Jumat, 30 Juni 2017
Wisata Ke Pulau Mansinam: Potensi Besar Tidak Tertata dan Terkelola Dengan Baik
Ketika menonton video berikut yang di upload di youtube oleh Akun Fadly Sahab mungkin akan membawa kita untuk membayangkan bagaimana indahnya pulau Mansinam. Pulau yang terkenal sebagai pusat peradaban sejarah orang Papua karena di Pulau inilah pertama kali 2 penginjil dari Jerman menginjakan kaki untuk mengubah banyak orang Papua menjadi Kristen. Tanggal 5 Februari 1855 menjadi tanggal sejarah tersebut. Sehingga di Pulau Mansinam setiap tanggal 5 Februari akan dilangsungkan ibadah dan acara syukur Injil masuk ke Papua.
Object Wisata Regiligi Pulau Mansinam,
Sumber Video: https://www.youtube.com/watch?v=xLwJWVcgOu8&spfreload=10
Sebagaimana panggilan dan penghormatannya oleh sebagian besar orang Kristen di Papua, pulau ini menjadi salah satu tujuan destinasi wisata rohani. Hampir 60% pengunjung yang datang ke Pulau Mansinam adalah mereka yang ingin melihat sisa-sisa sejarah dan merasakan kedekatan spiritual sebagai penghormatan kepada 2 penginjil. Sisanya adalah pengunjung yang datang untuk menikmati suasana tenang, sejuk dan indah yang disediakan oleh alam pulau Mansinam. Sejak Tahun 2014, pasca peresmian Patung Yesus lokasi puncak perjalanan pengunjung adalah patung ini. Posisinya yang tepat berada di puncak bukit pulau mansinam dengan suasana sejuk dan titik dimana kita bisa menikmati kota manokwari tentu menjadi salah satu spot menarik untuk mengabadikan moment perjalanan.
Tetapi apakah Mansinam hanya menyediakan object religi ini untuk dinikmati sebagai object destinasi wisata? Jawaban kami tentu tidak. Mansinam adalah pulau yang Indah dan kaya potensi, dengan luasan mencapai 400 ha dan sebagai bagian dari ekosistem kepulauan, Pulau Mansinam menyimpan raturan potensi yang melengkapi kekhususannya sebagai pulau religi orang Kristen terutama di Papua.
Kami pun berusaha untuk menguji jawaban dari pertanyaan diatas melalui perjalanan yang kami lakukan selama liburan ini. 2 hari waktu kami luangkan khusus untuk menikmati kekhususan religi dari pulau Mansinam dan mengexplore potensi lain yang belum banyak terekspose sebagai potensi wisata yang sangat menjanjikan. Ulasan berikut diharapkan memberikan informasi kepada mereka yang sedang penasaran dan memiliki pertanyaan yang sama dengan kami.
Pontensi Pantai, Karang dan Laut
Untuk pencinta Diving atau pemula untuk mencoba menikmati keindahan bawah laut Mansinam menjadi titik selam yang direkomendasikan sebagai spot diving. Beberapa titik selam seperti kapal karam di depan dermaga Pulau Mansinam dan Karang Panjang di Kampung Air Salobar adalah beberapa spot diving yang selalu menjadi pilihan beberapa penyedia jasa selam di Manokwari ketika ada Tamu yang ingin mencoba fun diving di Manokwari.
Selama perjalanan, kami mencatat dan merekam ada lebih dari 15 titip garis pantai pasir putih dengan air jernis dan bersih serta nyaman untuk di nikmati. Salah satu yang cukup memukau adalah pantai Syor Nabo di Kampung Air Salobar. Jaraknya hanya 2 Km dari titik pelabuhan utama pulau mansinam. Pasir panjang yang bersih, putih dan halus dan tutupan pohon palem pantai yang indah menjadi pantai ini sebagai salah satu rekomended spot tuk melepas penat. Pemandangan kota Manokwari dari kejauhan menambah indahnya view yang bisa dinikmati dari pantai ini sambil berenang.
Beberapa titik pantai pasir putih dan karang panjang tempat ikan bermain bisa menjadi pilihan destinasi wisata tambahan terutama bagi penikmat snorkeling untuk menikmati berbagai jenis ikan karang laut dangkal yang varitif. Beberapa titik snorkling tidak jauh dari Kampung Baru Sawido sebelah utara Pulau Mansinam bisa jadi pilihan yang tepat untuk berwisata.
Tracking/Jogging dan jalan santai
Satu wisata yang telah kami coba adalah berjalan kaki mengelilingi pulau Mansinam, total hampir 10 Km jarak tempuh dengan jalan setepak melingkar. Jalanan cukup nyaman dan hampir 98% datar sehingga energi yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Kami menghabiskan hampir 2.5 jam berjalan kaki memutari pulau Mansinam. Sepanjang jalan tentu udara segar, suasana tenang, pemandangan pantai yang indah dan suara burung yang merdu menemani perjalanan sehingga tidak membosankan.
Kalkulasi Jarak Tempuh Jalan Kaki/Jogging Keliling Pulau Mansinam
Pulau Mansinam cukup aman untuk travelling, jogging atau tracking tetapi tentu direkomendasikan agar melakukan perjalanan tidak sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan.
Bird Watching, Insect dan Vegetation Observation
Bagi anda Pencinta Burung, Mansinam bisa jadi tempat yang tepat untuk anda kunjungi pada saat berada di Manokwari. Vegetasi dan tutupan hutan yang masih alami menjadi rumah nyaman bagi beberapa jenis burung yang seperti Merpati hutan dan Burung Cuit/Kenari dada kuning. Tidak sulit menjumpai burung-burung ini, karena mereka bermain hanya disekitar pantai di pepohonan hijau yang ada.
Selain burung, Mansinam juga adalah rumah nyaman bagi beberapa jenis kupu-kupu, serangga eksotis dan semut raja. Sepanjang jalan kami menemukan lebih dari 8 jenis serangga dan kupu-kupu yang Indah. Vegetasi alami dengan perdu dan bunga hutan ditambah dengan tegakan pohon dan gugusan plots hutan palem laut tentu mewarnai pantai pulau mansinam dengan pilihan wisata lain untuk tujuan-tujuan khusus. Vegetasi daratan dengan tutupan hutan dan pepohonan besar yang banyak dijumpai juga di tanah datar adalah object lain yang bisa dinikmati terutama kesejukan udara dari murni-nya oksigen yang dihasilkan.
Lokasi Pas tuk Camping dan Outbound
Camping dan outbound untuk beberapa inisiatif bisa dioptimalkan di pulau ini. Ada beberapa fasilitas dan titik lokasi strategis yang bisa dioptimalkan. Baik disekitar kampung maupun di dekat pantai. Kami menemukan beberapa bangunan mirim home stay sederhana yang Indah tetapi tidak berpenghuni. Kelihatan juga tidak dirawat. Tetapi lokasinya yang berada tidak jauh dari kebun warga dan pantai sangatlah strategis menjadi tempat untuk camping dan outing untuk 2 atau 3 hari melepas penat.
