A. Konflik
Kehutanan di Indonesia dan Papua
Salah
satu masalah dalam pengelolaan hutan di Papua adalah tingginya konflik
pengelolaan hutan di lapangan. Konflik baik yang bersifat perdata sampai yang
berujung pada tindakan pidana masih menjadi bayang-bayang buruk yang memberikan
teguran kritis pada usaha-usaha pengelolaan hutan lestari. Analisis nasiaonal
tentang konflik di sector kehutanan tahun 1997 – 2003 ditemukan bahwa ada 359 kasus konflik yang berhasil dicatat, 39% diantaranya
terjadi di areal HTI, 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung dan
taman nasional) dan 27% di areal HPH. Catatan ini juga memberikan informasi
bahwa bagian-bagian dengan tingginya konflik kehutanan ini antara lain tata
batas hutan yang tidak jelas, alih fungsi kawasan hutan yang tidak rasional,
konflik hak-hak tanah ulayat yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai
perambahan hutan oleh masyarakat, pencurian kayu dan lemah kontrol serta kerusakan
lingkungan akibat eksplotasi hutan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan
usaha rehabilitasi atau reklamasi[1]. Salah satu penyebab dari munculnya
konflik-konflik ini adalah karena lemahnya penegakan hukum dan
ketidakkosistenan aturan lintas sektoral. UU kehutanan 41/99 dan turunannya
belum mampu menjawab dinamika pengelolaan hutan di Daerah[2].
Untuk konteks Papua, kurangnya usaha-usaha
klarifikasi dan pengakuan legalitas kepemilikan wilayah adat masyarakat yang
berimplikasi pada lemahnya posisi tawar masyarakt secara hukum. Ketidakpastiaan
hukum positif tersebut secara sadar tidak harmonis dengan hokum adat yang
pegang oleh sebagian besar masyarakat di Papua[3].
International Crisis Group[4]
dalam penitiaannya menyebutkan bahwa perebutan tanah dan hak atas sumberdaya
alam merupakan aspek kunci dalam konflik di Papua. Ketidakadilan dalam
pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan peraturan pemerintah Nasional telah
berperan sangat besar dalam konflik tersebut. Negara kerap memberi konsesi
kepada perusahaan pengelola sumberdaya dengan mengabaikan hak-hak adat
masyarakat Papua pribumi.
B. Analisis
Penyebab Konflik kehutanan
Akar masalah dalam pengelolaan
lahan dan hutan di Papua adalah:[5]
- Tidak adanya kepastian hukum penguasaan (tenurial
security) tanah-tanah adat /SDA/wilayah kelola masyarakat
- UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang
mendudukan masyarakat sebagai objek hutan dan tidak secara tegas
memberikan ruang pengakuan keberdaa masyarakat dan haknya atas sumber daya
alam. Serta cenderung memposisikan masyarakat sebagai perambah hutan yang
menggangung batas dan investasi pengelolaan hutan.
- Pemberian izin/hak oleh pejabat publik(menteri
kehutanan, menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang memasukkan
tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan masyarakat adat/lokal ke dalam konsesi
badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun
konservasi.
- Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan
dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan,
usaha-usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi.
- Lemahnya penegakan hukum terhadap
perusahan-perusahaan dan okum-oknum pemerintah yang tidak disiplin di
Papua dalam membangun system yang tidak transparn dan melegalkan yang
ilegal. Sebagai contoh beberapa perusahaan perkebunan yang kecenderungannya
mengambil kayu komersil lalu pergi begitu saja dan tidak membangun
perkebunan. Lemahnya penegakan hukum dalam penyelesaian berbagai permasalahan
yang terjadi antara masyarakat sekitar hutan dan perusahaan akan
mengakibatkan konflik-konflik baru terjadi. Hal ini sering dijadikan pihak
ketiga seperti cukong-cukong kayu untuk memanfaatkan konflik tersebut demi
kepentingannya. Maraknya penebangan liar merupakan wujud ketidakharmonisan
pemerintah/aparat keamanan, perusahaan dan masyarakat sekitar hutan.
- Instrumen
hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan
korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara semata, akan tetapi
telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi.
