6 Tahun Perjuangan Membangun Kesetaraan
Sudah hampir 6 Tahun pasca di tetapkan oleh Gubernur Provinsi Papua, nasib 5 Koperasi IUPHHK-MHA Model di Provinsi Papua yang disusun dengan semangat tata kelola hutan lokal dalam kerangka Otonomi Khusus Papua (UU No 21 Tahun 2001) masih tidak jelas karena digantung dengan "pengemisan" tak berujung ke Kementerian Kehutanan RI untuk mendapatkan Norma Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan Adat di Provinsi Papua. Ironi tentunya ketika masyarakat adat Papua yang secara de facto adalah pemilik tanah adat dan dengan niat baik ingin mengelola hutan dengan prinsip-prinsip yang benar dan legal dihambat tanpa jastifikasi yang jelas dari kementerian kehutanan. Disaat bersama Negara dengan lancarnya memfasilitasi konsesi-konsesi kehutanan skala besar milik para "kapitalis" memanfaatkan sumber daya hutan di Papua dalam luasan yang besar. Pengembangan Perdasus 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua secara jelas menegaskan apa yang negara mimpikan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Provinsi Papua bahkan sudah berpikir lebih dulu untuk mewujudkan amanat UU 41/1999 BAB IX dan BAB X Tentang Peran Serta Masyarakat dalam Kehutanan di Indonesia. Tentu belajar dari bagaimana membangun tata kelola hutan yang baik, terkontrol dan bermanfaat semua perangkat legal sampai ke level teknis pelaksaan pengelolaan dibangun di sediakan oleh Papua sebelumnya rancangan mengenai konsep-konsep PERHUTANAN SOSIAL muncul di Kementerian Kehutanan.
Lihat juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2014/08/urgensi-penerapan-svlk-terhadap.html
Namun apa boleh dikata, memiliki kekhususan pengaturan Hutan Papua yang juga diperoleh Papua setelah perjungan panjang menuntut kesetaraan belum juga bisa berjalan sebagai mimpi para orang Papua yang sudah dikirim pulang ke rumah bapa di Sorga. "Sang Kakak" UU 41/1999 Tentang Kehutanan nampaknya masih belum legowo melihat "Sang Adik" UU 21/2001 yang baru lahir 2 tahun kemudian untuk lebih kuat dan berjalan sekalipun secara legal yuridis "Sang Adik" sudah menunjukan bahwa dia sudah siap untuk mandiri dan ingin berbuat sesuatu untuk mengharumkan nama NKRI. Pertanyaan panjang pun muncul, bagaimana Negara terutama para forester di Kementerian Kehutanan RI melihat Papua? Apa sech yang menghambat kepala mereka untuk mengakui bahwa salah satu cara mewujudnyatakan "Kebhinekaan Tunggal Ika" yang dibangun pendiri bangsa Indonesia adalah dengan memberikan kesempatan dan mendukung Papua dengan kekhususanya menjalankan amanat pembangunan kehutanan Indonesia untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera? Apa yang sebenarnya di takutkan oleh Institusi Kehutanan Tertinggi di NKRI dan Para tokoh di Jakarta ketika orang Papua mununjukan kemampuannya merancang sampai mengelola hutan dengan baik? Apakah kemudian mereka masih tetap ingin "mengkoservasikan" rasa sakit hati dan ketidakadilan yang lama muncul dan menjadi latar belakang munculnya Otsus di Papua? Hmmmmm....... Hanya mereka di Gedung Manggala Wanabhakti dan TUHAN YANG MAHA ESA yang tau.
Berbagai Kajian teknis, sosial, legal dan antropologis mendukung bagaimana PERDASUS 21/2008 Tentang Pengelolaan Hutan Lestari di Provinsi Papua sangatlah layak dan tepat untuk diimplementasikan di Papua dengan kuatnya klaim hak tanah yang diatasnya Hutan dan segala isi-nya tumbuh. Bahkan kajian di tahun 2012 dan 2013 yang dilakukan untuk melihat kesesuaian VLK nasional dengan verifier teknis implementasi Otsus Papua sangatlah sesuai dan tidak bertentangan yang menurut pakar produksi hasil hutan tidak ada alasan selain putusan politis kepentingan tertentu untuk menghambat PERDASUS ini untuk dijalankan. Diskusi dan diskusi dilakukan, lobi tingkat tinggi pun ditempuh apa daya harapan dan semangat itu belum juga terwujud karena NSPK yang dirancang sebagai jembatan 'tali kasih' antara OTSUS PAPUA dengan UU Kehutanan tidak juga tersambung, bahkan semakin parah rusaknya seiringnya tidak di indahkannya usulan Papua untuk mendapatkan PermenLHK Khusus tentang NSPK Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua.
Apakah Hutan Adat Menjadi Jembatan baru Pengganti NSPK?