Belum Tertata dan Dikelola Dengan Baik
Potensi pulau mansinam yang disebutkan diatas hanyalah sebagian kecil yang baru kami explore. Beberapa potensi lain tentu masih tersimpan dan masih banyak yang bisa diexplore dan di nikmati. Kesan indah dan tenang yang ada sebenarnya sedikit tergannggu karen pulau yang cukup terkenal ini sebenarnya tidak dikelola dan ditata dengan baik untuk memberikan kenyamanan dan kelengkapan berwisata. Beberapa fasilitas dasar penunjang seperti WC/Toilet, papan Informasi, tempat singgah yang nyaman sampai cafe/kedai untuk bersantai tidak tersedia. Padahal jumlah pengunjung yang datang cukup banyak.
Sampah juga masih menjadi masalah tersendiri yang memperburuk tampilan pulau mansinam. Selain dari pada fasilitasi pembuangan sampah yang tidak ada, juga kesadaran masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah dan kontrol kebersihan pulau juga masih minim. Sampah bertebaran dimana-mana. Bahkan disekitar patung Yesus yang menjadi ikon wisata pulau Mansinam.
Fasilitas yang disedikan pun tidak beroperasi sebagaimana didesain. Rerumputan bahkan tumbuh menutupi bangunan yang dibangun. Museum yang dibangun tertutup dan tidak jelas apa tujuannya dan apa yang diharapkan dari kehadiran bangunan ini di titik awal pulau. Bagi beberapa turis baru atau pengunjung non Papua bisa jadi mereka kehilangan cerita inti dari kekhususan pulau ini karena tidak adanya papan informasi atau beberap kedai informasi yang bisa menjadi ruang berbagai cerita memperkenalkan pulau Mansinam.
Kondisi ini cukup disayangkan tentu-nya. Karena tepat didapan pulau Mansinam berdiri bangunan megah yang dikenal dengan kantor pengelola pulau Mansinam. Tidak tau apa fungsinya tetapi fasilitas dan bangun yang ada cukup lengkap dan harusnya akan sangat berguna menyusun rencana besar pengelolaan integratif dari pulau Mansinam sebagaimana Bali dan beberapa daerah pusat pengajaran Islam di Jawa membangunnya.
Ada satu hotel yang baru dibangun di Kampung Air Salobar, tetapi belum efektif beroperasi. Penginapan ini sendiri sebenarnya ditantangan untuk menyedikan satu paket berbeda dari kenapa Mansinam special dan harus menjadi pilihan destinasi wisata di manokwari. Tentu harapannya penataan dan pengelolaan fasilitasi yang layak bisa dilakukan sehigga mimpi besar Mansinam sebagai pusat wisata religi tetapi juga wisata kepulauan bisa berjalan optimal dan memberikan kesan indah kepada semua pengunjung.
Kamis, 29 Juni 2017
Wisata ke Pulau Mansinam: Untung Besar Penyedia Jasa Perahu di Hari Libur
"Kalau mau langsung ke pulau tanpa harus menunggu penumpang yang lain, adik berdua bayar Rp. 50,000 saja untuk saya antar drop ke Mansinam" Sambut bapak Dani Awon, salah satu penyedia jasa perahu antar yang sedang parkir pagi itu menunggu penumpang. Saya bersama Istri saya sengaja datang pagi sekali dengan misi untuk melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Mansinam. Sebuah rencana yang kami susun sehari sebelumnya untuk merekam potensi-potensi wisata selain dari pada ketenaran Mansinam sebagai pulau pekabaran Injil di Papua.
"Beberapa hari ini kami sedang kebanjiran rejeki karena hari libur dan banyak orang yang bolak-bolak mengujungi pulau mansinam" sambut Pak Dani menjawab pertanyaan saya "kayaknya lagi ramai ya penumpang pas musim liburan?". Dalam sehari Pak Dani bersama dengan penyedia jasa perahu yang lain bisa 10 - 12 kali bolak balik dengan rata-rata penumpang berisi 8 - 12 orang per trip. Sekali trip setiap penumpang dikenakan biaya Rp. 10,000/orang dan khusus untuk penumpang dewasa sedangkan balita dan anak-anak biasanya dibayarkan dibawah Rp.10,000 atau kadang gratis. Jumlah ini tentu berbeda dengan pendapatan yang diterima di hari kerja/biasa dimana rata-rata mereka maksimal bisa dapat 3 kali trip itupun penumpang yang naik adalah mereka penduduk dari pulau mansinam dan Pulau Lemon yang beraktifitas normal baik sebagai pegawai negeri sipil maupun pekerja non formal lainnya di kota.
Hari libur tentu menjadi berkah, Mansinam saat ini hadir menjadi salah satu destinasi wisata terutama untuk tujuan religi. Sekalipun sebagian pengunjung non Kristen juga menikmati pulau ini dari keindahan dan ketengan berwisata. Posisi dan aksesibilitas pulau Mansinam yang hanya bisa dijangkau melalui penyeberangan laut mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor jasa terutama kepada semua penyedia jasa yang hampir 100% adalah warga lokal pulau lemon, pulau mansinam dan wilayah-wilayah sekitar kwawi.
Ada lebih dari 10 unit perahu yang setiap harinya beroperasi.
Fasilitas dan konsep pengembangan perahu yang memperhatikan kestabilan perahu dimana 'Semang - bagian penyeimbang perahu yang ditambah sebagai sayap disisi kiri dan kanan perahu" memberikan rasa nyaman tersendiri kepada penumpang. Sekalipun mereka yang baru pertama kali naik perahu. Tempat duduk kayu yang memuat 2 penumpang sebaris tentu cukup nyaman untuk jarak tempuh yang hanya 10 - 15 menit dari pelabuhan Kwawi ke Pulau Mansinam. Jaraknya yang dekat dan bermodalkan pengalaman panjang, para pengemudi perahu tidak melengkapi dirinya dengan alat navigasi khusus. Begitu juga tidak ada live jacket yang disiapkan mungkin karena mereka menganggap sudah biasa dan jarak tempuh hanya pendek saja. Ya... Dengan memanfaatkan fasilitas yang ada dengan perahu kayu panjang max 6 meter ditambah motor tempel skala 15 dan 25 PK mereka para penyedia jasa perahu penyeberangan menggantungkan hidup dan berusaha memberikan fasilitas yang nyaman kepada penumpang yang menyeberang ke Pulau Lemon dan Pulau Mansinam.
"Saya senang kalau setiap hari penumpang bisa ramai seperti ini" kata Pak Dani kembali ditengah perjalanan kami. Harapan bahwa jasa perahu tetap didukung dan menjadi pilihan utama para pengunjung Pulau Mansinam dan Pulau Lemon kelihatan tersirat dalam kepalannya. Harapan juga bahwa Mansinam dan Pulau Lemon bisa terus dipromosikan menjadi aset wisata sangatlah besar karena dengan begitu peningkatan kebutuhan jasa mereka sebagai para pengemudi perahu bisa meningkat dan konstan baik hari libur maupun hari kerja.