C. Membangun
mekanisme penyelesaian sengketa (arbitrase)
Harus diakui bahwa kecenderungan konflik lahan dan
sumber daya alam akan semakin dengan peningkatan Investasi dari sector lahan
dan hutan di daerah apabila semua pihak masih tidak peduli untuk menjawab akar
permasalahan konflik di Tanah Papua. Membangun sebuah system penyelesaian
konflik dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi sebuah kebutuhan di Papua
karena selama ini dinilai sangat lemah. Lahan dan sumber daya alam didalamnya
menjadi objek bagi penguasa-penguasa yang kebal hukum untuk memperkaya diri
sendiri. Korupsi masih menjadi masalah yang tidak kalah bersaing dengan masalah
lain dengan predikat ‘Disclaimer” dari BPK[6]
dan beberapa kasus korupsi pejabat yang sampai sekarang kecenderungannya tidak
secara tegas di tindak memberikan bukti nyata bahwa kebutuhan untuk membangun
instrument hokum yang tegas dan bertanggung jawab menjadi mimpi besar yang
harus di wujudkan.
Khusus untuk penyelesaian sengketa, sudah banyak
contoh kasus pemanfaatan sumber daya alam di Papua yang sengketanya
diselesaikan dengan cara kriminalitas. Hal ini muncul karena tidak ada
mekanisme penyelesaian sengkata (arbitrase) yang disepakati oleh pihak-pihak
yang berkepentingnan dalam menyelesaikan konflik secara damai. Kecenderungan
yang ada para actor memakai jalan kriminalitas, bahkan beberapa kasus pengusaha
besar kecenderungan menggungakan pendekatan keamanan untuk mengamankan konflik,
dimana sebagian diantaranya berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga-lembaga
kunci di daerah yang diharapkan bisa mengambil peran arbiter belum menjalankan
tugas dan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang. Lagi-lagi
korupsi dan suap-menyuap dengan berbagai kepentingan masih menjadi masalah yang
menyebabkan semakin lemahnya peran lembaga-lembaga arbiter ini. Ditatanan
masyarakat pun terjadi hal yang sama. Muncul berbagai lembaga yang
mengatasnamakan adat dan masyarakat untuk tujuan politis dan jembatani
kesepakatan-kesepakatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan di
wilayahnya. Tetapi pada pelaksanaannya hanyak kepentingan-kepentingan tertentu
saja yang diakomodir dan menghiraukan kepentingan masyarakat yang mereka wakili
sehinga memunculkan konflik panjang di masyasrakat.
Desain mekanisme dan instrument hukum arbitrase
diharapkan ditopang dengan 3 pilar dari negara yang berdasar hukum : 1) lembaga
atau penegak hukum yang berwibawa dan dapat diandalkan, 2) peraturan hukum yang
jelas dan sistematis tidak saling overlapping, dan 3) kesadaran hukum
masyarakat yang tinggi. Dengan dasar pemikiran tersebut, makan mewujudkan
penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang berkeadilan secara efektif bisa
digambarkan sebagai berikut[7]:
Merevitalisasi dan meningkatkan koordinasi lembaga
peradilan baik peradilan dan penegak hukum negara maupun peradilan adat menjadi
langkah awal dalam mewujudkan penegakan hukum dalam pengelolaan hutan di Papua
Barat. menyiapkan kerangka legal bagi pengakuan atas hak dan membangun system
“reward dan punishment” dalam pengelolaan hutan diharapkan mampu merubah cara
pandang masyarakat secara meluas dalam rangka penegakan hukum dan penyelesaian
sengketa yang berkeadilan untuk mendorong pengelolaan hutan dan lahan secara
berkelanjutan di Papua Barat. Penegakan hukum dalam pengelolaan hukum sedianya
diberlakukan dengan mengitegrasikan
prinsip yuridis, sosiologis dan fisolofis hukum itu senditi sehingga
aspek ‘menyelesaikan’ masalah bisa berjalan degan adil dan memberikan ‘reward
dan punishment’ secara tegas kepada pelanggar dan pelaksana hukum itu.
Arbitrasi memberikan ruang bagi semua pihak untuk
duduk bersama tanpa paksaan dan tanpa tekanan membangun kesepakatan-kesepakatan
hukum yang bersifat mengikat ‘punish dan reward’nya. Sehingga semua pihak
mengerti dan menghormati kewajiban dan konsekuensi dari pelaksanaan aturan
hukum dan pelanggaran dari aturan tersebut.
