hutan di Papua Barat sebagai areal yang dapat dikonversi untuk peruntukan non kehutanan. Dimana sekitar 100 - 300 ribu ha diantaranya diusulkan untuk diturunkan dari fungsi konservasi di Provinsi Papua Barat untuk menjadi peruntukan lain dan kawasan fungsi konversi. Kawasan konservasi di Papua Barat sendiri berdasarkan tata ruang, tercatat sekitar 2 jutaan ha yang mencakup lebih dari 25 kawasan dengan fungsi konservasi (Taman Nasional, SM, CA, TWA). Keseluruhan kawasan konservasi ini sendiri belum dikelola dengan baik untuk memunculkan nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat dan daerah, bahkan cenderung memposisikan masyarakat pada korban hukum sebagai akibat penegakan terhadap pelanggaran hukum kehutanan. Overlap batas ijin dan alokasi peruntukan kawasan hutan dan lahan untuk kebutuhan investasi sektor kehutanan dan lahan memberikan informasi bagaimana tata kelola hutan dan lahan di Papua Barat masih jauh dari layak. Sebagaimana SRAP REDD+ Papua Barat yang menunjukan bahwa dari keseluruhan akumulasi luas konsesi sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan terhitung total sekitar 14jt ha luas keseluruhan konsesi terebut. Yang berarti dengan luasan provinsi Papua Barat yang menurut tata ruang adalah 10 juta ha maka terdapat 4jt ha kelebihan dan saling overlap satu dengan lain. Dengan perhitungan ini, mungkikah valid untuk mengatakan provinsi Papua Barat secara hukum sudah dimiliki oleh mereka yang memegang konsesi tersebut?
Kebijakan konservasi juga ditantang dengan fakta bahwa 70% PDRB (Papua Barat Dalam Angka 2013) adalah kontribusi sektor ekstraksi sumber daya alam seperti Pertanian, Pertambangan & Penggalian serta Industri Pengolahan (MIGAS). Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi hijau dengan optimalisasi potensi jasa lingkungan belum kelihatan arahnya, industry jasa perhotelan, transportasi yang masih bisa diasumsikan merupakan kontribusi dari sektor jasa pariwisata kontribusinya belum mencapai 5% dari PDRB. Pertumbuhan ekonomi sendiri dalam kurun waktu 10 - 20 Tahun kedepan diprediksi masih tetap mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan bakarnya, sebagai contoh pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit sendiri mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir, tercatat 6 konsesi perkebunan baru mendapatkan IPK dengan luas mencapai 259ribu ha, sekarang sekitar 150 ribu ha lagi menunggu persetujuan substansi untuk pelepasan kawasan hutan.
Secara ekologi, kebijakan pembangunan ruang cenderung kontra produktif dan mengabaikan prinsip-prinsip ekologis dan pengamanan kawasan ekologi khusus dan rentan. Penetapan definisi dan delinease serta kebijakan proteksi kawasan-kawasan ini belum kelihatan strategi, aksi dan implementasinya. Bahkan kawasan-kawasan ekologi rentan seperti hutan sagu di Sorong Selatan yang merupakan sumber pangan masyarakat, sistem penyangga DAS dan tata air di sepanjang Kais - Kokoda serta kawasan penyimpanan karbon tertinggi karena kandungan gambut yang besar sekarang sudah di alokasikan untuk investasi industri extractive. Pegunungan carts di Manokwari yang diatasnya hidup beberapa satwa endemik Manokwari sendiri sekarang telah dikorbankan menjadi pabrik semen.
Pemikiran dan analisis kritis dan logis tentu harus diberikan kepada pemerintah untuk mewujudkan komitmen pembangunan berwawasan konservasi tidak hanya ada ranah kepentingan dan gaung politik untuk menarik simpati publik. Tetapi betul-betul sebuah pewujudan dari mimpi dan semangat yang tulus untuk mencipatkan pembangunan berkelanjutan dengan mengutamakan nilai manfaat sosial dan ekologi bagi daerah, masyarakat adat Papua dan semua pihak. Lantas, hal-hal apa saja yang harus dibangun untuk mewujudkan provinsi konservasi yang konsisten?
