-
Stories About Beautiful Papua
Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island
-
The Last Frotier Primary Forests
With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.
-
Women and Natural Resources
Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial
-
Our Traditional Value
Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation
-
For Papuan Generation
Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation
-
Dependency to Forests Resources
Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources
-
All Are Wonderful
You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA
-
Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums
Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village
-
Papuan Traditional Conservation Practices
For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature
Jumat, 30 Juni 2017
Wisata Ke Pulau Mansinam: Potensi Besar Tidak Tertata dan Terkelola Dengan Baik
Kamis, 29 Juni 2017
Wisata ke Pulau Mansinam: Untung Besar Penyedia Jasa Perahu di Hari Libur

"Beberapa hari ini kami sedang kebanjiran rejeki karena hari libur dan banyak orang yang bolak-bolak mengujungi pulau mansinam" sambut Pak Dani menjawab pertanyaan saya "kayaknya lagi ramai ya penumpang pas musim liburan?". Dalam sehari Pak Dani bersama dengan penyedia jasa perahu yang lain bisa 10 - 12 kali bolak balik dengan rata-rata penumpang berisi 8 - 12 orang per trip. Sekali trip setiap penumpang dikenakan biaya Rp. 10,000/orang dan khusus untuk penumpang dewasa sedangkan balita dan anak-anak biasanya dibayarkan dibawah Rp.10,000 atau kadang gratis. Jumlah ini tentu berbeda dengan pendapatan yang diterima di hari kerja/biasa dimana rata-rata mereka maksimal bisa dapat 3 kali trip itupun penumpang yang naik adalah mereka penduduk dari pulau mansinam dan Pulau Lemon yang beraktifitas normal baik sebagai pegawai negeri sipil maupun pekerja non formal lainnya di kota.
Hari libur tentu menjadi berkah, Mansinam saat ini hadir menjadi salah satu destinasi wisata terutama untuk tujuan religi. Sekalipun sebagian pengunjung non Kristen juga menikmati pulau ini dari keindahan dan ketengan berwisata. Posisi dan aksesibilitas pulau Mansinam yang hanya bisa dijangkau melalui penyeberangan laut mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor jasa terutama kepada semua penyedia jasa yang hampir 100% adalah warga lokal pulau lemon, pulau mansinam dan wilayah-wilayah sekitar kwawi.
Ada lebih dari 10 unit perahu yang setiap harinya beroperasi.
Fasilitas dan konsep pengembangan perahu yang memperhatikan kestabilan perahu dimana 'Semang - bagian penyeimbang perahu yang ditambah sebagai sayap disisi kiri dan kanan perahu" memberikan rasa nyaman tersendiri kepada penumpang. Sekalipun mereka yang baru pertama kali naik perahu. Tempat duduk kayu yang memuat 2 penumpang sebaris tentu cukup nyaman untuk jarak tempuh yang hanya 10 - 15 menit dari pelabuhan Kwawi ke Pulau Mansinam. Jaraknya yang dekat dan bermodalkan pengalaman panjang, para pengemudi perahu tidak melengkapi dirinya dengan alat navigasi khusus. Begitu juga tidak ada live jacket yang disiapkan mungkin karena mereka menganggap sudah biasa dan jarak tempuh hanya pendek saja. Ya... Dengan memanfaatkan fasilitas yang ada dengan perahu kayu panjang max 6 meter ditambah motor tempel skala 15 dan 25 PK mereka para penyedia jasa perahu penyeberangan menggantungkan hidup dan berusaha memberikan fasilitas yang nyaman kepada penumpang yang menyeberang ke Pulau Lemon dan Pulau Mansinam.
"Saya senang kalau setiap hari penumpang bisa ramai seperti ini" kata Pak Dani kembali ditengah perjalanan kami. Harapan bahwa jasa perahu tetap didukung dan menjadi pilihan utama para pengunjung Pulau Mansinam dan Pulau Lemon kelihatan tersirat dalam kepalannya. Harapan juga bahwa Mansinam dan Pulau Lemon bisa terus dipromosikan menjadi aset wisata sangatlah besar karena dengan begitu peningkatan kebutuhan jasa mereka sebagai para pengemudi perahu bisa meningkat dan konstan baik hari libur maupun hari kerja.
