Persoalan mandek-nya IUPHHK-MHA apabila ditelusuri dan dicermati boleh dibilang hanya perkara sederhana, dimana tata usaha kayu IUPHHK-MHA di Papua tidak diakui karena nomenklatur skema pengelolaan hutan yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UU-41/1999 tentang kehutanan. Sungguh ironis bukan? UU 41/1999 cenderung membangun dinasti sendiri dan seakan menutup jalan bagi produk hukum setingkat UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua sulit di implementasikan.
Sungguh sangatlah kelihatan bahwa pertimbangan politis kepentingan dan kewenangan pengelolaan sumber daya alam masih menjadi alasan kuat bagi pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kemeterian Kehutanan untuk terus menunda penetapan NSPK IUPHHK-MHA yang merupakan jembatan harmonisasi antara UU no 41 Tahun 1999 dengan UU No 21 Tahun 2001. Seharusnya pemerintah pusat melihat secara strategis nilai penting dari jembatan ini untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Papua tentang kepedulian NKRI memberikan ruang legal bagi orang asli Papua untuk mengelola dan menikmati hasil dari tanah mereka sendiri.
Nah... Mari merenung sejenak dan bertanya, kira-kira sampai kapan NSPK IUPHHK-MHA ini terus di delay proses penetapannya di kemenhut? Dan langkah apa yang mungkin belum di ambil para pihak di Papua yang mendorong isu ini? Negara sebagai rumah dan orang tua bagi rakyat yang merupakan anak-nya harusnya memberikan kesempatan dan bukan memberikan ketidakpastian. Jawaban dan langkah tegas dari Ibu Menteri Kehutanan sangatlah ditunggu untuk mempertegas langkah nyata program preseden Jokowi dari sektor kehutan dan juga komitmen politis Pak Jokowi untuk tetap memberikan ruang yang luas bagi orang asli Papua untuk membangun dan mendapatkan manfaat yang besar di atas tanah-nya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar