Di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) ketika kita berbicara dan mengoborolkan tentang tanah, hutan, air dan sumber daya alam didalamnya selalu kita akan terbawa pada pertanyaan - siapa yang memiliki semua itu? Orang apa? Suku Apa? Marga Apa? Pertanyaan seperti ini sebenarnya adalah penegasan common statement yang selalu kita dengar di Papua yaitu "tidak ada tanah yang tak bertuan di Papua". Tetapi bagaimana masyarakat adat dan pemerintah daerah di tanah Papua mendefinisikan semua-nya itu untuk kemudian membantu orang luar untuk memahami setidaknya hal-hal mendasar yang menjadi tuntutan papua terkait tanah dan semua yang ada dibawah tanah dan diatas tanah? Hal ini yang juga kemudian muncul menjadi pekerjaan rumah baru bagi masyarakat adat, pemerintah dan para pihak yang mendukung dan bekerja bersama masyarakat adat dan pemerintah daerah mendorong penataan hak dan aset adat masyarakat adat di Papua.
Hutan Adat adalah salah satu perhatian khusus di Papua saat ini pasca Putusan MK 35/2012 yangmenegaskan bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara, tetapi hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat adat tertentu. Yang secara legal NSPKnya diatur melalui PermenLHK 32/2015 tentang Hutan Hak dan Hutan Adat tentu menambah kekuatan yuridis dari upaya-upaya yang sudah dibangun di Papua. Dengan mengacu pada common statement diatas harusnya hutan adat tidak perlu diragukan lagi kelayakannya untuk diterapkan di Papua dengan luasan yang sesuai dengan masyarakat adat megeskannya dalam peta dan kesepatakan adat. Tetapi kemudian kenapa sampai setelah 2 tahun pasca PermenLHK ini diberlakukan, belum juga ada hutan adat di Papua yang ditetapkan/dikukuhkan oleh KLHK?
Hutan Adat; Perlu Membedakan antara Status dan Pengelolaan
Pasca Putusan MK 35/2012 secara yuridis berdiri 3 status hutan di Indonesia yaitu (1) hutan negara, (2) hutan hak dan (3) hutan adat. Sekalipun pada penjabaran implementasinnya termasuk pada bagaimana norma-norma yang disusun untuk mengatur tata kelola dan tata hutan masih mendudukan hutan Hak dan Hutan Adat pada posisi yang sama. SVLK Misalnya, verifier teknis yang digunakan untuk menilai hutan adat sementara ini menggunakan verifier 'hutan hak'.
Berbicara status sudahnya sahih untuk tidak mencampurkan adukannya dulu dengan pengelolaan. Status berbicara tentang legitimasi negara terhadap pemilikan masyarakat adat terhadap hutan adatnya. Dimana disitu melekat norma-norma, zonasi dan tata cara pemanfaatan sumber daya hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat. Apakah kemudian pada saat pengelolaan nantinya dilakukan oleh komunitas itu sendiri atau bermitra dengan pihak lain itu menjadi ranah berikutnya di level pengelolaan. Sama halnya dengan pengurusan hutan negara, pengurusan hutan adat dilakukan dengan norma yang berlaku dan dijalankan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Pada ranah pengelolaan, tentu melekat fungsi hutan yang diatur pemerintah dan berlaku juga zonasi adat yang mana masyarakat telah menerapkan dan menghormatinya. Aspek juridis pengelolaan dengan semua NSPK yang diatur oleh negara berbadasarkan fungsi hutan tentu tetap melekat tetapi pada ranah ini, peran komunitas adat sebagai pemegang hak untuk ijin adat pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan hutan adat tetap kuat. Contoh bagaimana hutan hak dijalankan menjadi referensi bagaimana hutan adat bisa dijalankan pasca penegasan tentang status hutan dan pengukuhun terhadap fungsi hutan yang berada di dalam hutan adat tersebut.
Masyarakat Adat Siap Melaksanakannya
"Yang kami pikirkan adalah bagaimana semua wilayah adat Knasoimos ini ditetapkan sebagai hutan adat dan diakui menjadi milik masyarakat" kate Fredrik Sagisolo, ketua Dewan Perwakilan Masyarakat Adat (DPMA) Knasoimos, di Sorong Sorong Selatan. Knasoimos adalah kelompok masyarakat adat yang cukup maju mendorong perjuangan untuk pengakuan hak, penataan asets dan pengelolaan sumber daya adatnya. Hutan menjadi fokus utama karena belajar dari pengalaman bagaimana Konsesi HPH merusak hutan-hutan mereka terutama tempat-tempat penting masyarakat adat. Pernyataan Ketua DPMA Knasoimos beranjak dari bagaimana kelompok adat Knasoimos sudah siap dengan semua prasyarat yang dasar yang disebutkan oleh PermenLHK 32/2015 yaitu memiliki peta wilayah adat, aturan dan kelembagaan adat.
