Senin, 23 Mei 2016
Menguji Berjalannya satu Inisiative Hutan Desa di Indonesia: Sebuah Bahan untuk Fasilitator!
Kebijakan perhutanan sosial di era president Jokowi memberikan target yang besar yaitu tercapainya 12,7 juta ha areal kerja untuk implementasi skema hutan desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) oleh beberapa pihak dinilai positive tetapi ambisius dan tidak realistis ditengah persoalan tata kelola hutan yang masih belum selesai. Selain itu pendampingan dan fasiltasi semua pihak terhadap beberapa pilot dan designated areas untuk perhutanan sosial yang ada sekarang juga belum optimal membuat kita untuk tentu perlu melihat kembali keseriusan fasilitasi di tingkat lapangan untuk memastikan target yang ada tidak hanya target ditutup dengan pidato politis tetapi laporan realisasi proses dan keberhasilan di lapangan. Karena seyogyanya kebijakan ini sangat strategis untuk membantu masyarakat didalam dan sekitar hutan mengakses sumber daya alam, dikelola untuk menjawab kebutuhan peningkatan kesejahteraannya.
Hutan Desa misalnya dipandang sebagai sebuah angin segar bagi komunitas atau desa/kampung yang berada pada kawasan hutan dengan fungsi produksi dan lindung. Untuk wilayah-wilayah seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua dengan tutupan hutan primer dengan fungsi lindung dan produksi yang luas tentu melihat ini sebagai sebuah peluang untuk mengimplementasikan perjuangan lama konsep PHBM di dalam kawasan hutan negara. Beberapa model hutan desa kemudian di inisiasi. Dominan difasilitasi oleh CSO/NGO lingkungan. Papua sendiri saat ini tercatat ada 3 hutan desa yang sudah ditetapkan sejak Tahun 2014 yaitu Hutan Desa Esania di Kaimana dengan luas 11,005 ha, Hutan Desa Sira dan Hutan Desa Manggroholo di Sorong Selatan dengan total luasan 3,800 ha. Proses legal penetapan areal kerja sampai pra kondisi penyiapan masyarakat sudah juga dijalankan dengan harapan besar Hutan desa memberikan manfaat balik kepada masyarakat di kampung yang mengusulkan.
Aspek legal, teknis dan bussiness yang padat dari Hutan Desa juga sangat dipengaruhi oleh bagaimana kesiapan sosial kelembagaan yang ada di tingkat kampung/desa. Serta bagaimana peran dominan seorang fasilitator memfasiltasi keseluruhan proses dilapangan. Sorong Selatan dan Kaimana di Papua bagi saya sebuah contoh dan pelajaran penting untuk merumuskan pola dan mekanisme intervensi HD yang tepat untuk Papua. Kelemahan-kelemahan dan kekurangan pada aspek krusial hutan desa di tingkat kampung tentu perlu terus dilihat sebagai sebuah titik kebocoran yang perlu ditambal untuk memastikan HD berjalan optimal. Pengalaman Sorong Selatan dan Kaimana telah memberikan saya satu paket pertanyaan yang saya sebutkan sebagai "Menguji Berjalananya satu Inisiative Hutan Desa di Indonesia". Paket pertanyaan ini adalah rangkuman beberapa pertanyaan yang muncul di kepala saya berdasarkan pengalaman fasilitasi di Kaimana dan fasilitasi yang dilakukan oleh teman-teman di Sorong Selatan. Daftar pertanyaan tersebut saya sajikan didalam file word berikut DOWNLOAD. silahkan di download untuk membantu semua pihak yang konsen terhadap pembangunan hutan desa.
Berbagai panduan praktis sudah disiapkan untuk secara sederhana kita menguji sebuah proses fasilitasi hutan desa. Tetapi memiliki sebuah alat uji dengan rangkaian pertanyaan mungkin bisa membantu kita untuk terus melihat, mefasilitasi dan mengukur titik capaian dan progress yang sudah dilalui dari sebuah proses hutan desa.
0 komentar:
Posting Komentar