D. Penegakan
hukum dan Penyelesaian Sengketa dalam REDD+
REDD sebagai sebuah skema baru pengelolaan hutan dan
lahan yang dikembangkan dari tata hutan dan lahan sebelumnya mensyarakat pra
kondisi yang harus bisa diwujudkan oleh negara-negara berhutan untuk diberikan
kompensasi. Pra kondisi tersebut diantaranya system pengelolaan hutan yang
transparent, partifipatif dan accountable dan dilengkapi dengan mekanisme
monitoring dan verifikasi yang bisa diaudit public. REDD juga memperhatikan isu
sengketa lahan dan hutan. Dimana dalam negosiasi international muncul istilah
‘safeguard’ yang mengarah pada pengertian ‘jaminan’. Yang ditekankan adalah
jaminan ‘sosial atau social safeguard dan jaminan keberlanjutan lingkungan atau
environmental safeguard’. Artinya bahwa aspek penegakan hukum dalam dalam
mengontrol jaminan tersebut harus tersedia.
Sebagaimana investasi pada pembangunan seperti yang
ada sekarang dimana kontrak kerja atau kesepakatan ijin dan kesepakatan lain
dibangun dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, REDD pun akan
mengikuti pola yang sama berdasarkan aturan yang berlaku di negara. Hanya saja,
ada penekanan pada proses partisipasi dan perjanjian ‘hak dan kewajiban’ dari
pihak yang berinvestasi disini. REDD juga mensyarakat di sediakannya surat
kesepakatan penyelesaian sengketa (arbitrasi) yang akan dipegang bersama dua
pihak yang bersepakat sebagai kekuatan hukum yang mengikat untuk memastikan
bahwa setiap pihak memiliki kewajiban untuk menghormati hak dan kewajiban
masing-masing dan menyepakati bentuk ‘punish dan reward’ dari kegiatan yang
dilakukan.
Lembaga arbiter pemerintah dan lembaga arbiter adat
yang ada perlu di revitalisasi untuk secara kolaboratif bekerjasama
menjembatani kesepakatan yang terbangun. Menjadi pengawas dan menjadi penengah
ketika kedua belah pihak melanggar kesepakatan yang terbangun. Apabila sengketa
yang terjadi berupa tindak pidana maka, arbiter akan memberikannya langsung
kepada lembaga penegak hukum yang berwajib dalam hal ini Kepolisian. Arbiter
diarahkan untuk menjadi satu unit koordinasi dibawah lembaga REDD yang akan
memberikan ruang bagi semua kelompok peradilan seperti Jaksa, Hakim,
Kepolisian, Notaris dan lembaga arbiter lain bersama dengan lembaga adat dan
lembaga hukum international mengawal implementasi REDD di Papua Barat
Dalam pengertian REDD yang efektif dimana mekanisme pembagian manfaat dan pengakuan hak atas karbon menjadi kunci dan dikemas dengan system monitoring dan verifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu korupsi dan pelanggaran hukum dalam pengelolaan hutan menjadi perhatian. Mengemas system di daerah yang ‘trustable’ dengan transparansi palaporan dan pembagian manfaat financial yang didapat serta mekanisme tegas terhadap pelanggaran hukum menjadi kunci. “trus fund” diharapkan muncul sebagai unit dalam lembaga REDD daerah yang ‘public audits’ untuk menyediakan jaminan hukum dalam berinvestasi dalam memastikan manfaat yang terdistribusi secara adil
[1]
`Yuliana Cahya Wulan, dkk. 2004. Analisis konflik Kehutanan 1997 – 2003. Dipublikasi oleh CIFOR.
[3]
Lindon Pangkaly, 2006. Potret Hutan Papua.
[4]
ICG, 2002. Sumber daya alam dan konflik di Papua. ICG Asia Reports No 39.
Jakarta.
[5]
Noer Fauzi Rachman. 2012. Dari konflik Agraria menuju reforma Agraria. Bahan
presentasi.
[6]
BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
[7]
NURUL HAKIM, 2002. EFEKTIVITAS PELAKSANAAN SISTEM ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN LEMBAGA PERADILAN.
0 komentar:
Posting Komentar