Membangun analisis/kajian sebagai dasar penyusunan kebijakan, rencana dan program harus mampu untuk menunjukan tujuan, target dan dampak perubahan positif dari kondisi saat ini pembangunan ruang di Papua Barat. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipastikan sebagaimana pemikiran-pemikiran berikut:
Tata Kelola Hutan dan Lahan
Membangun tata kelola ruang yang bermartabat dan bermanfaat adalah proses awal yang harus dibangun daerah. Semrautnya pengaturan ruang yang bisa dilihat dari bagaimana overlap luas perijinan, kepastian penegakan hukum kawasan hutan, pembangunan investasi tanpa kepatuhan pada protokol perijinan sampai dengan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat merupakan sebagian dari keseluruhan carut-marut tata kelola hutan dan lahan yang harus dibereskan pemerintah sebelum implementasi kebijakan provinsi konservasi. Sorotan pada konsistensi pengamanan dan kepastian ruang pembangunan adalah batasan mutlak yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pertanyaan-pertanaan teknis tentang berapa luas hutan yang harus dipertahankan tutupan, fungsi dan manfaatnya? Kawasan Ekologi rentan yang harus diproteksi? Ruang-ruang kelola rakyat yang harus dipastikan sampai dengan areal yang diperuntukan untuk investasi hijau pihak ketiga adalah bagian penting yang harus juga bisa dijawab oleh kebijakan konservasi.
Pertumbuhan Ekonomi
Melihat data dan fakta bahwa sumber utama pendapatan asli daerah saat ini adalah dari sektor extraksi sumber daya alam dan 100% pemegang konsesi adalah pemodal besar non Papua, harusnya dipandang secara negative dari sudut padang pembangunan ekonomi hijau dan kegagalan pemerintah mempersiapan Manusia Papua untuk berdaya saing dan berdaulan secara ekonomi. Mengidentifikasi, mendesain sampai mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi hijau dan pro masyarakat adat harus bisa diwujudkan. Arah pembangunan ruang, target-target pertumbuhan ekonomi ekologis harus mampu ditampilkan secepatnya untuk kemudian secara bertahap merubah haluan pembangunan daerah ke ranah pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Menetapkan target-target pertumbuhan ekonomi hijau per periode waktu tertentu yang terukur harus bisa ditampilkan pemerintah daerah.
Nilai Manfaat Sosial
Foker LSM (2009) mencatat bahwa konflik sosial politik di Papua berkorelasi positif dengan pertumbuhan investasi sektor ekstraksi SDA. Nilai manfaat sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat adat yang secara de facto memiliki hak atas sumber daya alam di Papua sangat minim dibandingkan dengan dampak negative yang ditimbulkan. Pembangunan sumber daya manusia juga tidak berjalan optimal di wilayah-wilayah yang menjadi sentra ekstraksi sumber daya alam. Sehingga memikirkan dan membangun kebijakan pembangunan ruang yang menempatkan nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sebagai satu indikator capaian utama adalah penting dilakukan pemerintah. Menghadirkan kebijakan, institusi, instrument dan program yang secara khusus menjawab kebutuhan ini adalah langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan berwawasan konservasi.
Dari 10 Kabupaten dan 1 Kota di Provinsi Papua Barat, terdapat 1,472 kampung yang 80%nya berada dalam kawasan hutan. Serta 90% sumber penghidupan masyarakatnya bergantung pada pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan yang mereka miliki. Sehinga merumuskan kebijakan yang menghormati hak masyarakat adat, menjamin ruang hidup dan menjamin manfaat perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah.
Prinsip-prinsip Konservasi
Konservasi yang benar adalah konservasi yang memegang 3 prinsip utama, yaitu: (1) perlindungan, (2) penganekaragaman dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Ketiga prinsip ini adalah gambaran dari sebuah pemikiran logis konservasi sosial ekonomi dimana pengamanan sumber daya alam tetap harus bisa mempertimbangkan kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di daerah. Menterjemahkan paket program dan aksi implementasi kebijakan konservasi dalam 3 prinsip ini secara seimbang harus dilakukan oleh pemerintah.