Sabtu, 17 Juni 2017
Mencari Titik Temu Penataan Hutan untuk Ruang Kelola Masyarakat Adat Di Papua

"Kenapa NSPK kita belum bisa ditetapkan? Padahal sudah banyak jalur politis dan lobby kita buat. Apakah masih ada persoalan legal teknis yang belum dipenuhi?" rangkaian pertanyaan muncul terus untuk sama-sama kita membedah persoalan dasar penghambat kenapa draft PermenLHK tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria pengelolaan hutan di Propinsi Papua belum ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan (dulu hanya menteri kehutanan). Sulit juga memberikan jawabannya yang menebak-nebak saja, karena semua ada di Gedung Manggala Wanabhakti tempat dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatur hutan Indonesia.
Lihat juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2015/04/menanti-penetapan-nspk-iuphhk-mha-papua.html
Sebagai bagian dari semangat penataan dan pengelolaan sumber daya hutan yang bermanfaat bagi masyarakat, Pemerintah Provinsi Papua terus berupaya untuk menemukan titik tepat ruang legal dibuka untuk mendukung masyarakat dengan standar-standar yang mengakodir aspek sosial antropologis Papua. Sebagaimana diakui bahwa secara de facto semua hutan, tanah, air dan sumber daya alam di Papua terikat secara sosiologis dan kultur dengan claim kepimilikan adat. Kepemilikan adat yang kuat sekalipun belum diadministrasikan baik di Pemerintah tetapi pada prakteknya urusan kepimilikan adat selalu menjadi bagian dari prasyarat dalam pembangunan dan investasi di Papua. Termasuk di sektor kehutanan. Tingginya aktifitas pengambilan hasil hutan tanpa kontrol di Papua adalah bagian dari claim masyarakat adat kepemilikannya dan tekanan ekonomi yang dihadapi. Kehadiran PERDASUS 21/2008 adalah sebenarnya untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar ini serta menjaga kontrol manfaat hutan kepada masyarakat dan negara.
"Social Forestry" dalam Periode Panjang Papua
Berbicara tentang pengelolaan hutan di Papua sebenarnya bukanlah sebuah perkara baru, bahkan upaya melakukan penataan hutan untuk kepentingan masyarakat adat sudah dimulai sejak Jaman Pemerintah Belanda di Papua. Pembangunan hutan Agathis di Adibai, Biak Timur dan di Daerah Menelek-Bariat di Sorong Selatan adalah beberapa bukti inisiatif hutan tanaman yang sudah dibangun untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk terlibat memanfaat sumber daya hutannya. Bahkan menurut catatan sejarah, untuk memperkuat rencana pengembangan hutan tanaman yang lebih baik Belanda Membuka Kursus Kehutanan di Holandia (skarang Jayapura) pada tahun 1952 yang pada saat itu dikenal dengan nama Bosch Beampe. Berkembang terus untuk menunjang kebutuhan kayu alam di Manokwari belanda juga membangun Hoftdebrik yang menjadi industri kayu pertama di Papua untuk menyuplai kayu mendukung pembangunan perumahan di Papua.
Pasca pemerintahan Belanda, perkembangan pembangunan kehutanan masyarakat di Papua sebenarnya tidak maju. Dimulai dengan perusahaan kayu Negara (PKN) yang mengambil alih hegemoni Hoftdebrik di Manokwari dan bekerja selama periode 1963 - 1978 mengambil dan mengelola kayu-kayu alam di Papua. Selanjutnya muncul konsesi-konsesi baru seperti INHUTANI yang mengambil alih PKN dan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang mulai memberikan kesempatan kepada pihak ketiga selain negara untuk ikut mengelola hasil hutan yang secara keseluruhan fokus pada hasil hutan kayu. Dalam hal PHBM di HPH muncul skema-skema HPH Bina Desa sekalipun batasan jelas menukik pada bagaimana bantuan sosial dan program kerja yang tidak hanyak bicara produk hutan.
Di periode tahun 1990 - 1998 (sebelum reformasi) skema HPH bina desa dan kemitraan masih menjadi domain besar keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Sekalipun kemudian di Jawa muncul beberapa kerangka pikir peran serta masyarakat melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tetapi perkembangannya belum terlalu signifikan. Praktek yang terjadi dan pada kenyataannya tidak terkontrol adalah pemungutan hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Primadona hasil hutan non kayu seperti Gaharu, Kulit Kayu Masohi, Kulit Lawang dan Damar masih mendominasi peredaran produk-produk hutan dimana masyarakat banyak yang terlibat pada aktifitas hulu yaitu pemungutan hasil. Pada periode ini mulai muncul beberapa lokasi pilot untuk kelompok tani hutan yang sebenarnya didesain dan dikhususkan untuk pengadaan bibit untuk program-program penanaman.
