Pembahasan draft Permenhut NSPK Pengelolaan Hutan Papua, August 2014.
"Kenapa NSPK kita belum bisa ditetapkan? Padahal sudah banyak jalur politis dan lobby kita buat. Apakah masih ada persoalan legal teknis yang belum dipenuhi?" rangkaian pertanyaan muncul terus untuk sama-sama kita membedah persoalan dasar penghambat kenapa draft PermenLHK tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria pengelolaan hutan di Propinsi Papua belum ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan (dulu hanya menteri kehutanan). Sulit juga memberikan jawabannya yang menebak-nebak saja, karena semua ada di Gedung Manggala Wanabhakti tempat dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatur hutan Indonesia.
Lihat juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2015/04/menanti-penetapan-nspk-iuphhk-mha-papua.html
Sebagai bagian dari semangat penataan dan pengelolaan sumber daya hutan yang bermanfaat bagi masyarakat, Pemerintah Provinsi Papua terus berupaya untuk menemukan titik tepat ruang legal dibuka untuk mendukung masyarakat dengan standar-standar yang mengakodir aspek sosial antropologis Papua. Sebagaimana diakui bahwa secara de facto semua hutan, tanah, air dan sumber daya alam di Papua terikat secara sosiologis dan kultur dengan claim kepimilikan adat. Kepemilikan adat yang kuat sekalipun belum diadministrasikan baik di Pemerintah tetapi pada prakteknya urusan kepimilikan adat selalu menjadi bagian dari prasyarat dalam pembangunan dan investasi di Papua. Termasuk di sektor kehutanan. Tingginya aktifitas pengambilan hasil hutan tanpa kontrol di Papua adalah bagian dari claim masyarakat adat kepemilikannya dan tekanan ekonomi yang dihadapi. Kehadiran PERDASUS 21/2008 adalah sebenarnya untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar ini serta menjaga kontrol manfaat hutan kepada masyarakat dan negara.
"Social Forestry" dalam Periode Panjang Papua
Berbicara tentang pengelolaan hutan di Papua sebenarnya bukanlah sebuah perkara baru, bahkan upaya melakukan penataan hutan untuk kepentingan masyarakat adat sudah dimulai sejak Jaman Pemerintah Belanda di Papua. Pembangunan hutan Agathis di Adibai, Biak Timur dan di Daerah Menelek-Bariat di Sorong Selatan adalah beberapa bukti inisiatif hutan tanaman yang sudah dibangun untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk terlibat memanfaat sumber daya hutannya. Bahkan menurut catatan sejarah, untuk memperkuat rencana pengembangan hutan tanaman yang lebih baik Belanda Membuka Kursus Kehutanan di Holandia (skarang Jayapura) pada tahun 1952 yang pada saat itu dikenal dengan nama Bosch Beampe. Berkembang terus untuk menunjang kebutuhan kayu alam di Manokwari belanda juga membangun Hoftdebrik yang menjadi industri kayu pertama di Papua untuk menyuplai kayu mendukung pembangunan perumahan di Papua.
Pasca pemerintahan Belanda, perkembangan pembangunan kehutanan masyarakat di Papua sebenarnya tidak maju. Dimulai dengan perusahaan kayu Negara (PKN) yang mengambil alih hegemoni Hoftdebrik di Manokwari dan bekerja selama periode 1963 - 1978 mengambil dan mengelola kayu-kayu alam di Papua. Selanjutnya muncul konsesi-konsesi baru seperti INHUTANI yang mengambil alih PKN dan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang mulai memberikan kesempatan kepada pihak ketiga selain negara untuk ikut mengelola hasil hutan yang secara keseluruhan fokus pada hasil hutan kayu. Dalam hal PHBM di HPH muncul skema-skema HPH Bina Desa sekalipun batasan jelas menukik pada bagaimana bantuan sosial dan program kerja yang tidak hanyak bicara produk hutan.
Di periode tahun 1990 - 1998 (sebelum reformasi) skema HPH bina desa dan kemitraan masih menjadi domain besar keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Sekalipun kemudian di Jawa muncul beberapa kerangka pikir peran serta masyarakat melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tetapi perkembangannya belum terlalu signifikan. Praktek yang terjadi dan pada kenyataannya tidak terkontrol adalah pemungutan hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Primadona hasil hutan non kayu seperti Gaharu, Kulit Kayu Masohi, Kulit Lawang dan Damar masih mendominasi peredaran produk-produk hutan dimana masyarakat banyak yang terlibat pada aktifitas hulu yaitu pemungutan hasil. Pada periode ini mulai muncul beberapa lokasi pilot untuk kelompok tani hutan yang sebenarnya didesain dan dikhususkan untuk pengadaan bibit untuk program-program penanaman.