Paradigma dan Budaya Kerja
Anthony A. Leiserowitz, et All (2006) dalam tulisanya "SUSTAINABILITY VALUES, ATTITUDES,
AND BEHAVIORS: A Review of Multinational
and Global Trends" memberikan penekanan bahwa pembangunan ekonomi berkelanjutan selalu bisa ditunjukan melalui sikap dan perilaku manusia yang mengerjakannya. Beberapa survey yang dirangkum oleh Anthon, at all menunjukan bahwa perilaku manusia dan budaya kerja mereka selalu dipengruhi oleh cara pandang nilai intrinsik dari alam, pemahaman tentang konsen lingkungan secara global, pengetahun tentang masalah/gap antara perlindungan lingkungan dengan pertubuhan ekonomi, arah kebijakan pemerintah dan perilaku disetiap rumah tangga. Sehingga mainstreaming konservasi sebagai kebutuhan dan pilar pembangunan perlu dilakukan secara kontinyu didaerah untuk memastikan pemahaman menyeluruh, adopsi nilai dan prinsip konservasi yang terukur dalam setiap capaian program Pembangunan di daerah. Budaya kerja dan semangat kerja pastinya adalah faktor lain yang mempengaruhi produktifitas implementasi pekerjaan di setiap unit kerja pemerintah. Gerakan Ayo Kerja yang dicanangkan pemerintah harus dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas manfaat pekerjaan yang dikerjakan dari semua pihak dipemerintahan dan juga dibagikan kepada semua masyarakat. Pendikan dan penyadaran publik dalam merubah paradigma melihat nilai penting alam dan lingkungannya menjadi rangkai proses yang terus dibangun, Karena keberlanjutan adalah mengenai merubah sikap dan perilaku individu.
Kemitraan Kerja
Membangun iklim partisipasi yang sehat adalah proses awal menuju pertumbuhan pembangunan yang baik. Ptorkol, instrument dan jaminan kerja kemitraan antara semua pihak harus bisa diwujudkan untuk menjawab realisasi pembangunan konservasi yang diharapkan dan konsisten. Konsep-konsep kemitraan pemerintah - masyarakat - swasta dan lembaga non profit (LSM) harus bisa didiskusikan dan disepakati untuk dilaksanakan. Kontribusi mitra pemerintah sangat signifikan untuk membantu pemerintah melengkapi bagian-bagian yang belum mampu dilaksanakan pemerintah secara optimal. Kemitraan yang efektif juga merupakan bagian awal dari komitmen pemerintah untuk ikut memberikan kesempatan kepada publik untuk ikut memonitor dan mengontrol pelaksanakan kebijakan ruang yang disusun pemerintah.
Pemerintah Provinsi Papua Barat betul-betul ditantang untuk mewujudkan komitmen politik yang sudah disampaikan menjadi program yang jelas, menyeluruh, terbuka berdasarkan asas manfaat dan bisa opersional sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan bukan untuk kepenting tertentu lainnya. Proses perlu terus dibangun untuk kemudian keluar dari kritik besar yang terus booming di Media social seperti facebook yang menyebutkan bahwa kebijakan provinsi Konservasi di Papua Barat ada diantara komitmen politik yang tidak realistis karena dan kajian akademis yang tidak komprehensif.
Selasa, 15 Desember 2015
COP 21: Tambrauw and Jayapura Districts Shared the Important of IPs Rights Protection and Recognition in Sustainable Land Uses and Forests Management at the District Level.
By Yunus Yumte at 18.56
No comments
In Le Bourget –
Paris started from 31 November – 11 December more the 196 countries leader and
negotiator were in robust discussion to meet the global agreement to saving the
planet by the mitigation and adaptation action to reduce the impact of climate
change. The historical agreement has been achieved and agreed on the closing of
the COP 21 with huge ambitious target in preventing the 20 C
increasing of global temperature by 2100 in which all country must able to show
their national determined contribution include the action to reduce emission
from deforestation and degradation in forested country.
Considering the
crucial position of Papua – Indonesia in the global climate change works the
message to global audience about how important are Papua were conveyed at COP
21 in Paris. Together with it Brother, Papua New Guinea the island stored the
last remaining tropical forests in Asia – Pacific and has been pointed as the
world biodiversity hotspot. Current status of Papua forests are 41 million ha.
The attended of the Papua delegation were also to share how forests and
Indigenous People are in one bloodline that in strong relation each other. Two
delegations From Jayapura and Tambrauw Districts Government represented by the
honorable Bupati Jayapura Mr. Matius Awoitauw accompanied by Mr. Peter Kamarea
and the honorable head of Tambrauw Parliament Mr. Gabriel Titit with
accompanied by the district adviser on Natural Resources Management – Mr. Sepus
Fatem were got chance to learn from International Climate Change meeting in
Paris and shared their experienced of works at sub national level in related to
sustainable development initiative and conservation district based on IPs
rights.