Disaat para rimbawan di Papua sedang menunggu kapan KLHK akan menjawab permintaannya, perkembangan konsep dan regulasi terkait perhutanan sosial yang didalamnya juga kemudian muncul konsep MHA yang mirip dengan bagaimana Papua telah merancang dan menyiapkan kerangka pengelolaannya. PermenLHK 32/2015 Tentang Hutan Hak yang kemudian di paketkan dalam PermenLHK 83/2016 Tentang Perhutanan Sosial muncul merangkum semua konsep dan kerangka pikir dan perjuangan nasional masyarakat untuk memiliki dasar hukum kuat dalam pengelolaan sumber daya hutan diwilayahnya. PermenLHK 32/2015 Tentang Hutan Hak didalam penjabaran kurang lebih merefleksikan kerangka pikir dari Perdasus 21/2008 dan Perdasus 23/2008 di Provinsi Papua yang keduannya berbicara tentang pengkuan hak adat dan kerangka legal pengelolaan sumber daya hutan dan tanah berbasis hak masyarakat adat. Namun apakah pemerintah Provinsi Papua dan Masyarakat Adatnya akan siap menerima payung hukum baru ini yang lebih menintikberatkan pada cakupan nasionalnya tentang Hutan Hak dan Hutan Adat? Ataukah tetep melihat bahwa cara Papua adalah berbeda dan konsep yang sudah didisaign didalam Perdasus 21/2008 adalah yang pas dan tepat bagi Papua?
Mungkin bisa dibilang ini bukan lagi persoalan teknis dan subtansi yuridis dari regulasi yang sudah diatur, tetapi lebih ke perjuangan ideologi dan psikologis dari bagaimana pemerintah menghormati kekhususan yang sudah diberikan dan membantu wilayah-wilayah seperti Papua dan Aceh mendapatkan perlakuan yang sama seperti Jogjakarta yang bertitle "Daerah Istimewa" dengan perhormatan terhadap sultan dan tata krama-nya.
Terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa hadirnya Hutan Adat adalah jembatan yang harus dipakai di Papua karena konteks normatif yang baru pada level penegasan 'status' dan penjabarannya ke tingkatan 'pengelolaan berdasarkan fungsi'. Pada titik ini, kementerian Kehutanan harusnya mengakui dan mendukung Papua yang sudah lebih maju mempersiapkan kerangka legal tidak hanya pada 'status' tetap norma, standar, prosedur dan kriteria teknis unguk 'pengelolaan berbasis fungsi' sebagaimana Amanat UU 41/1999 Tentang Kehutanan. Sekitar 8 Pergub Teknis yang telah dikeluarkan di Papua merupakan alat kontrol dan verifier tentang bagaimana skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat di Papua ini akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip legalitas dan keberlanjutan pengelolaan hutan di Indonesia. Dibandingkan dengan Hutan Adat yang penjabaran detail pelaksanaan implementasi pengelolaan berbasis fungsi masih terus diperdebatkan dan didiskusikan di tingkat nasional. Kecenderungan yang ada sekarang adalah tentang kembali ke gaya lama untuk tetap memberlakukan masyarakat adat secara nasional untuk mengikuti norma-norma dan aturan teknis pengelolaan hutan berbasis fungsi yang sudah dikembangkan oleh Negara. Hutan Adat sendiri belum tegas memberikan pembagian urusan antara pusat dan daerah pada tata pengelolaan sehingga masih banyak yang bertanya kerangka pengelolaan hutan yang didesain oleh KLHK untuk hutan adat sendiri dimana fungsi hutan tetap melekat di dalamnya.
Baca juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2014/08/pintu-terbuka-untuk-perjuangan-panjang.html
Menjaga dan Menjalankan Amanah Cita-Cita Pembangunan Kehutanan Indonesia
Buku yang dicetak IPB Forci Development Tahun 2013 "Kembali ke Jalan Lurus; Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan" dengan Editor Prof Hariadi Kartodihardjo bisa menjadi rujukan untuk menemukan jawaban bagaimana kesalahan dan pembengkokan jalan arah pembangunan kehutanan Indonesia yang didalamnya persoalan-persoalan seperti yang Papua alami bisa terpelihara sampai sekarang. Pengkonstruksian aspek sosial, hukum dan ekologis dari hutan yang tidak tuntas dan cenderung state centris menjadi prakara bara yang berkembang menjadi tembok kesalahan menerapkan nasionalisme kehutanan dalam konteks kebhinekaan. Mirna Safitry sebagai non rimbawan yang adalah salah satu kontributor dalam buku ini melalui tulisanya "Keniscayaan Transdipilinaritas Dalam Socio-Legal, Terhadap Hutan, Hukum dan Masyarakat" mengangkat 10 premis mayor dalam menegaskan pentingnya perubahan paradigma dan kerangka pembangunan kehutanan di Indonesia. Point 3 dari premis ini menyebutkan bahwa pengelolaan hutan menunjukan keragaman yang bersumber dari basis normatif yang berbeda-beda. Selanjutnya premis No 7 kembali menegaskan bahwa hukum dan kebijakan harus menjadi alat membagi dan mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat, karena itu hukum dan kebijakan kehutanan harus bersifat responsif terhadap situasi empiris hutan dan masyarakatnya. Ditulisan-tulisan selanjutnya pengkerangkaan kelemahan pembangunan kehutanan Indonesia juga di jabarkan. Tulisan ini membawa saya sampai pada pemikiran bahwa persoalan yang dihadapi Papua adalah bagian dari konstruksi pikiran yang keliru antara politic ekonomi kehutanan, scientific forestry dan interpretasi hukum social kebhinekaan dalam praktek pengelolaan hutan di Indonesia.
Pastinya kita tidak juga harus kemudian menyerah dengan keadaan yang hanya mengatakan "kasihan para rimbawan Papua yang sudah cape urus NSPK" tetapi harusnya mengembalikan konstruksi berpikir dalam upaya membangun keharmonisan kekeluargaan antara UU Kehutanan (41/1999) dengan UU Otonomi Khusus Papua (21/2001) untuk mewujudkan manfaat besar kehadiran institusi negara yang mengurusi kehutanan di Tanah Papua.