My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Rabu, 20 Januari 2010

Masohi dan Minyak Lawang di Kensi, Antara Semangat dan Pilihan Ekonomi Yang Belum Tepat

Dengan berjalan kaki sekitar 1,5 jam dari titik Kampung Kensi mendaki 2 bukit dengan jalan yang lumayan terjal kita akhirnya sampai juga di lokasi dimana Abang Hengky Yafata menenjukan dimana lokasi pohon Kayu Lawang dan Pohon Masohi berada. Kedua produk HHBK ini oleh masyarakat Kensi disebutkan sebagai sumber pendapatan cash mereka. "Masohi kita hanya jual kulit di kota dan kadang ada pembeli yang datang ke Sarara (ibu kota Kecamatan Arguni Atas) untuk membeli barang ini" Kata Hengky menjelaskan kembali kulit kayu Masohi ini. Ditambahkannya "Sedangkan Kayu Lawang, pohonnya kita tebang, kemudian ambil kulit kayu-nya dan di saring secara tradisional menggunakan belanga cina". Dengan perjalanan yang cukup melelahkan dan hanya mendapatkan satu pohon dengan jarak yang jauh, saya pun bertanya "apakah betul Masohi yang tumbuh secara liar di Alam Hutan Kampung Kensi ini bisa menjadi pilihan ekonomis produk hutan yang tepat saat ini? Ataukah ini hanya pilihan terpaksa yang harus dilakukan karena kebutuhan akan uang.



Abang Hengky Yafata adalah sosok penting yang sangat dihormati di kampung Kensi, terutama karena gaya dan kemampuan berkomunikasi kensi dengan orang luar yang cukup baik. Hengky tipikal yang mudah bergaul dan cukup mengenal bagaimana peta jejaring penjualan HHBK di Kota Kaimana, karena dia adalah salah satu masyarakat kenci yang memiliki intensitas ke kota yang cukup tinggi. "Tantangan terbesar kita di Kensi ini adalah pemasaran produk, karena kampung ini jaraknya sangat jauh. Saya ini salah satu yang paling aktif dulu menjual masohi dan minyak lawang tetapi sekarang berkurang. Masalah yang masih tetap muncul adalah rendahnya harga beli dan tidak banyak penadah di kota" Hengky menjelaskan bagaimana intensitas dia mengunjungi kota sebelumnya untuk berjualan kulit Masohi bersama dengan persoalan yang dihadapi.  "Di kota harga jual produk ini antara 40-50rb/kg sedangkan biaya yang harus kita keluarkan kalau dihitung-hitung lebih besar dari pemasukan" tambah Hengky menjelaskan persoalan kenapa masohi dan kulit lawang tidak dikelola lagi.

Assesment yang dilakukan tim Livelihood and Landscape Strategy Kaimana dibawah asistensi Andrew Ingles dari IUCN menemukan info sebaga berikut: "Pasar: Selama ini masyarakat kensi memasarkan atau menjual hasil kulit masohi ke pedagang-pedagang besar di kota seperti CV. Senja Indah, Marsuki, CV. Surya Pasifik dan CV. Anggrek, CV. Anugrah, dan CV. Sejahtera.  Haga Jual: Harga yang berlaku terhadap hasil masohi milik masyarakat sangat bervariasi dari harga yang ditetapkan disetiap pembeli. Hal  bergantung pada kualitas masohi yang dijual oleh masyarakat. Dan harga yang berlaku ini ditentukan oleh pembeli. (Harga pembelian tertinggi Rp. 50,000,-/kg). Biaya: Biaya yang dikeluarkan untuk pemanfaatan hasil masohi adalah pada biaya logistic dan transportasi. Biaya logistic dikeluarkan selama kegiatan pencarian, pemanenan sampai pengeringan. Sedangkan biaya trasportasi umumnya dikeluarkan untuk pengakutan hasil masohi kering untuk dijual ke kota. Rata-rata biaya yang dikeluarkan adalah (Rp. 1juta - Rp 1.2jt per trip)

Jarak tempuh yang jauh, kemampuan produksi local yang terbatas dan stock yang terbatas di alam adalah catatan penting bagaimana pilihan untuk mendorong pengelolaan HHBK dengan produk Masohi dan Minyak Lawang di Kampung Kensi saat ini belum tepat. Perlakuan tambahan dengan pengembangan hutan tanaman rakyat untuk dua jenis HHBK ini adalah langkah yang harus diambil untuk mendukung masyarakat mewujudkan semangat dan harapannya pada kedua produk HHBK ini serta mendapatkan manfaat yang optimal darinya. Bang Hengky diakhir perjalanan bersama kami menyampaikan bahwa "tolong dibantu bagaiman agar produk-produk masyarakat dari Kensi bisa mendapatkan pasar yang bagus, kita punya tanah adat luas dan masih bisa mencari lebih banyak lagi" harapan yang tetap masih melihat stock dialam yang sebenarnya terbatas menjadi tumpuan gerakan ekonominya.


Video Cara Pemanenan Kulit Masohi Oleh Masyarakat Kensi