Perahu penyeberangan ke Pulau Mansinam
"Beberapa hari ini kami sedang kebanjiran rejeki karena hari libur dan banyak orang yang bolak-bolak mengujungi pulau mansinam" sambut Pak Dani menjawab pertanyaan saya "kayaknya lagi ramai ya penumpang pas musim liburan?". Dalam sehari Pak Dani bersama dengan penyedia jasa perahu yang lain bisa 10 - 12 kali bolak balik dengan rata-rata penumpang berisi 8 - 12 orang per trip. Sekali trip setiap penumpang dikenakan biaya Rp. 10,000/orang dan khusus untuk penumpang dewasa sedangkan balita dan anak-anak biasanya dibayarkan dibawah Rp.10,000 atau kadang gratis. Jumlah ini tentu berbeda dengan pendapatan yang diterima di hari kerja/biasa dimana rata-rata mereka maksimal bisa dapat 3 kali trip itupun penumpang yang naik adalah mereka penduduk dari pulau mansinam dan Pulau Lemon yang beraktifitas normal baik sebagai pegawai negeri sipil maupun pekerja non formal lainnya di kota.
Hari libur tentu menjadi berkah, Mansinam saat ini hadir menjadi salah satu destinasi wisata terutama untuk tujuan religi. Sekalipun sebagian pengunjung non Kristen juga menikmati pulau ini dari keindahan dan ketengan berwisata. Posisi dan aksesibilitas pulau Mansinam yang hanya bisa dijangkau melalui penyeberangan laut mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor jasa terutama kepada semua penyedia jasa yang hampir 100% adalah warga lokal pulau lemon, pulau mansinam dan wilayah-wilayah sekitar kwawi.
Ada lebih dari 10 unit perahu yang setiap harinya beroperasi.
Fasilitas dan konsep pengembangan perahu yang memperhatikan kestabilan perahu dimana 'Semang - bagian penyeimbang perahu yang ditambah sebagai sayap disisi kiri dan kanan perahu" memberikan rasa nyaman tersendiri kepada penumpang. Sekalipun mereka yang baru pertama kali naik perahu. Tempat duduk kayu yang memuat 2 penumpang sebaris tentu cukup nyaman untuk jarak tempuh yang hanya 10 - 15 menit dari pelabuhan Kwawi ke Pulau Mansinam. Jaraknya yang dekat dan bermodalkan pengalaman panjang, para pengemudi perahu tidak melengkapi dirinya dengan alat navigasi khusus. Begitu juga tidak ada live jacket yang disiapkan mungkin karena mereka menganggap sudah biasa dan jarak tempuh hanya pendek saja. Ya... Dengan memanfaatkan fasilitas yang ada dengan perahu kayu panjang max 6 meter ditambah motor tempel skala 15 dan 25 PK mereka para penyedia jasa perahu penyeberangan menggantungkan hidup dan berusaha memberikan fasilitas yang nyaman kepada penumpang yang menyeberang ke Pulau Lemon dan Pulau Mansinam.
"Saya senang kalau setiap hari penumpang bisa ramai seperti ini" kata Pak Dani kembali ditengah perjalanan kami. Harapan bahwa jasa perahu tetap didukung dan menjadi pilihan utama para pengunjung Pulau Mansinam dan Pulau Lemon kelihatan tersirat dalam kepalannya. Harapan juga bahwa Mansinam dan Pulau Lemon bisa terus dipromosikan menjadi aset wisata sangatlah besar karena dengan begitu peningkatan kebutuhan jasa mereka sebagai para pengemudi perahu bisa meningkat dan konstan baik hari libur maupun hari kerja.
Sabtu, 17 Juni 2017
Mencari Titik Temu Penataan Hutan untuk Ruang Kelola Masyarakat Adat Di Papua
By Yunus Yumte at 07.50
Indigenous People, Papua, Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Adat
No comments
"Bagaimana kita menemukan Jalan terbaik agar masyarakat adat Papua mampu mengelola hutan adatnya secara legal dalam koridor negara?" pertanyaan itu mengawali diskusi kita siang kemarin bersama Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua - Jan Jaap Ormuserai. Ya wajar saja pertanyaan itu muncul terutama ketika melihat kembali ke belakang bagaimana perjuangan Papua mendudukan inisiatif pengelolaan hutan secara legal yang diamanatkan dalam UU no 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. Tinggal 4 tahun lagi terhitung efektif UU Otsus Papua akan berakhir tetapi kekhususan yang dimaksud terutama dari bagaimana keberpihakan terhadap masyarakat adat Papua mengelola sumber daya alamnya belum juga terjawab. Perdasus (PERATURAN DAERAH KHUSUS) provinsi Papua No 21 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan yang menjadi payung NSPK lokal Papua untuk Masyarakat adat Papua belum mampu berjalan karena dibenturkan dengan prasyarat pengakuan secara nasional.
Pembahasan draft Permenhut NSPK Pengelolaan Hutan Papua, August 2014.
"Kenapa NSPK kita belum bisa ditetapkan? Padahal sudah banyak jalur politis dan lobby kita buat. Apakah masih ada persoalan legal teknis yang belum dipenuhi?" rangkaian pertanyaan muncul terus untuk sama-sama kita membedah persoalan dasar penghambat kenapa draft PermenLHK tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria pengelolaan hutan di Propinsi Papua belum ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan (dulu hanya menteri kehutanan). Sulit juga memberikan jawabannya yang menebak-nebak saja, karena semua ada di Gedung Manggala Wanabhakti tempat dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatur hutan Indonesia.
Lihat juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2015/04/menanti-penetapan-nspk-iuphhk-mha-papua.html
Sebagai bagian dari semangat penataan dan pengelolaan sumber daya hutan yang bermanfaat bagi masyarakat, Pemerintah Provinsi Papua terus berupaya untuk menemukan titik tepat ruang legal dibuka untuk mendukung masyarakat dengan standar-standar yang mengakodir aspek sosial antropologis Papua. Sebagaimana diakui bahwa secara de facto semua hutan, tanah, air dan sumber daya alam di Papua terikat secara sosiologis dan kultur dengan claim kepimilikan adat. Kepemilikan adat yang kuat sekalipun belum diadministrasikan baik di Pemerintah tetapi pada prakteknya urusan kepimilikan adat selalu menjadi bagian dari prasyarat dalam pembangunan dan investasi di Papua. Termasuk di sektor kehutanan. Tingginya aktifitas pengambilan hasil hutan tanpa kontrol di Papua adalah bagian dari claim masyarakat adat kepemilikannya dan tekanan ekonomi yang dihadapi. Kehadiran PERDASUS 21/2008 adalah sebenarnya untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar ini serta menjaga kontrol manfaat hutan kepada masyarakat dan negara.