Perubahan signifikan tentu terjadi pasca reformase, dimulai dengan penetapan UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan diperkuat dengan UU No 21 Tahun Tentang Otonomi Khusus. Pada kedua UU ini muncul keberpihakan yang kuat kepada masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat. Papua bahkan lebih maju dengan kebijakan Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat) yang memberikan peluang kemitraan antara Masyarakat Adat dengan investor dalam pengelolaan hutan, sekalipun ditutup dengan persoalan hukum dan maraknya illegal logging, skema ini menjadi terobosan pemikiran dalam penataan urusan kehutanan masyarakat di Papua. Sebagai tindaklanjuti dan wujud implementasi Otsus di Papua, pemerintah Daerah Provinsi Papua mengembangkan peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Konsep yang terus dimatangkan berdasarkan pengalaman-pengalaman kesalahan pengelolaan hutan sebelumnya secara baik memberikan kepastian ruang kelola dan perangkat legal pengontrol kelestarian kepada masyarakat adat. Perdasus ini keluar di Tahun 2008 dengan pergub-pergub yang dikeluarkan di tahun 2010.
Pada periode yang sama dimana PERDASUS Papua dikeluarkan Tahun 2008 - 2009, pemerintah secara nasional juga mengeluarkan beberapa skema perhutanan sosial yang mencakup Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan. Papua bahkan kemudian mendesain Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai lembaga pemerintah yang akan menjalankan fungsi pengelolaan dan memberikan asistensi kepada masyarakat adat pemegang ijin dengan skema PERDASUS.
Baca juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2014/06/catatan-refleksi-usaha-mendorong.html
Sayang skema pengelolaan hutan di Papua yang didesain dibawah payung UU OTSUS ini, sekalipun sudah disiapkan perangkat hukum, kesiapan manusia, alat dan model tetapi belum bisa berjalan optimal karena dibenturkan dengan nomenklatur Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tidak ditemukan dalam skema perhutanan sosial secara nasional. Sehingga Papua harus berupaya mendorong harmonisasi regulasi melalui NSPK yang harus dikeluarkan oleh kementerian kehutanan untuk mengakui skema pengelolaan hutan yang dirancang provinsi Papua sebagai bagian dari skema pengelolaan hutan yang legal di Indonesia.
Saat ini melalui beberapa kebijakan yang muncul setelah Putusan MK No 35/2012 yang menegaskan perbedaan hutan adat dan hutan negara, pengemasan semua inisiatif perhutanan sosial dibungkus dalam 5 skema yaitu: hutan desa (HD), Hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Ada (HA) dan Kemitraan Pengelolaan hutan. Dan beberapa model mulai bermunculan seperti perkembangan hutan desa di Sorong Selatan dan KPH model di Biak Numfor.
Sudah Saat-nya di Harmonisasikan Regulasi Yang Ada
Disaat Papua dan Pusat sibuk mencari titik temu dan panjangnya perjuangan, aktifitas pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat terus berjalan. Umumnya dimoninasi oleh aktifitas-aktifitas tanpa ijin. Upaya dan semangat daeran untuk membangun tata regulasi, tata pengawasan dan tata kelola hutan yang berpihak kepada masyarakat di wilayahnya tentunya harus diappresiasi dan didukung penuh. Apalagi niat tulusnya adalah untuk memberikan akses kesejahteraan dan menjaga nilai manfaat kepada negara yang selama ini banyak bocor.
Bagaimana memulainya?
NSPK yang diperjuangkan oleh Papua sebenarnya adalah opsi strategis pemerintah Pusat dan Provinsi Papua membangun jembatan harmonisasi tersebut. Disaat bersamaan tentu membangun regulasi untuk keseluruhan tata kelola hutan di daerah bersama dengan tata manfaat harus disiapkan. Pengalaman tentang persoalan yang lama seperti KOPERAMAS bisa menjadi bahan refleksi bahwa memastikan forester dan komunitas adat di Papua memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan semua kebijakan kehutanan yang ada juga secara pararel harus dipastikan. Sehingga kekhawatiran-kekhawatiran dimana hutan akan semakin rusak apabila diberikan kepada masyarakat adat bisa berkurang.
Minggu, 11 Juni 2017
Pasca PermenLHK 32/2015 Tentang Hutan Hak/Hutan Adat Keluar, Bagaimana Sebaiknya Papua Bergerak?