Knasoimos adalah salah satu contoh dari sekian inisitif penataan hak dan aset adat masyarakat yang selama ini berjalan di Papua dan Papua Barat. Total wilayah adat Knasoimos sekitar 81,000 ha dimana sekitar 95% diantaranya adalah dalam tutupan berhutan menurut cara masyarakat melihat zonasinya. Perjuangan soal hak adat dan hutan adat telah lama dilakukan mereka, dimulai sejak tahun 1999 dan 2004 yang mana mereka terus bersuara menolak illegal logging yang terjadi di tempat mereka.
Keingingan dan semangat masyarakat adat Knasoimos untuk mengelola hutan adat-nya sendiri terus berkembang dan berjalan. Pada tahun 2014 sekitar 3,800 ha usulan hutan Desa di tetapkan oleh KLHK pada wilayah adat kampung Sira dan Manggroholo. Dan pada tahun 2016 lalu, Kedua hutan desa ini juga telah menerima ijin pengelolaan dari Gubernur Provinsi Papua Barat untuk konsesi hutan desa-nya. Koperasi Kna Mandiri bersama LPHD Sira dan Manggroholo bertindak sebagai pengelola-nya. Semangat ini terus menjamur dengan kerja-kerja masive pemetaan wilayah adat yang dilakukan di wilayah adat Knasoimos. Dengan harapan dan pengasan bahwa masyarakat adat Knasoimos telah siap untuk mengusulkan penetapan hutan adat mereka untuk kemudian ditata dan dikelola berdasarkan norma-norma yang dipegang dan sejalan dengan NSPK pengelolaan hutan yang diatur pemerintah berdasarkan fungsi.
Melangkah Bersama Mempersiapkan Hutan Adat Di Papua
Mengelola hutan secara lestari guna memberikan kesejahteraan kepada masyarakat adalah amanat utama dalam pembangunan kehutanan nasional. Serta mewujudkan kebhinekaan dalam pengurusan dan pengelolaan hutan secara nasional adalah bagaimana memahami, menyiapkan dan memfasilitasi semua inisiatif lokal yang muncul dengan konsep tata kelola hutan yang benar. Hutan Adat hadir sebagai satu pilar baru pembangunan kehutanan di Indonesia dan merumuskan reformasi baru tata kelola yang berorientasi pada kesejahteraan sosial dan pembangunan sumber daya hutan secara lestari. Artinya bahwa jalan tidak-nya sebuah inisiatif hutan adat di satu wilayah adat tergantung dari pada kerja kolektif para pihak yang berkepenting dan bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan adat di Indonesia.
Papua dengan kekuatan sosial dan de facto klaim hak adat adat tanah dan hutan harusnya disambut dengan semangat penataan hutan yang baik. Artinya bahwa pemerintah daerah, bersama dengan masyarakat adat dan para pihak pendukung perlu secara bersama membangun kerangka fasilitasi dan skenario percepatan penetapan hutan adat di Papua. Begitu juga secara bersama mempersiapkan semua prasyarat legal teknis yang memberikan jaminan kepada masyarakat adat untuk mengelola sumber daya hutannya dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang baik dan benar.
Melihat pada prasyarat legal yang melekat dalam hutan adat serta bagaimana pengelolaan selanjutnya yang perlu menegaskan norma-norma dan aturan adat maka setidaknya hutan adat disyarakat untuk memiliki: (1) peta wilayah adat dan tata hutan dengan zonasi hutan berbasis adat, (2) aturan, standar dan mekamis pengelolaan hutan yang selama ini dijalankan oleh masyarakat adat dan (3) informasi tentang demografi masyarakat adat itu sendiri. Ketiga data dasar ini kemudian dilegalkan dengan SK Bupati/Gubnernur dengan merujuk pada Peraturan Daerah yang berlaku di tingkat provinsi atau Kabupaten/Kota. Artinya bahwa kerja bersama para pihak pada tahapan penegasan status hutan adat adalah menyiapkan data dan informasi diatas bersamaan dengan diskusi penyadartahuan di tingkat masyarakat tentang aspek hak dan kewajiban hutan yang akan melekat sehubungan dengan penetapan status hutannya sebagai hutan adat.
Pada ranah pengelolaan, kerja bersama adalah menyiapkan regulasi daerah yang memberikan guideline atau norma, standar, prosedur dan kriteria teknis dari pengelolaan hutan adat berbasis pada fungsi hutan dan produk hutan yang bisa dikelola. Terlepas dari beberapa regulasi nasional yang sudah siapkan, daerah bisa mencoba untuk menjajaki bagaimana peraturan-peraturan setingkat Pergub bisa dibuat untuk mengimplementasikan PermenLHK 32/2015 dan PermenLHK 83/2016 untuk area yang masuk pada hutan adat masyarakat.
Pesan penting yang selalu muncul dan dipegang adalah "kontrol keberlanjutan dan kontrol manfaat dalam koridor hutan dan tata kelola hutan yang baik" pastinya menjadi pengikat semangat agar para pihak bisa membangun kemitraan kerja yang efektif mewujudkan pembangunan hutan adat di Papua.
0 komentar:
Posting Komentar