"Social Forestry" dalam Periode Panjang Papua
Berbicara tentang pengelolaan hutan di Papua sebenarnya bukanlah sebuah perkara baru, bahkan upaya melakukan penataan hutan untuk kepentingan masyarakat adat sudah dimulai sejak Jaman Pemerintah Belanda di Papua. Pembangunan hutan Agathis di Adibai, Biak Timur dan di Daerah Menelek-Bariat di Sorong Selatan adalah beberapa bukti inisiatif hutan tanaman yang sudah dibangun untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk terlibat memanfaat sumber daya hutannya. Bahkan menurut catatan sejarah, untuk memperkuat rencana pengembangan hutan tanaman yang lebih baik Belanda Membuka Kursus Kehutanan di Holandia (skarang Jayapura) pada tahun 1952 yang pada saat itu dikenal dengan nama Bosch Beampe. Berkembang terus untuk menunjang kebutuhan kayu alam di Manokwari belanda juga membangun Hoftdebrik yang menjadi industri kayu pertama di Papua untuk menyuplai kayu mendukung pembangunan perumahan di Papua.
Pasca pemerintahan Belanda, perkembangan pembangunan kehutanan masyarakat di Papua sebenarnya tidak maju. Dimulai dengan perusahaan kayu Negara (PKN) yang mengambil alih hegemoni Hoftdebrik di Manokwari dan bekerja selama periode 1963 - 1978 mengambil dan mengelola kayu-kayu alam di Papua. Selanjutnya muncul konsesi-konsesi baru seperti INHUTANI yang mengambil alih PKN dan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang mulai memberikan kesempatan kepada pihak ketiga selain negara untuk ikut mengelola hasil hutan yang secara keseluruhan fokus pada hasil hutan kayu. Dalam hal PHBM di HPH muncul skema-skema HPH Bina Desa sekalipun batasan jelas menukik pada bagaimana bantuan sosial dan program kerja yang tidak hanyak bicara produk hutan.
Di periode tahun 1990 - 1998 (sebelum reformasi) skema HPH bina desa dan kemitraan masih menjadi domain besar keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Sekalipun kemudian di Jawa muncul beberapa kerangka pikir peran serta masyarakat melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tetapi perkembangannya belum terlalu signifikan. Praktek yang terjadi dan pada kenyataannya tidak terkontrol adalah pemungutan hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Primadona hasil hutan non kayu seperti Gaharu, Kulit Kayu Masohi, Kulit Lawang dan Damar masih mendominasi peredaran produk-produk hutan dimana masyarakat banyak yang terlibat pada aktifitas hulu yaitu pemungutan hasil. Pada periode ini mulai muncul beberapa lokasi pilot untuk kelompok tani hutan yang sebenarnya didesain dan dikhususkan untuk pengadaan bibit untuk program-program penanaman.
Perubahan signifikan tentu terjadi pasca reformase, dimulai dengan penetapan UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan diperkuat dengan UU No 21 Tahun Tentang Otonomi Khusus. Pada kedua UU ini muncul keberpihakan yang kuat kepada masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat. Papua bahkan lebih maju dengan kebijakan Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat) yang memberikan peluang kemitraan antara Masyarakat Adat dengan investor dalam pengelolaan hutan, sekalipun ditutup dengan persoalan hukum dan maraknya illegal logging, skema ini menjadi terobosan pemikiran dalam penataan urusan kehutanan masyarakat di Papua. Sebagai tindaklanjuti dan wujud implementasi Otsus di Papua, pemerintah Daerah Provinsi Papua mengembangkan peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Konsep yang terus dimatangkan berdasarkan pengalaman-pengalaman kesalahan pengelolaan hutan sebelumnya secara baik memberikan kepastian ruang kelola dan perangkat legal pengontrol kelestarian kepada masyarakat adat. Perdasus ini keluar di Tahun 2008 dengan pergub-pergub yang dikeluarkan di tahun 2010.
Pada periode yang sama dimana PERDASUS Papua dikeluarkan Tahun 2008 - 2009, pemerintah secara nasional juga mengeluarkan beberapa skema perhutanan sosial yang mencakup Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan. Papua bahkan kemudian mendesain Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai lembaga pemerintah yang akan menjalankan fungsi pengelolaan dan memberikan asistensi kepada masyarakat adat pemegang ijin dengan skema PERDASUS.
Baca juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2014/06/catatan-refleksi-usaha-mendorong.html
Sayang skema pengelolaan hutan di Papua yang didesain dibawah payung UU OTSUS ini, sekalipun sudah disiapkan perangkat hukum, kesiapan manusia, alat dan model tetapi belum bisa berjalan optimal karena dibenturkan dengan nomenklatur Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tidak ditemukan dalam skema perhutanan sosial secara nasional. Sehingga Papua harus berupaya mendorong harmonisasi regulasi melalui NSPK yang harus dikeluarkan oleh kementerian kehutanan untuk mengakui skema pengelolaan hutan yang dirancang provinsi Papua sebagai bagian dari skema pengelolaan hutan yang legal di Indonesia.
Saat ini melalui beberapa kebijakan yang muncul setelah Putusan MK No 35/2012 yang menegaskan perbedaan hutan adat dan hutan negara, pengemasan semua inisiatif perhutanan sosial dibungkus dalam 5 skema yaitu: hutan desa (HD), Hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Ada (HA) dan Kemitraan Pengelolaan hutan. Dan beberapa model mulai bermunculan seperti perkembangan hutan desa di Sorong Selatan dan KPH model di Biak Numfor.
Sudah Saat-nya di Harmonisasikan Regulasi Yang Ada
Disaat Papua dan Pusat sibuk mencari titik temu dan panjangnya perjuangan, aktifitas pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat terus berjalan. Umumnya dimoninasi oleh aktifitas-aktifitas tanpa ijin. Upaya dan semangat daeran untuk membangun tata regulasi, tata pengawasan dan tata kelola hutan yang berpihak kepada masyarakat di wilayahnya tentunya harus diappresiasi dan didukung penuh. Apalagi niat tulusnya adalah untuk memberikan akses kesejahteraan dan menjaga nilai manfaat kepada negara yang selama ini banyak bocor.
Bagaimana memulainya?
NSPK yang diperjuangkan oleh Papua sebenarnya adalah opsi strategis pemerintah Pusat dan Provinsi Papua membangun jembatan harmonisasi tersebut. Disaat bersamaan tentu membangun regulasi untuk keseluruhan tata kelola hutan di daerah bersama dengan tata manfaat harus disiapkan. Pengalaman tentang persoalan yang lama seperti KOPERAMAS bisa menjadi bahan refleksi bahwa memastikan forester dan komunitas adat di Papua memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan semua kebijakan kehutanan yang ada juga secara pararel harus dipastikan. Sehingga kekhawatiran-kekhawatiran dimana hutan akan semakin rusak apabila diberikan kepada masyarakat adat bisa berkurang.
Pembahasan draft Permenhut NSPK Pengelolaan Hutan Papua, August 2014.