Hutan Adat adalah salah satu perhatian khusus di Papua saat ini pasca Putusan MK 35/2012 yangmenegaskan bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara, tetapi hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat adat tertentu. Yang secara legal NSPKnya diatur melalui PermenLHK 32/2015 tentang Hutan Hak dan Hutan Adat tentu menambah kekuatan yuridis dari upaya-upaya yang sudah dibangun di Papua. Dengan mengacu pada common statement diatas harusnya hutan adat tidak perlu diragukan lagi kelayakannya untuk diterapkan di Papua dengan luasan yang sesuai dengan masyarakat adat megeskannya dalam peta dan kesepatakan adat. Tetapi kemudian kenapa sampai setelah 2 tahun pasca PermenLHK ini diberlakukan, belum juga ada hutan adat di Papua yang ditetapkan/dikukuhkan oleh KLHK?
Hutan Adat; Perlu Membedakan antara Status dan Pengelolaan
Pasca Putusan MK 35/2012 secara yuridis berdiri 3 status hutan di Indonesia yaitu (1) hutan negara, (2) hutan hak dan (3) hutan adat. Sekalipun pada penjabaran implementasinnya termasuk pada bagaimana norma-norma yang disusun untuk mengatur tata kelola dan tata hutan masih mendudukan hutan Hak dan Hutan Adat pada posisi yang sama. SVLK Misalnya, verifier teknis yang digunakan untuk menilai hutan adat sementara ini menggunakan verifier 'hutan hak'.
Berbicara status sudahnya sahih untuk tidak mencampurkan adukannya dulu dengan pengelolaan. Status berbicara tentang legitimasi negara terhadap pemilikan masyarakat adat terhadap hutan adatnya. Dimana disitu melekat norma-norma, zonasi dan tata cara pemanfaatan sumber daya hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat. Apakah kemudian pada saat pengelolaan nantinya dilakukan oleh komunitas itu sendiri atau bermitra dengan pihak lain itu menjadi ranah berikutnya di level pengelolaan. Sama halnya dengan pengurusan hutan negara, pengurusan hutan adat dilakukan dengan norma yang berlaku dan dijalankan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Pada ranah pengelolaan, tentu melekat fungsi hutan yang diatur pemerintah dan berlaku juga zonasi adat yang mana masyarakat telah menerapkan dan menghormatinya. Aspek juridis pengelolaan dengan semua NSPK yang diatur oleh negara berbadasarkan fungsi hutan tentu tetap melekat tetapi pada ranah ini, peran komunitas adat sebagai pemegang hak untuk ijin adat pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan hutan adat tetap kuat. Contoh bagaimana hutan hak dijalankan menjadi referensi bagaimana hutan adat bisa dijalankan pasca penegasan tentang status hutan dan pengukuhun terhadap fungsi hutan yang berada di dalam hutan adat tersebut.
Masyarakat Adat Siap Melaksanakannya
"Yang kami pikirkan adalah bagaimana semua wilayah adat Knasoimos ini ditetapkan sebagai hutan adat dan diakui menjadi milik masyarakat" kate Fredrik Sagisolo, ketua Dewan Perwakilan Masyarakat Adat (DPMA) Knasoimos, di Sorong Sorong Selatan. Knasoimos adalah kelompok masyarakat adat yang cukup maju mendorong perjuangan untuk pengakuan hak, penataan asets dan pengelolaan sumber daya adatnya. Hutan menjadi fokus utama karena belajar dari pengalaman bagaimana Konsesi HPH merusak hutan-hutan mereka terutama tempat-tempat penting masyarakat adat. Pernyataan Ketua DPMA Knasoimos beranjak dari bagaimana kelompok adat Knasoimos sudah siap dengan semua prasyarat yang dasar yang disebutkan oleh PermenLHK 32/2015 yaitu memiliki peta wilayah adat, aturan dan kelembagaan adat.
Knasoimos adalah salah satu contoh dari sekian inisitif penataan hak dan aset adat masyarakat yang selama ini berjalan di Papua dan Papua Barat. Total wilayah adat Knasoimos sekitar 81,000 ha dimana sekitar 95% diantaranya adalah dalam tutupan berhutan menurut cara masyarakat melihat zonasinya. Perjuangan soal hak adat dan hutan adat telah lama dilakukan mereka, dimulai sejak tahun 1999 dan 2004 yang mana mereka terus bersuara menolak illegal logging yang terjadi di tempat mereka.