On the IPs
Pavilion event December 5th, Bupati Jayapura talked about why the
local government in Papua needs to looks at the strength that community has to
enhance the sustainable development objective. Presenting all the action,
achievement and plan they have in districts development based on IPs right he
says that “it’s the time for community to reviving the values and governance
that living with them for centuries”. Packaging all the activities using legal
umbrella are the wise-safe and strategic ways that the government been doing to
make sure that the national development objectives and intent are also inline
with the spirit in right based development approaches. In the same event the General Secretary of
Papua Customary Assembly (DAP) pointed out that the Papuan IPs advocacy flow
are now also need to be gradually shifted from ideological struggling to self-
cultural and resources dignity in which taking part actively in the official
developments to derive multiple benefit from it. He appreciates all Bupatis
with the vision and action to recognize, protects and enable Papuan IPs to be
strengthening and participating fully in development.
Jayapura
District is one of the oldest district in Papua Island of Indonesia. It covers the
areas that in total about 1,2 million ha with 96% are forests reserves. As the
entry doors of Papua (red: as capital of Papua Province), massive changes has
happening in the sites; population growth, land uses and forests development
target, decreasing local cultural values and conflict benefits to Papuan are
some challenging issues the government is facing. Acknowledging the absolute
right of IPs, reminded that the customary values are in threaten by the new
coming value and acknowledging their contribution on district development, the
Government then in 2013 legalized District Regulation (PERDA) about customary
villages. The regulation is the umbrella for all legal, strategic and technical
program in the region to run customary based administrative governance at
village level, include forests and land management.
In separated
session the Tambrauw Parliament chief said that “development in Papua should
able to appropriately address the problem at customary community as they are
the high right holder of the areas where the development is been implementing”
some of the development are delayed of the slow of right compensation problems.
“The Tambrauw Government has starting to draft the regulation about IPs Rights
Protection and Recognition and it is expected to be legalized by middle of next
year (red: 2016)” he added.
Same as
Jayapura, Tambrauw is the district that has an advance effort to push the IPs
rights issues. But Tambrauw is the new district separated in 2009 from Sorong
and Manokwari in West Papua Provinces. 1.1 milion ha with 98% of forests cover
dominated by conservation and protection function (Red: based on Indonesia
Forests Designation category). Tambrauw is one of the less-touched place for
natural resources research, most of the recently research are conducting in the
marine and coastal zone where the nested birth buffer of leather back sea
turtles. Since 2013 the Government announced its political commitment as
Conservation District in which minimizing the natural resources extraction while
optimizing the green economic values for the district income such as water for
electricity. The government acknowledged that in place like Papua, putting
conservation as development compass are heavily challenging particularly from
economic perspective so appropriately design the spatial projection that shows
benefits from economic, ecology and social are crucial and at the same time
should able to answer the poverty and human development target.
Selasa, 08 Desember 2015
Aka Wuon Mapped 3 Clans Boundary in Tambrauw
AKA WUON Field facilitator in a discussion with elders in Fef - Photo: Ruben Yogi
Fef Sub-District of Tambrauw, the candidate of district capital. Photo: Ruben Yogi
The government of Tambrauw Districk-West Papua Province in collaboration with customary community groups have gradually facilitating clans discussion in each sub-district to talks about an efforts to reduce conflict of land right claim that emerged in line with the development expansion. The 1st discussion was held in Fef sub-district engaged 13 clans from Abun and Miyah tribes - about 70% of the district administration region are in these two tribes. Social information, agreement on mapping and a customary boundary sketch were produced at the end of the meeting.
As followed up AKA WUON (NGO based in Sorong) moved with the community to wrapping up social data and information and facilitated technical mapping to digitized the boundary of the 13 clans. In 5 month started July until November 2015 AKA WUON has helped 3 clans; Baa Sakof, Baru Rufubun and Tafii to technically maps and digitized their boundary into a digital maps. These 3 clans area cover about 3500 ha of Fef district. The mapping was facilitated in neutral approaches in which AKA WUON was tried to avoid the personal/political and other groups interests in process because they understand that rights over land and resources are an sensitive issues in now days as an implication of the new economic mainstream in the community mind.
AKA WUON acknowledged that there are long remaining steps the community should take to makes the maps are living and working on conflict resolution and land uses regulation in current development pressure. As an NGO with most of the crew are originally from tribes in Tambrauw, they listed strengthening the structure of customary institution, facilitate common consensus and agreement until legal protection and government as sets of next step they should work with the community. Its just the beginning, because for maps there are 10 clans in the sub-districts that not yet mapped digitally. While for all Tambrauw there are more than 100 clans from 5 main tribes are also expected to have a maps like what 3 clans in Fef have.