"Kenapa NSPK kita belum bisa ditetapkan? Padahal sudah banyak jalur politis dan lobby kita buat. Apakah masih ada persoalan legal teknis yang belum dipenuhi?" rangkaian pertanyaan muncul terus untuk sama-sama kita membedah persoalan dasar penghambat kenapa draft PermenLHK tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria pengelolaan hutan di Propinsi Papua belum ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan (dulu hanya menteri kehutanan). Sulit juga memberikan jawabannya yang menebak-nebak saja, karena semua ada di Gedung Manggala Wanabhakti tempat dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatur hutan Indonesia.
Lihat juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2015/04/menanti-penetapan-nspk-iuphhk-mha-papua.html
Sebagai bagian dari semangat penataan dan pengelolaan sumber daya hutan yang bermanfaat bagi masyarakat, Pemerintah Provinsi Papua terus berupaya untuk menemukan titik tepat ruang legal dibuka untuk mendukung masyarakat dengan standar-standar yang mengakodir aspek sosial antropologis Papua. Sebagaimana diakui bahwa secara de facto semua hutan, tanah, air dan sumber daya alam di Papua terikat secara sosiologis dan kultur dengan claim kepimilikan adat. Kepemilikan adat yang kuat sekalipun belum diadministrasikan baik di Pemerintah tetapi pada prakteknya urusan kepimilikan adat selalu menjadi bagian dari prasyarat dalam pembangunan dan investasi di Papua. Termasuk di sektor kehutanan. Tingginya aktifitas pengambilan hasil hutan tanpa kontrol di Papua adalah bagian dari claim masyarakat adat kepemilikannya dan tekanan ekonomi yang dihadapi. Kehadiran PERDASUS 21/2008 adalah sebenarnya untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar ini serta menjaga kontrol manfaat hutan kepada masyarakat dan negara.
"Social Forestry" dalam Periode Panjang Papua
Berbicara tentang pengelolaan hutan di Papua sebenarnya bukanlah sebuah perkara baru, bahkan upaya melakukan penataan hutan untuk kepentingan masyarakat adat sudah dimulai sejak Jaman Pemerintah Belanda di Papua. Pembangunan hutan Agathis di Adibai, Biak Timur dan di Daerah Menelek-Bariat di Sorong Selatan adalah beberapa bukti inisiatif hutan tanaman yang sudah dibangun untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk terlibat memanfaat sumber daya hutannya. Bahkan menurut catatan sejarah, untuk memperkuat rencana pengembangan hutan tanaman yang lebih baik Belanda Membuka Kursus Kehutanan di Holandia (skarang Jayapura) pada tahun 1952 yang pada saat itu dikenal dengan nama Bosch Beampe. Berkembang terus untuk menunjang kebutuhan kayu alam di Manokwari belanda juga membangun Hoftdebrik yang menjadi industri kayu pertama di Papua untuk menyuplai kayu mendukung pembangunan perumahan di Papua.
Pasca pemerintahan Belanda, perkembangan pembangunan kehutanan masyarakat di Papua sebenarnya tidak maju. Dimulai dengan perusahaan kayu Negara (PKN) yang mengambil alih hegemoni Hoftdebrik di Manokwari dan bekerja selama periode 1963 - 1978 mengambil dan mengelola kayu-kayu alam di Papua. Selanjutnya muncul konsesi-konsesi baru seperti INHUTANI yang mengambil alih PKN dan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang mulai memberikan kesempatan kepada pihak ketiga selain negara untuk ikut mengelola hasil hutan yang secara keseluruhan fokus pada hasil hutan kayu. Dalam hal PHBM di HPH muncul skema-skema HPH Bina Desa sekalipun batasan jelas menukik pada bagaimana bantuan sosial dan program kerja yang tidak hanyak bicara produk hutan.
Di periode tahun 1990 - 1998 (sebelum reformasi) skema HPH bina desa dan kemitraan masih menjadi domain besar keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Sekalipun kemudian di Jawa muncul beberapa kerangka pikir peran serta masyarakat melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tetapi perkembangannya belum terlalu signifikan. Praktek yang terjadi dan pada kenyataannya tidak terkontrol adalah pemungutan hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Primadona hasil hutan non kayu seperti Gaharu, Kulit Kayu Masohi, Kulit Lawang dan Damar masih mendominasi peredaran produk-produk hutan dimana masyarakat banyak yang terlibat pada aktifitas hulu yaitu pemungutan hasil. Pada periode ini mulai muncul beberapa lokasi pilot untuk kelompok tani hutan yang sebenarnya didesain dan dikhususkan untuk pengadaan bibit untuk program-program penanaman.
Perubahan signifikan tentu terjadi pasca reformase, dimulai dengan penetapan UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan diperkuat dengan UU No 21 Tahun Tentang Otonomi Khusus. Pada kedua UU ini muncul keberpihakan yang kuat kepada masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat. Papua bahkan lebih maju dengan kebijakan Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat) yang memberikan peluang kemitraan antara Masyarakat Adat dengan investor dalam pengelolaan hutan, sekalipun ditutup dengan persoalan hukum dan maraknya illegal logging, skema ini menjadi terobosan pemikiran dalam penataan urusan kehutanan masyarakat di Papua. Sebagai tindaklanjuti dan wujud implementasi Otsus di Papua, pemerintah Daerah Provinsi Papua mengembangkan peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Konsep yang terus dimatangkan berdasarkan pengalaman-pengalaman kesalahan pengelolaan hutan sebelumnya secara baik memberikan kepastian ruang kelola dan perangkat legal pengontrol kelestarian kepada masyarakat adat. Perdasus ini keluar di Tahun 2008 dengan pergub-pergub yang dikeluarkan di tahun 2010.
Pada periode yang sama dimana PERDASUS Papua dikeluarkan Tahun 2008 - 2009, pemerintah secara nasional juga mengeluarkan beberapa skema perhutanan sosial yang mencakup Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan. Papua bahkan kemudian mendesain Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai lembaga pemerintah yang akan menjalankan fungsi pengelolaan dan memberikan asistensi kepada masyarakat adat pemegang ijin dengan skema PERDASUS.
Baca juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2014/06/catatan-refleksi-usaha-mendorong.html
Sayang skema pengelolaan hutan di Papua yang didesain dibawah payung UU OTSUS ini, sekalipun sudah disiapkan perangkat hukum, kesiapan manusia, alat dan model tetapi belum bisa berjalan optimal karena dibenturkan dengan nomenklatur Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tidak ditemukan dalam skema perhutanan sosial secara nasional. Sehingga Papua harus berupaya mendorong harmonisasi regulasi melalui NSPK yang harus dikeluarkan oleh kementerian kehutanan untuk mengakui skema pengelolaan hutan yang dirancang provinsi Papua sebagai bagian dari skema pengelolaan hutan yang legal di Indonesia.