Perubahan signifikan tentu terjadi pasca reformase, dimulai dengan penetapan UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan diperkuat dengan UU No 21 Tahun Tentang Otonomi Khusus. Pada kedua UU ini muncul keberpihakan yang kuat kepada masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat. Papua bahkan lebih maju dengan kebijakan Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat) yang memberikan peluang kemitraan antara Masyarakat Adat dengan investor dalam pengelolaan hutan, sekalipun ditutup dengan persoalan hukum dan maraknya illegal logging, skema ini menjadi terobosan pemikiran dalam penataan urusan kehutanan masyarakat di Papua. Sebagai tindaklanjuti dan wujud implementasi Otsus di Papua, pemerintah Daerah Provinsi Papua mengembangkan peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Konsep yang terus dimatangkan berdasarkan pengalaman-pengalaman kesalahan pengelolaan hutan sebelumnya secara baik memberikan kepastian ruang kelola dan perangkat legal pengontrol kelestarian kepada masyarakat adat. Perdasus ini keluar di Tahun 2008 dengan pergub-pergub yang dikeluarkan di tahun 2010.
Pada periode yang sama dimana PERDASUS Papua dikeluarkan Tahun 2008 - 2009, pemerintah secara nasional juga mengeluarkan beberapa skema perhutanan sosial yang mencakup Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan. Papua bahkan kemudian mendesain Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai lembaga pemerintah yang akan menjalankan fungsi pengelolaan dan memberikan asistensi kepada masyarakat adat pemegang ijin dengan skema PERDASUS.
Baca juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2014/06/catatan-refleksi-usaha-mendorong.html
Sayang skema pengelolaan hutan di Papua yang didesain dibawah payung UU OTSUS ini, sekalipun sudah disiapkan perangkat hukum, kesiapan manusia, alat dan model tetapi belum bisa berjalan optimal karena dibenturkan dengan nomenklatur Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tidak ditemukan dalam skema perhutanan sosial secara nasional. Sehingga Papua harus berupaya mendorong harmonisasi regulasi melalui NSPK yang harus dikeluarkan oleh kementerian kehutanan untuk mengakui skema pengelolaan hutan yang dirancang provinsi Papua sebagai bagian dari skema pengelolaan hutan yang legal di Indonesia.
Saat ini melalui beberapa kebijakan yang muncul setelah Putusan MK No 35/2012 yang menegaskan perbedaan hutan adat dan hutan negara, pengemasan semua inisiatif perhutanan sosial dibungkus dalam 5 skema yaitu: hutan desa (HD), Hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Ada (HA) dan Kemitraan Pengelolaan hutan. Dan beberapa model mulai bermunculan seperti perkembangan hutan desa di Sorong Selatan dan KPH model di Biak Numfor.
Sudah Saat-nya di Harmonisasikan Regulasi Yang Ada
Disaat Papua dan Pusat sibuk mencari titik temu dan panjangnya perjuangan, aktifitas pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat terus berjalan. Umumnya dimoninasi oleh aktifitas-aktifitas tanpa ijin. Upaya dan semangat daeran untuk membangun tata regulasi, tata pengawasan dan tata kelola hutan yang berpihak kepada masyarakat di wilayahnya tentunya harus diappresiasi dan didukung penuh. Apalagi niat tulusnya adalah untuk memberikan akses kesejahteraan dan menjaga nilai manfaat kepada negara yang selama ini banyak bocor.
Bagaimana memulainya?
NSPK yang diperjuangkan oleh Papua sebenarnya adalah opsi strategis pemerintah Pusat dan Provinsi Papua membangun jembatan harmonisasi tersebut. Disaat bersamaan tentu membangun regulasi untuk keseluruhan tata kelola hutan di daerah bersama dengan tata manfaat harus disiapkan. Pengalaman tentang persoalan yang lama seperti KOPERAMAS bisa menjadi bahan refleksi bahwa memastikan forester dan komunitas adat di Papua memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan semua kebijakan kehutanan yang ada juga secara pararel harus dipastikan. Sehingga kekhawatiran-kekhawatiran dimana hutan akan semakin rusak apabila diberikan kepada masyarakat adat bisa berkurang.
0 komentar:
Posting Komentar