Wajah penasaran dan suasana berbeda terasa pada Rapat Koordasi Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua Barat yang dilaksanakan di Hotel Aston Nui Manokwari tanggal 7 - 8 Maret 2017. Kenapa tidak, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang lebih banyak membedah program kerja dan sinkronisasi agenda antara kabupaten/kota, agenda Dishut Provinsi dan agenda kerja lembaga-lembaga UPT kementerian kehutanan di daerah, rapat koordinasi kali ini lebih padat mendiskusikan bentuk, komposisi, struktur dan pengaturan kelembagaan serta distribusi sumber daya manusia ke setiap unit yang sudah didesain oleh Pemerintah Daerah. Rasa penasaran tersebut adalah terkait dengan pengaturan tata kelembagaan yang harus diambil untuk menyesuaikan dengan amanat UU 23 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa urusan kehutanan bukanlah urusan wajib dengan implikasi langsung pada penghapusan dinas Kehutanan di Kabupaten/kota dan penyerahan aset termasuk personil dari Kabupaten/kota kepada Provinsi. Pemerintah harus memangkas birokrasi dan menata overlapping struktur yang sejauh ini dinilai sebagai pemborosan biaya rutin pegawai. Atau dengan kata singkat sekarang ini semua urusan kehutanan di daerah menjadi tanggung jawab provinsi, dimana kondisi ini sudah efektif diterapkan sejak oktober 2016 Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota sudah tidak lagi diakui dan tidak berjalan. "jadi bagaimana status kita? Jabatan dan tanggung jawab apa yang melekat? Kapan CDK atau KPH akan efektif dijalankan? Siapa yang akan dilantik dan pada posisi apa?" Kira-kira ini beberapa pertanyaan dominan yang muncul dari peserta terutama mereka yang berasal dari kabupaten/kota. "Ade kita juga belum tau pasti, semua lagi mengikuti dan menunggu keputusan dan arahan dari provinsi" Kata seorang perwakilan dari Kabupaten orang yang saya kenal ketika saya bertanya bagaimana status-nya?
Implikasi besar tentunya pada delay pekerjaan yang panjang. Pak Erens Ngabalin, Mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari misalnya secara lugas kembali menyampaikan keberatannya terhadap implementasi UU 23/2014 yang dianggap tidak secara holistic dan tidak manusiawi melihat kepentingan daerah dan staff-nya dalam memberikan pertimbangan terhadap efektifan layanan kehutanan di daerah. "Hutan di Papua ini Luas dan butuh orang di Kabupaten/Kota untuk bekerja, bisa dibayangkan sekarang kosong unit-unit dan petugas-petugas di lapangan karena perubahan yang terjadi - apa yang diharapkan dari cita-cita dan target pengamanan hutan?" terangnya. Penegasan ini merespon presentasi Bapak Ir Bachril Bakhi, M. App dari Kementerian Dalam Negeri yang hadir memenuhi undangan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat memberikan materi tentang kelembagaan kehutanan berdasar UU 23/2014 dan PP 18 2016. Dalam penjelasannya Pak Bachril mengatakan "point penting dari perumusan dan persetujuan UU 23/2014 adalah efisiensi anggaran belanja negara. Kajian yang dilakukan oleh Depdagri menemukan bahwa ada rasio belanja yang tidak seimbang dimana >50 % anggaran dipakai untuk belanja pegawai ketimbang belaja modal yang dibutuhkan untuk pemerataan dan percepatan pertumbuhan ekonomi terutama di level masyarakat. Implikasi penerapan kebijakan Otonomi Daerah sebelumnya adalah alokasi anggaran untuk mendukung program-program produktif dan bentuk lain pemberian manfaat ke masyarakat kurang terasa". Selain itu di Tambahkannya "pengaturan kelembagaan mempertimbangan aspek teknis layanan langsung kepada masyarakat, untuk Cabang Dinas Kehutanan dan UPTD misalnya dia mengambil peran operasional teknis mendukung kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh dinas dan bersentuhan langsung dengan masyarakat". Pak Bachril kembali menekankan bahwa ada proses penilaian dan kajian berdasarkan skoring sebagaimana regulasi mengatur-nya untuk menentukan pembentukan unit-unit kerja untuk layanan kepada masyarakat yang lebih optimal sebagaimana amanat Presiden untuk memastikan bahwa ada penghematan antara 10 - 15% dari belanja pegawai untuk dialokasikan kepada program-program langsung kepada masyarakat.
