- There are remaining a lot of missing substantial information and data about clans, tribes and family and how their autonomy of rights and decision making are works. Which of the customary structure are holding the basic authority in lands usage? Both facilitator and community representative agreed sharpening the academic script of the regulation that appropriately legally regulate the rights and its elements are the next steps after the discussion.
- Positioning the core intention on recognize, designates and governance among customary knowledge with the official government regulation are crucial to enable conservation and rights recognition pathways could works in the on going development platform be understood and implemented by all the actor in Tambrauw.
- Reviewing and re-analyzing the substance of conservation regulation drafts that mentioning the legal binding and criminal sanction should be undertaken to make sure that the regulation would not banning community for their illegal activities to fulfill their livelihood needs.
- Concrete supports and sharing resources to supports the improvement draft to the finalization process are important to accelerating the public discussion until legal approval.
-
Stories About Beautiful Papua
Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island
-
The Last Frotier Primary Forests
With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.
-
Women and Natural Resources
Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial
-
Our Traditional Value
Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation
-
For Papuan Generation
Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation
-
Dependency to Forests Resources
Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources
-
All Are Wonderful
You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA
-
Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums
Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village
-
Papuan Traditional Conservation Practices
For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature
Kamis, 31 Maret 2016
Tambrauw Conservation and Customary Right Recognition Drafts Regulation Were Publicly Disccused
Rabu, 30 Maret 2016
2 Peta Wilayah Adat Indikative Suku di Tambrauw Dipresentasikan ke Pemda
Koneksi antara klaim hak, nilai adat dan pola ruang pemanfaatan sumber daya didalam masyarakat adat Abun dan Miyah sangatlah kuat. Hasil pemetaan indikative ini juga telah berhasil menangkap banyak informasi, data dan fakta tentang tempat penting dan pola ruang yang telah tumbuh dan dipegang kuat oleh masyarakat adat di suku Abun dan Miyah. Suku Miyah misalany, berdasarkan hasil pemetaan di temukan pola zonasi seperti:
- Konsolidasi di tingkat suku dan marga secara berkala dan terstruktur perlu dilakukan secara serius. Langkah-langkah untuk membangun kekuatan kelembagaan adat bisa kemudian dibangun.
- Mematangkan pemetaan detail tentang tata guna lahan dan ruang dalam upaya untuk pengaturan dan penataan sumber daya alam berkelanjutan berbasis masyarakat harus dilakukan bersama untuk memastikan pengaturan sumber daya alam yang bermartabat dan rendah konflik.
- Pemetaan wilayah adat di tingkat marga harus dilanjutkan terus untuk mengklarifikasi kepemilikan ruang dan konsolidasi pengaturan pengelolaannya di tengah perkembangan pembangunan yang ada saat ini.
- Pengembangan peraturan daerah untuk mengakui, melindungi dan menata keberadaan masyarakat adat di Tambrauw menjadi penting untuk dilakukan oleh pemerintah dan legislatif untuk memberikan kepastian hokum bagi masyarakat adat beserta visi dan rencana pengelolaan dan penataan ruang yang dimiliki.
- Dalam hal tata ruang dan pembangunan konservasi, posisi hak adat bersama dengan tempat penting dan asset sosial masyarakat adat didalamnya harus menjadi komponen data penting dalam penentuan detail pola dan struktur ruang. Langkah ini perlu diambil untuk meminimalisir konflik kepentingan ruang yang mungkin terjadi karena kompleksitas hak dan klaim ruang yang ada di masyarakat saat ini.
- Membangun system administrasi untuk fasilitasi identifikasi, inventarisasi, pendataan, pendaftaran sampai dengan instrument pengaturan ruang menjadi penting untuk dimiliki pemerintah daerah dalam rangka resolusi konflik ruang. Serta memberikan ruang legal arbetrasi bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan hukum dan administrasi terhadap objek hak yang dimiliki.
Rabu, 23 Maret 2016
Alarm....... Manokwari Darurat Sampah.................