Saat ini melalui beberapa kebijakan yang muncul setelah Putusan MK No 35/2012 yang menegaskan perbedaan hutan adat dan hutan negara, pengemasan semua inisiatif perhutanan sosial dibungkus dalam 5 skema yaitu: hutan desa (HD), Hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Ada (HA) dan Kemitraan Pengelolaan hutan. Dan beberapa model mulai bermunculan seperti perkembangan hutan desa di Sorong Selatan dan KPH model di Biak Numfor.
Sudah Saat-nya di Harmonisasikan Regulasi Yang Ada
Disaat Papua dan Pusat sibuk mencari titik temu dan panjangnya perjuangan, aktifitas pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat terus berjalan. Umumnya dimoninasi oleh aktifitas-aktifitas tanpa ijin. Upaya dan semangat daeran untuk membangun tata regulasi, tata pengawasan dan tata kelola hutan yang berpihak kepada masyarakat di wilayahnya tentunya harus diappresiasi dan didukung penuh. Apalagi niat tulusnya adalah untuk memberikan akses kesejahteraan dan menjaga nilai manfaat kepada negara yang selama ini banyak bocor.
Bagaimana memulainya?
NSPK yang diperjuangkan oleh Papua sebenarnya adalah opsi strategis pemerintah Pusat dan Provinsi Papua membangun jembatan harmonisasi tersebut. Disaat bersamaan tentu membangun regulasi untuk keseluruhan tata kelola hutan di daerah bersama dengan tata manfaat harus disiapkan. Pengalaman tentang persoalan yang lama seperti KOPERAMAS bisa menjadi bahan refleksi bahwa memastikan forester dan komunitas adat di Papua memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan semua kebijakan kehutanan yang ada juga secara pararel harus dipastikan. Sehingga kekhawatiran-kekhawatiran dimana hutan akan semakin rusak apabila diberikan kepada masyarakat adat bisa berkurang.
Minggu, 11 Juni 2017
Pasca PermenLHK 32/2015 Tentang Hutan Hak/Hutan Adat Keluar, Bagaimana Sebaiknya Papua Bergerak?
Di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) ketika kita berbicara dan mengoborolkan tentang tanah, hutan, air dan sumber daya alam didalamnya selalu kita akan terbawa pada pertanyaan - siapa yang memiliki semua itu? Orang apa? Suku Apa? Marga Apa? Pertanyaan seperti ini sebenarnya adalah penegasan common statement yang selalu kita dengar di Papua yaitu "tidak ada tanah yang tak bertuan di Papua". Tetapi bagaimana masyarakat adat dan pemerintah daerah di tanah Papua mendefinisikan semua-nya itu untuk kemudian membantu orang luar untuk memahami setidaknya hal-hal mendasar yang menjadi tuntutan papua terkait tanah dan semua yang ada dibawah tanah dan diatas tanah? Hal ini yang juga kemudian muncul menjadi pekerjaan rumah baru bagi masyarakat adat, pemerintah dan para pihak yang mendukung dan bekerja bersama masyarakat adat dan pemerintah daerah mendorong penataan hak dan aset adat masyarakat adat di Papua.
Hutan Adat adalah salah satu perhatian khusus di Papua saat ini pasca Putusan MK 35/2012 yangmenegaskan bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara, tetapi hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat adat tertentu. Yang secara legal NSPKnya diatur melalui PermenLHK 32/2015 tentang Hutan Hak dan Hutan Adat tentu menambah kekuatan yuridis dari upaya-upaya yang sudah dibangun di Papua. Dengan mengacu pada common statement diatas harusnya hutan adat tidak perlu diragukan lagi kelayakannya untuk diterapkan di Papua dengan luasan yang sesuai dengan masyarakat adat megeskannya dalam peta dan kesepatakan adat. Tetapi kemudian kenapa sampai setelah 2 tahun pasca PermenLHK ini diberlakukan, belum juga ada hutan adat di Papua yang ditetapkan/dikukuhkan oleh KLHK?
Hutan Adat; Perlu Membedakan antara Status dan Pengelolaan
Pasca Putusan MK 35/2012 secara yuridis berdiri 3 status hutan di Indonesia yaitu (1) hutan negara, (2) hutan hak dan (3) hutan adat. Sekalipun pada penjabaran implementasinnya termasuk pada bagaimana norma-norma yang disusun untuk mengatur tata kelola dan tata hutan masih mendudukan hutan Hak dan Hutan Adat pada posisi yang sama. SVLK Misalnya, verifier teknis yang digunakan untuk menilai hutan adat sementara ini menggunakan verifier 'hutan hak'.
Berbicara status sudahnya sahih untuk tidak mencampurkan adukannya dulu dengan pengelolaan. Status berbicara tentang legitimasi negara terhadap pemilikan masyarakat adat terhadap hutan adatnya. Dimana disitu melekat norma-norma, zonasi dan tata cara pemanfaatan sumber daya hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat. Apakah kemudian pada saat pengelolaan nantinya dilakukan oleh komunitas itu sendiri atau bermitra dengan pihak lain itu menjadi ranah berikutnya di level pengelolaan. Sama halnya dengan pengurusan hutan negara, pengurusan hutan adat dilakukan dengan norma yang berlaku dan dijalankan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Pada ranah pengelolaan, tentu melekat fungsi hutan yang diatur pemerintah dan berlaku juga zonasi adat yang mana masyarakat telah menerapkan dan menghormatinya. Aspek juridis pengelolaan dengan semua NSPK yang diatur oleh negara berbadasarkan fungsi hutan tentu tetap melekat tetapi pada ranah ini, peran komunitas adat sebagai pemegang hak untuk ijin adat pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan hutan adat tetap kuat. Contoh bagaimana hutan hak dijalankan menjadi referensi bagaimana hutan adat bisa dijalankan pasca penegasan tentang status hutan dan pengukuhun terhadap fungsi hutan yang berada di dalam hutan adat tersebut.
Masyarakat Adat Siap Melaksanakannya
"Yang kami pikirkan adalah bagaimana semua wilayah adat Knasoimos ini ditetapkan sebagai hutan adat dan diakui menjadi milik masyarakat" kate Fredrik Sagisolo, ketua Dewan Perwakilan Masyarakat Adat (DPMA) Knasoimos, di Sorong Sorong Selatan. Knasoimos adalah kelompok masyarakat adat yang cukup maju mendorong perjuangan untuk pengakuan hak, penataan asets dan pengelolaan sumber daya adatnya. Hutan menjadi fokus utama karena belajar dari pengalaman bagaimana Konsesi HPH merusak hutan-hutan mereka terutama tempat-tempat penting masyarakat adat. Pernyataan Ketua DPMA Knasoimos beranjak dari bagaimana kelompok adat Knasoimos sudah siap dengan semua prasyarat yang dasar yang disebutkan oleh PermenLHK 32/2015 yaitu memiliki peta wilayah adat, aturan dan kelembagaan adat.