Keingingan dan semangat masyarakat adat Knasoimos untuk mengelola hutan adat-nya sendiri terus berkembang dan berjalan. Pada tahun 2014 sekitar 3,800 ha usulan hutan Desa di tetapkan oleh KLHK pada wilayah adat kampung Sira dan Manggroholo. Dan pada tahun 2016 lalu, Kedua hutan desa ini juga telah menerima ijin pengelolaan dari Gubernur Provinsi Papua Barat untuk konsesi hutan desa-nya. Koperasi Kna Mandiri bersama LPHD Sira dan Manggroholo bertindak sebagai pengelola-nya. Semangat ini terus menjamur dengan kerja-kerja masive pemetaan wilayah adat yang dilakukan di wilayah adat Knasoimos. Dengan harapan dan pengasan bahwa masyarakat adat Knasoimos telah siap untuk mengusulkan penetapan hutan adat mereka untuk kemudian ditata dan dikelola berdasarkan norma-norma yang dipegang dan sejalan dengan NSPK pengelolaan hutan yang diatur pemerintah berdasarkan fungsi.
Melangkah Bersama Mempersiapkan Hutan Adat Di Papua
Mengelola hutan secara lestari guna memberikan kesejahteraan kepada masyarakat adalah amanat utama dalam pembangunan kehutanan nasional. Serta mewujudkan kebhinekaan dalam pengurusan dan pengelolaan hutan secara nasional adalah bagaimana memahami, menyiapkan dan memfasilitasi semua inisiatif lokal yang muncul dengan konsep tata kelola hutan yang benar. Hutan Adat hadir sebagai satu pilar baru pembangunan kehutanan di Indonesia dan merumuskan reformasi baru tata kelola yang berorientasi pada kesejahteraan sosial dan pembangunan sumber daya hutan secara lestari. Artinya bahwa jalan tidak-nya sebuah inisiatif hutan adat di satu wilayah adat tergantung dari pada kerja kolektif para pihak yang berkepenting dan bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan adat di Indonesia.
Papua dengan kekuatan sosial dan de facto klaim hak adat adat tanah dan hutan harusnya disambut dengan semangat penataan hutan yang baik. Artinya bahwa pemerintah daerah, bersama dengan masyarakat adat dan para pihak pendukung perlu secara bersama membangun kerangka fasilitasi dan skenario percepatan penetapan hutan adat di Papua. Begitu juga secara bersama mempersiapkan semua prasyarat legal teknis yang memberikan jaminan kepada masyarakat adat untuk mengelola sumber daya hutannya dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang baik dan benar.
Melihat pada prasyarat legal yang melekat dalam hutan adat serta bagaimana pengelolaan selanjutnya yang perlu menegaskan norma-norma dan aturan adat maka setidaknya hutan adat disyarakat untuk memiliki: (1) peta wilayah adat dan tata hutan dengan zonasi hutan berbasis adat, (2) aturan, standar dan mekamis pengelolaan hutan yang selama ini dijalankan oleh masyarakat adat dan (3) informasi tentang demografi masyarakat adat itu sendiri. Ketiga data dasar ini kemudian dilegalkan dengan SK Bupati/Gubnernur dengan merujuk pada Peraturan Daerah yang berlaku di tingkat provinsi atau Kabupaten/Kota. Artinya bahwa kerja bersama para pihak pada tahapan penegasan status hutan adat adalah menyiapkan data dan informasi diatas bersamaan dengan diskusi penyadartahuan di tingkat masyarakat tentang aspek hak dan kewajiban hutan yang akan melekat sehubungan dengan penetapan status hutannya sebagai hutan adat.
Pada ranah pengelolaan, kerja bersama adalah menyiapkan regulasi daerah yang memberikan guideline atau norma, standar, prosedur dan kriteria teknis dari pengelolaan hutan adat berbasis pada fungsi hutan dan produk hutan yang bisa dikelola. Terlepas dari beberapa regulasi nasional yang sudah siapkan, daerah bisa mencoba untuk menjajaki bagaimana peraturan-peraturan setingkat Pergub bisa dibuat untuk mengimplementasikan PermenLHK 32/2015 dan PermenLHK 83/2016 untuk area yang masuk pada hutan adat masyarakat.
Pesan penting yang selalu muncul dan dipegang adalah "kontrol keberlanjutan dan kontrol manfaat dalam koridor hutan dan tata kelola hutan yang baik" pastinya menjadi pengikat semangat agar para pihak bisa membangun kemitraan kerja yang efektif mewujudkan pembangunan hutan adat di Papua.