Sore itu hujan tidak terlalu deras, mendung kabut dan jalanan agak padat di Kota Manokwari - Papua Barat dengan hiruk pikuk lalu lalang kendaraan. Perjalanan saya dari Amban yang tadinya akan menuju Cafe Calais di Jalan Borobudur pun kemudian berubahan menjadi sebuah perjalanan photo sore. Kali ini object yang menjadi perhatian saya adalah 'sampah'. Sampah dalam tulisan ini mengandung pengertian adalah material sisa dari manusia yang berbentuk padat umumnya didonimasi oleh limbah rumah tangga, bahan plastik dan material sisa berwujud padat lainnya. Yang material-material ini yang terus mengganggu indahnya kota Manokwari dan juga menggangu perjalanan saya hari ini. Saya pun memutuskan untuk terus melakukan perjalanan menuju pasar sanggeng yang setiap minggu-nya saya pun membuang sampah rumah tangga kami - itupun karena disitu ada bak sampah milik pemerintah yang kata-nya selalu rutin diantar ke TPA (tempat pembuangan akhir).
Singkat kata, singkat cerita, dalam photo session sore ini, saya mengabadikan potret-potret sedih kota Manokwari yang alam dan keindahannya betul-betul dikotori oleh masyarakatnya sendiri. Jejeran sampah yang saya potret mulai dari jalan Makalo-Amban, Makalo - Sanggeng sampai dengan Pasar Wosi dan Pantai di Pasar wosi merupakan potret lingkungan yang kotor akibat ketidakpedulian kita terhadap nilai keindahan dan kesehatan lingkungan yang kita tinggali. Ya.... Lihat saja photo pertama ini yang merupakan potrets yang saya ambil di Sungai kecil yang melintas dari dalam SMP N 3 menuju Borobudur, bagaimana tumpukan sampah botoh, sampah rumah tangga dan sampah-sampah padat lainnya sudah mencemari sungai dan menutup arus aliran airnya.
Menariknya sebagian besar dari penduduk disekitar sungai ini masih menggantungkan kebutuhan air bersih untuk masak, mencuci dan mandi dari sumur-sumur bor/galian yang sudah bisa kita bayangkan kira-kira gimana kualitas airnya apabila aliran permukaannya sudah kotor seperti ini?
Saya pun melanjukan perjalanan saya menuju Pasar Sanggeng. Ya, yang saya sini salah satu lokasi yang selalu menjadi tempat buangan akhir, karena ada bak sampah disitu. Saya pun sejak akhir tahun 2014 selalu membuang sampai di tempat ini. Sebelumnya jujur saya pun buang sampah-nya di bak-bak umum bahkan pernah dengan sangat merasa berdosa harus membuangnya ke Jalan malam-malam. Ya, itu harus dilakukan dari pada sampah menumpuk dirumah makin membuat saya dan keluarga terganggu kesehatanya.
Sanggeng juga adalah pasar yang menjual sayuran segar, ikan dan kebutuhan pokok lainnya untuk penduduk kota manokwari. Bersama dengan pasar wosi, keberadaannya sangat memegang kendali utama perekonomian masyarakat lokal di Manokwari. Tetapi nampaknya pengaruh-nya secara ekonomi tersebut juga membuat tempat ini menjadi lumbung pembuangan sampah. Lihat saja gambar 2 dibawah ini, Tampilan selokan besar disamping pasar sanggeng yang harus-nya bersih karena saluran buangan air menuju laut, tetapi sekarang pemandangan kumuh dan kotor-nya sangat menggagu dan sangat mengganggu mud berbelanja sayuran segera yang dijual mama-mama di pasar sanggeng, Uniknya sepanjang saluran ini berjejer ratusan bangunan megah yang kalau dilihat saluran pembuangannya juga menuju ke selokan ini. Coba lihat gambar 3 dibawah.
Laut sudah pasti menjadi perhatian saya yang lain. Mulai dari penampakan pantai pasar Wosi sampai dampaknya ke Pantai Pasir Putih yang setiap minggu-nya menjadi pilihan utama masyarakat manokwari untuk berlibur, rekreasi, bercengkrama dengan keluaga melepas penat-nya kesibukan pekerjaan. Laut yang juga mensupply protein bagi kita pun ikut tercemar berbagai bentuk sampah yang dibuang. Lihat saja gambar 4 dan 5 dibawah. Gambar 4 adalah potret kotor pantai di pasar Wosi, sedangkan gambar 5 adalah potret pilu pantai pasir putih yang selalu menerima dampak dari kotor dan buruknya rasa empati terhadap lingkungan dengan membuang sampah disembarang tempat.