Knasoimos adalah salah satu contoh dari sekian inisitif penataan hak dan aset adat masyarakat yang selama ini berjalan di Papua dan Papua Barat. Total wilayah adat Knasoimos sekitar 81,000 ha dimana sekitar 95% diantaranya adalah dalam tutupan berhutan menurut cara masyarakat melihat zonasinya. Perjuangan soal hak adat dan hutan adat telah lama dilakukan mereka, dimulai sejak tahun 1999 dan 2004 yang mana mereka terus bersuara menolak illegal logging yang terjadi di tempat mereka.
Keingingan dan semangat masyarakat adat Knasoimos untuk mengelola hutan adat-nya sendiri terus berkembang dan berjalan. Pada tahun 2014 sekitar 3,800 ha usulan hutan Desa di tetapkan oleh KLHK pada wilayah adat kampung Sira dan Manggroholo. Dan pada tahun 2016 lalu, Kedua hutan desa ini juga telah menerima ijin pengelolaan dari Gubernur Provinsi Papua Barat untuk konsesi hutan desa-nya. Koperasi Kna Mandiri bersama LPHD Sira dan Manggroholo bertindak sebagai pengelola-nya. Semangat ini terus menjamur dengan kerja-kerja masive pemetaan wilayah adat yang dilakukan di wilayah adat Knasoimos. Dengan harapan dan pengasan bahwa masyarakat adat Knasoimos telah siap untuk mengusulkan penetapan hutan adat mereka untuk kemudian ditata dan dikelola berdasarkan norma-norma yang dipegang dan sejalan dengan NSPK pengelolaan hutan yang diatur pemerintah berdasarkan fungsi.
Melangkah Bersama Mempersiapkan Hutan Adat Di Papua
Mengelola hutan secara lestari guna memberikan kesejahteraan kepada masyarakat adalah amanat utama dalam pembangunan kehutanan nasional. Serta mewujudkan kebhinekaan dalam pengurusan dan pengelolaan hutan secara nasional adalah bagaimana memahami, menyiapkan dan memfasilitasi semua inisiatif lokal yang muncul dengan konsep tata kelola hutan yang benar. Hutan Adat hadir sebagai satu pilar baru pembangunan kehutanan di Indonesia dan merumuskan reformasi baru tata kelola yang berorientasi pada kesejahteraan sosial dan pembangunan sumber daya hutan secara lestari. Artinya bahwa jalan tidak-nya sebuah inisiatif hutan adat di satu wilayah adat tergantung dari pada kerja kolektif para pihak yang berkepenting dan bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan adat di Indonesia.
Papua dengan kekuatan sosial dan de facto klaim hak adat adat tanah dan hutan harusnya disambut dengan semangat penataan hutan yang baik. Artinya bahwa pemerintah daerah, bersama dengan masyarakat adat dan para pihak pendukung perlu secara bersama membangun kerangka fasilitasi dan skenario percepatan penetapan hutan adat di Papua. Begitu juga secara bersama mempersiapkan semua prasyarat legal teknis yang memberikan jaminan kepada masyarakat adat untuk mengelola sumber daya hutannya dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang baik dan benar.
Melihat pada prasyarat legal yang melekat dalam hutan adat serta bagaimana pengelolaan selanjutnya yang perlu menegaskan norma-norma dan aturan adat maka setidaknya hutan adat disyarakat untuk memiliki: (1) peta wilayah adat dan tata hutan dengan zonasi hutan berbasis adat, (2) aturan, standar dan mekamis pengelolaan hutan yang selama ini dijalankan oleh masyarakat adat dan (3) informasi tentang demografi masyarakat adat itu sendiri. Ketiga data dasar ini kemudian dilegalkan dengan SK Bupati/Gubnernur dengan merujuk pada Peraturan Daerah yang berlaku di tingkat provinsi atau Kabupaten/Kota. Artinya bahwa kerja bersama para pihak pada tahapan penegasan status hutan adat adalah menyiapkan data dan informasi diatas bersamaan dengan diskusi penyadartahuan di tingkat masyarakat tentang aspek hak dan kewajiban hutan yang akan melekat sehubungan dengan penetapan status hutannya sebagai hutan adat.
Pada ranah pengelolaan, kerja bersama adalah menyiapkan regulasi daerah yang memberikan guideline atau norma, standar, prosedur dan kriteria teknis dari pengelolaan hutan adat berbasis pada fungsi hutan dan produk hutan yang bisa dikelola. Terlepas dari beberapa regulasi nasional yang sudah siapkan, daerah bisa mencoba untuk menjajaki bagaimana peraturan-peraturan setingkat Pergub bisa dibuat untuk mengimplementasikan PermenLHK 32/2015 dan PermenLHK 83/2016 untuk area yang masuk pada hutan adat masyarakat.
Pesan penting yang selalu muncul dan dipegang adalah "kontrol keberlanjutan dan kontrol manfaat dalam koridor hutan dan tata kelola hutan yang baik" pastinya menjadi pengikat semangat agar para pihak bisa membangun kemitraan kerja yang efektif mewujudkan pembangunan hutan adat di Papua.
Hutan Adat adalah salah satu perhatian khusus di Papua saat ini pasca Putusan MK 35/2012 yangmenegaskan bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara, tetapi hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat adat tertentu. Yang secara legal NSPKnya diatur melalui PermenLHK 32/2015 tentang Hutan Hak dan Hutan Adat tentu menambah kekuatan yuridis dari upaya-upaya yang sudah dibangun di Papua. Dengan mengacu pada common statement diatas harusnya hutan adat tidak perlu diragukan lagi kelayakannya untuk diterapkan di Papua dengan luasan yang sesuai dengan masyarakat adat megeskannya dalam peta dan kesepatakan adat. Tetapi kemudian kenapa sampai setelah 2 tahun pasca PermenLHK ini diberlakukan, belum juga ada hutan adat di Papua yang ditetapkan/dikukuhkan oleh KLHK?
Hutan Adat; Perlu Membedakan antara Status dan Pengelolaan
Pasca Putusan MK 35/2012 secara yuridis berdiri 3 status hutan di Indonesia yaitu (1) hutan negara, (2) hutan hak dan (3) hutan adat. Sekalipun pada penjabaran implementasinnya termasuk pada bagaimana norma-norma yang disusun untuk mengatur tata kelola dan tata hutan masih mendudukan hutan Hak dan Hutan Adat pada posisi yang sama. SVLK Misalnya, verifier teknis yang digunakan untuk menilai hutan adat sementara ini menggunakan verifier 'hutan hak'.