Secara legal pasca UU 23/2014 ditetapkan pemerintah telah mengemas dan menyiapkan perangkat regulasi dan arahan teknis untuk bisa dipedomani oleh daerah melakukan penataan kelembagaan dan birokrasi tanggung jawab di daerah dengan penekanan pada urusan administrasi dan fungsional yang efisien dan efektif. Untuk urusan kehutanan misalnya ada 2 rujukan aturan utama yaitu PP 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah dan Peraturan Menteri Kehutanan Dan Lingkungan Hidup No 74 Tahun 2016 Tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Urusan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagai tindaklanjut, pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat bersama dengan DPRD Provinsi telah juga mendorong dan menetapkan PERDA No 7 Tahun 2016 Perangkat Daerah di Provinsi Papua Barat yang menyebutkan juga tentang pengaturan kelembagaan urusan kehutanan dan lingkungan hidup di Provinsi Papua Barat. "Diskusi tentang kekhususan Papua sudah juga dibangun di Jakarta, sehingga saat ini Permendagri Tentang Kelembagaan Papua tinggal menunggu pencatatan Nomor di Kemenhumham" Kata Pak Bachril. Permendagri yang dimaksudkan No 12 Tahun 2017 ini adalah bentuk komunikasi politik dan teknis dari provinsi untuk memastikan kepentingan tata layanan kehutanan di Papua dan Papua Barat yang luas hutannya mencapai 40 juta ha dengan prosentasi tutupan >90% bisa terlaksana dengan Baik. Lebih lanjut, menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Ir. F.H Runaweri,MM peraturan Gubernur mengenai kelembagaan kehutanan di Papua Barat yang menyebutkan jumlah dan struktur CDK, UPTD dan KPH di Provinsi Papua Barat sedang disusun. "Dokumennya sudah ada dan sudah dibawa untuk didiskusikan di Kemendagri, tetapi kemendagri masih meminta kajian Akademis. Sehingga saat ini kita meminta UNIPA untuk membuat kajian teknis tersebut" tegas Pak Kadis menegaskan sesi sebelumnya dimana 3 Dosen Fakultas Kehutanan UNIPA memaparkan kerangka kajian yang akan dilakukan terhadap kelembagaan urusan kehutanan di Provinsi Papua Barat.
Layanan Kehutanan yang Terhambat
Implikasi langsung dari pelimpahan aset dari kabupaten/kota ke provinsi, penghapus dinas kehutanan di kabupaten dan perombakan birokrasi didaerah adalah fakum-nya aktifitas pelayanan kehutanan di daerah. Kepala KPHP Sorong misalnya menghighlight berkurangnya kontrol terhadap aktifitas penebangan dan pemuatan kayu dengan dasar ijin pemungutan yang terjadi selama proses delay pengaturan kelembagaan ini. "melihat efisiensi anggaran sah-sah saja, tetapi tetap harus memperhatikan produktifitas pengelolaan dan pengamanan hutan didaerah. Jangan sampai hutan dan masyarakat yang menjadi korban" pesan Kepala KPHP Sorong D.Lumbangoal kepada Perwakilan Depdagri. Senada dengan Kepala KPHP Sorong, Perwakilan dari Kabupaten Maybrat bapak Wafom juga mengangkat isu kritis tersebut tentang pentingnya percepatan penataan kelembagaan, struktur dan tanggung jawab sampai kedaerah sehingga pekerjaan bisa segera dijalankan. Sorotan terhadap aspek layanan pastinya menjadi titik penting Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat untuk bersama dengan pihak pemerintah terkait mengatur secara baik dan cepat kelembagaan ini. Tentu dengan pengaturan tentang komposisi, jumlah dan bentuk layanan operasional yang tepat. Pada sesi tanya jawab tentang naskah akademis saya mengusulkan agar "(1) apa saja UPTD Teknis yang harus dibangun dan yang mana tugas dan fungsinya belum melekat pada desain besar yang diatur dalam kebijakan PP 18 maupun PermenLHK 74/2016? (2) berdasarkan kriteria dan indikator sesuai aturan dan dasar yuridis/akademis berpijak tentang kondisi hutan Papua, para pakar kehutanan di dareah perlu membantu pemerintah untuk merumuskan jumlah dan komposisi kompetensi bidang operasional disetiap unit yang akan dibentuk sebagai pelaksana program-program yang disusun Dinas Kehutanan Provinsi.
Informasi tentang proses yang sedang ditapaki oleh pemerintah Provinsi Papua Barat terutama Dinas Kehutanan untuk memperjuangkan bentuk kelembagan, komposisi struktur organisasi termasuk pengganggaran nampaknya belum membuat mereka yang hadir lega terutama karena semua proses yang berjalan masih memakan waktu panjang untuk proses review, bedah sampai penetapan. Apakah tendensius untuk menunjukan antipati terhadap kebijakan pusat dan pengaturan kebijakan terkait UU 23/2014 yang dinilai merugikan Papua menambah daftar pemicu konflik psikis antara daerah dan pusat yang kemudian harus mengorbankan pelayanan kehutanan di daerah. KPH dibahas khusus tetapi belum mendapatkan perhatian serius. Dalam pemaparannya Kepala Dinas Kehutanan menampilkan 8 kerangka isu strategis kehutanan yang akan dikonkritkan dalam program detail oleh Dinas Kehutanan dimana pembangunan dan support operasionalisasi layanan KPH belum masuk khusus sebagai isu utama, tetapi diarahkan untuk menjadi bagian didalam 8 isu ini. 8 Isu tersebut adalah: (a) pemberantasan illegal logging, (b) optimalisasi penerimaan PNBP, (c) perambahan hutan, (d) pemberdayaan masyarakat, (e) pemantapan kawasan hutan, (f) pengaturan tata industri kehutanan, (g) peran serta masyarakat adat dan (h) perhutanan sosial. Sekalipun begitu, apabila dilihat masih banyak overlapping isu yang sebenarnya hanya menjadi satu isu kunci, tetapi tentu point kritisnya adalah semua ini akan bisa di programkan baik sampai dilaksanakan dengan capaian yang diharapkan apabila struktur, kelembagaan dan distribusi sumber daya manusia di laksankan dengan tepat.
0 komentar:
Posting Komentar