Kira-kira bagaimana Manokwari bisa keluar dari persoalan ini? Bagaiman agar tugu Adipura yang baru saja selesai pembangunannya didepan Kantor Kejaksaan Tinggi Manokwari - Polda Papua Barat itu bisa benar-benar layak berdiri sebagai wujud penghargaan terhadap upaya manokwari menjaga kebersihan kota-nya? Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap urusan sampah ini? Bagaimana warga juga bisa berkontribusi dalam menjaga kebersihan kota Manokwari? Apa saja sich kendala-kendala sehingga pengelolaan sampah tidak bagus-bagus juga? Mau sampai kapan sech persoalan-persoalan ini dibiarkan? Haruskah sampai ditemukan kasus besar dan masal akibat sampah baru kita sadar dan menyesalinya? Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini bersama dengan pertanyaan lain yang mungkin muncul dikepala2 kita adalah pertanyaan penting yang harus dijawab untuk membangun Manokwari menjadi kota sehat melengkapi gaung-nya sebagai Kota Injil,
Minggu, 20 Maret 2016
Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Adat Papua Barat Tuntut Penetapan PERDASUS PILKADA

Manokwari, 21 Maret 2016. Dari depan gerbang kampus Universitas Negeri Papua Manokwari lebih dari 30 Pemuda dan Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Adat Papua Barat berorasi menyampaikan aspirasinya agar draft PERDASUS tentang Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) Papua Barat segera ditetapkan. Orasi kemudian dilanjutkan dengan long march menuju Kantor DPR-PB. Tuntutan ini disampaikan kepada DPR Provinsi Papua Barat, MRP-PB, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Salah satu orator mempertanyakan dimana draft Naskah Akademis dan Rancangan PERDASUS-nya sebenarnya sudah siap dari tahun 2015? Kenapa masih di tahan-tahan di DPR-PB penetapannya? Padahal seyogya-nya Draft PERDASUS ini sudah harus ditetapkan sebelum proses pendaftaran calon Gubernur Provinsi Papua Barat di laksanakan.
Penetapan Rancangan PERDASUS ini dinilai krusial di suasana kerasnya politik saat ini sebagai wujud implementasi dari UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua pasal 29 yang menyebutkan bahwa hak pemimpin Tanah Papua adalah milik orang asli Papua. Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Adat Papua Barat dalam orasi-nya kembali menegaskan bahwa mereka siap memberikan dukungan kepada MRP-PB dan DPRPB dalam percepatan finalisasi sampai penetapan Rancangan PERDASUS ini apabila kendala yang terjadi adalah pada kendala teknis. Mereka juga mengawal para pemimpin politik untuk lebih dewasa menghormati Otonomi Khusus Papua sebagai kekhususan bagi Orang Asli Papua untuk memimpin diata tanah-nya.

Salah satu orator sedang menyampaikan orasi-nya didepan demonstran Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Adat Papua Barat. Photo: Yunus Yumte
Rabu, 16 Maret 2016
Mapping Customary Right; for Forests and Land management in Baliem Valley
Livelihood and landscape assessment conducted by IUCN, Samdhana and Partners in 2008 – 2010 identified the steps forward to dealing with the landscape degradation, community rights and economic development problems. Customary boundary mapping, customary community land uses and forests management plan and legal recognition of rights and its management scheme are the sets of activities been recommended and implementing until now. YBAW with their social expertise been working on social customary boundary mapping, while LSPK then continue it with in-depth social-land-forests data collection until institutional development. Both are backed up with the technical and legal supports from Forestry Department. As a pilot in Witawaya (1 customary group has mapped) a reforestation program been initiated to test the effective implementation of modified customary community groups institution in managing the land forests resources.
19 customary boundary maps produced. They cover 192,000 ha of forests, land and water body in Belliem Valley or about 65% of total districts areas. The maps had stimulated the discussion at government level to revise the administrative boundary that currently full of conflict. For forestry they helps to appropriately recognize the owner and keys stakeholder they will involving in the forestry program. LSPK with their works in 3 groups of 19 has produced a full sets of basic social-land uses and forests data bases. They have also helps these 3 community in establishing a modified customary institution for effectively manage their resources and socio-communal relation. The recently started reforestation program in Witawaya has plant 5000 seeds of casuarina and will be spread to each community member. A legal draft and academic script of customary right protection and recognition were developed and now ready for further discussion and improvement before it goes for final approval by the parliament.
Government particularly forestry department of Jayawijaya district believes that current collaboration among government, CSO/NGO in Baliem Valley and customary community groups are a great foundation and momentum to move forward with their legal plan on timber plantation. The new established FMU in Baliem will then found easy ways to develop a plan and partnership arrangement with the community. Timber scarcity will then easily to be solved with the customary community reforestation.