Berbicara status sudahnya sahih untuk tidak mencampurkan adukannya dulu dengan pengelolaan. Status berbicara tentang legitimasi negara terhadap pemilikan masyarakat adat terhadap hutan adatnya. Dimana disitu melekat norma-norma, zonasi dan tata cara pemanfaatan sumber daya hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat. Apakah kemudian pada saat pengelolaan nantinya dilakukan oleh komunitas itu sendiri atau bermitra dengan pihak lain itu menjadi ranah berikutnya di level pengelolaan. Sama halnya dengan pengurusan hutan negara, pengurusan hutan adat dilakukan dengan norma yang berlaku dan dijalankan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Pada ranah pengelolaan, tentu melekat fungsi hutan yang diatur pemerintah dan berlaku juga zonasi adat yang mana masyarakat telah menerapkan dan menghormatinya. Aspek juridis pengelolaan dengan semua NSPK yang diatur oleh negara berbadasarkan fungsi hutan tentu tetap melekat tetapi pada ranah ini, peran komunitas adat sebagai pemegang hak untuk ijin adat pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan hutan adat tetap kuat. Contoh bagaimana hutan hak dijalankan menjadi referensi bagaimana hutan adat bisa dijalankan pasca penegasan tentang status hutan dan pengukuhun terhadap fungsi hutan yang berada di dalam hutan adat tersebut.
Masyarakat Adat Siap Melaksanakannya
"Yang kami pikirkan adalah bagaimana semua wilayah adat Knasoimos ini ditetapkan sebagai hutan adat dan diakui menjadi milik masyarakat" kate Fredrik Sagisolo, ketua Dewan Perwakilan Masyarakat Adat (DPMA) Knasoimos, di Sorong Sorong Selatan. Knasoimos adalah kelompok masyarakat adat yang cukup maju mendorong perjuangan untuk pengakuan hak, penataan asets dan pengelolaan sumber daya adatnya. Hutan menjadi fokus utama karena belajar dari pengalaman bagaimana Konsesi HPH merusak hutan-hutan mereka terutama tempat-tempat penting masyarakat adat. Pernyataan Ketua DPMA Knasoimos beranjak dari bagaimana kelompok adat Knasoimos sudah siap dengan semua prasyarat yang dasar yang disebutkan oleh PermenLHK 32/2015 yaitu memiliki peta wilayah adat, aturan dan kelembagaan adat.
Knasoimos adalah salah satu contoh dari sekian inisitif penataan hak dan aset adat masyarakat yang selama ini berjalan di Papua dan Papua Barat. Total wilayah adat Knasoimos sekitar 81,000 ha dimana sekitar 95% diantaranya adalah dalam tutupan berhutan menurut cara masyarakat melihat zonasinya. Perjuangan soal hak adat dan hutan adat telah lama dilakukan mereka, dimulai sejak tahun 1999 dan 2004 yang mana mereka terus bersuara menolak illegal logging yang terjadi di tempat mereka.
Keingingan dan semangat masyarakat adat Knasoimos untuk mengelola hutan adat-nya sendiri terus berkembang dan berjalan. Pada tahun 2014 sekitar 3,800 ha usulan hutan Desa di tetapkan oleh KLHK pada wilayah adat kampung Sira dan Manggroholo. Dan pada tahun 2016 lalu, Kedua hutan desa ini juga telah menerima ijin pengelolaan dari Gubernur Provinsi Papua Barat untuk konsesi hutan desa-nya. Koperasi Kna Mandiri bersama LPHD Sira dan Manggroholo bertindak sebagai pengelola-nya. Semangat ini terus menjamur dengan kerja-kerja masive pemetaan wilayah adat yang dilakukan di wilayah adat Knasoimos. Dengan harapan dan pengasan bahwa masyarakat adat Knasoimos telah siap untuk mengusulkan penetapan hutan adat mereka untuk kemudian ditata dan dikelola berdasarkan norma-norma yang dipegang dan sejalan dengan NSPK pengelolaan hutan yang diatur pemerintah berdasarkan fungsi.
Melangkah Bersama Mempersiapkan Hutan Adat Di Papua
Mengelola hutan secara lestari guna memberikan kesejahteraan kepada masyarakat adalah amanat utama dalam pembangunan kehutanan nasional. Serta mewujudkan kebhinekaan dalam pengurusan dan pengelolaan hutan secara nasional adalah bagaimana memahami, menyiapkan dan memfasilitasi semua inisiatif lokal yang muncul dengan konsep tata kelola hutan yang benar. Hutan Adat hadir sebagai satu pilar baru pembangunan kehutanan di Indonesia dan merumuskan reformasi baru tata kelola yang berorientasi pada kesejahteraan sosial dan pembangunan sumber daya hutan secara lestari. Artinya bahwa jalan tidak-nya sebuah inisiatif hutan adat di satu wilayah adat tergantung dari pada kerja kolektif para pihak yang berkepenting dan bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan adat di Indonesia.
Papua dengan kekuatan sosial dan de facto klaim hak adat adat tanah dan hutan harusnya disambut dengan semangat penataan hutan yang baik. Artinya bahwa pemerintah daerah, bersama dengan masyarakat adat dan para pihak pendukung perlu secara bersama membangun kerangka fasilitasi dan skenario percepatan penetapan hutan adat di Papua. Begitu juga secara bersama mempersiapkan semua prasyarat legal teknis yang memberikan jaminan kepada masyarakat adat untuk mengelola sumber daya hutannya dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang baik dan benar.
Melihat pada prasyarat legal yang melekat dalam hutan adat serta bagaimana pengelolaan selanjutnya yang perlu menegaskan norma-norma dan aturan adat maka setidaknya hutan adat disyarakat untuk memiliki: (1) peta wilayah adat dan tata hutan dengan zonasi hutan berbasis adat, (2) aturan, standar dan mekamis pengelolaan hutan yang selama ini dijalankan oleh masyarakat adat dan (3) informasi tentang demografi masyarakat adat itu sendiri. Ketiga data dasar ini kemudian dilegalkan dengan SK Bupati/Gubnernur dengan merujuk pada Peraturan Daerah yang berlaku di tingkat provinsi atau Kabupaten/Kota. Artinya bahwa kerja bersama para pihak pada tahapan penegasan status hutan adat adalah menyiapkan data dan informasi diatas bersamaan dengan diskusi penyadartahuan di tingkat masyarakat tentang aspek hak dan kewajiban hutan yang akan melekat sehubungan dengan penetapan status hutannya sebagai hutan adat.
Pada ranah pengelolaan, kerja bersama adalah menyiapkan regulasi daerah yang memberikan guideline atau norma, standar, prosedur dan kriteria teknis dari pengelolaan hutan adat berbasis pada fungsi hutan dan produk hutan yang bisa dikelola. Terlepas dari beberapa regulasi nasional yang sudah siapkan, daerah bisa mencoba untuk menjajaki bagaimana peraturan-peraturan setingkat Pergub bisa dibuat untuk mengimplementasikan PermenLHK 32/2015 dan PermenLHK 83/2016 untuk area yang masuk pada hutan adat masyarakat.
Pesan penting yang selalu muncul dan dipegang adalah "kontrol keberlanjutan dan kontrol manfaat dalam koridor hutan dan tata kelola hutan yang baik" pastinya menjadi pengikat semangat agar para pihak bisa membangun kemitraan kerja yang efektif mewujudkan pembangunan hutan adat di Papua.