Understanding the right, culture, tradition of community and their interaction to natural resource is the best start to create low conflict, legal and sustainable approaches on natural resources management. Because illegal logging is beyond cutting the tree without legal permission. During the projects implementation in Baliem valley we learned that:
- Community are mostly needs suitable friends to escape from their social-economic and environment problem. With limited capacity and minimum access to any positive information that could inspire them, a friend they expected should able to fill the gaps they had. Having someone or organization that understand local context with enough capacity to works with community was the project main attention when started. But then we found that most of the partner are also need to develop their capacity to handle all the technical-social and environmental issues they will working with community. So building a training of trainer program are one keys recommendation we should take in the next steps of projects
- Government are mostly don’t brave enough to take a deeply action to solve the community problem but they do have an intent to do that and would provide a financial support when they see the impacts of the issues been pushing at community. So investing resources and human capacity in several pilot sites should be a priority to build field based evidence in which clarification of customary rights, legal recognition, complete land uses plan and strong customary institution will lead to the legal, benefit and sustainable management of natural resources – include timber
- Holistic livelihood and landscape development approaches should be applied to bridge the gaps between community and government in the Balliem valley. The ongoing partnership among government-CSO/NGO and community that the project has successfully built should be maintained to the further works. But it is necessary for them to seat and talk about a long term target they will achieve in Baliem Valley though this collaboration.
Selasa, 15 Maret 2016
Building Synergies to Develop Community Primary Forests Enterprise in Indonesia
- Papua is now having a problem
in the legal approval of their norms, standard, criteria and indication of
customary community based forests management. As addition the limited
capacity of the community in understanding the robust technical and business
requirement in the CFE and social problem to clarifying and social
consolidation among community have put the huge challenges for all forestry
actor in the island to make the schemes is working properly.
- Sumatera, Sulawesi, Papua and Kalimantan
with their social forestry program such as Village Forests, Community
Plantation Forests and Community Forestry are facing the problem in local
government commitment and supports from the preparation to the
implementation of the scheme. The conflicts of claim and interest on huge money driven development are
another issues they been fighting for. Technical capacity and social issues are
also emerged together with a markets for forests products they produce from
these legal social forestry program.
- Private forests management. The example from South Konawe in Sulawesi, Kulon Progo in Central Java and GMWT in Lampung have shown that bringing community into real business room is another challenges after a licenses. Institutional arrangement and strong capital to compete with current big business power. They emphasized that working on timber/ forestry business is beyond having a sustainable certificate. Many ghost riders across the long chain of timbers transport and supply are influencing the amount of benefits they received
Rabu, 02 Maret 2016
Building Papua Partners Ability to Writes down Their Knowledge
As part of Samdhana Institute Papua Program concern in developing partners capacity to documenting their lesson learn, process and results in a form of any related publication the writing workshop is organized. This 2016 workshop is focusing on helping 14 partners whose activities in 2014 - 2015 were funded by the Samdhana institute to writes down their knowledge and ideas includes lesson learn that they felt important to share to the targeted audiences. 17 peoples are involved and be facilitate by Fajar and Ridzky from Mongabay, Jalu from gerakan desa membangun and Martua from Samdhana.
The workshop will be conducted in 4 days, stated Marc 2nd until 5th. 3 main outputs are putting as the targeted are (1) each partner paper/publication material, (2) common recommendation on how to optimizing the information technology communication in the works of networking and (3) having a draft of policy brief in related to customary rights, land uses and forestry development in Papua. Grand Abe Hotel in Jayapura is selected as the venue to host this workshop. Combination between those whose part of the project designer, implementer with young new capacity are enriching the workhsops.
In 2014 and 2015 Samdhana institute had funded 14 institution in both Papua and West Papua Provinces on working on the issues of customary rights recognition, community organizing, community based forests management and consolidation among CSO/NGO. They are spread from Sorong and Tambrauw in the bird head of Papua, Wamena in the highland, Biak with the island landscape until Merauke in the south with swamp and low land landscape.
Samdhana is expects that each participant could taking home the ability in developing the papers and knowledge in public media communication so the could then start to develop they on portal on sharing information from their works. Some of them who has developed their website could then found a national networking to connects the message they could convey about Papua and its complexity of issues, problems and also any success story from the community that inspiring to be shared.