My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Kamis, 17 Desember 2015

Opini: Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Konservasi Yang Konsisten di Provinsi Papua Barat

Bersamaan dengan perayaan ulang tahun ke 16, Pemerintah Provinsi Papua Barat medeklarasikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi pertama di Indonesia, 19 Oktober 2015 Lalu. Provinsi Konservasi merupakan inisiatif Gubernur Papua Barat, Abraham O. Atururi yang dimaksudkan untuk melindungi dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai modal dasar pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Papua Barat. Pencanangan Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi ini merupakan yang pertama di Indonesia bahkan di dunia (www.wwf.or.id). Secara politis ini menjadi momentum penting provinsi Papua Barat bersama dengan semua pihak untuk mengimplementasikan pembangunan dalam rangka pertumbuhan ekonomi-pembangunan yang positif dengan dampak kerusakan lingkungan yang minim. 





Bagi beberapa pihak, kebijakan ini dinilai kontraproduksi dengan kebijakan, rencana, program dan arah pembangunan ruang yang sudah dibangun pemeritah Provinsi Papua Barat dimana paket rencana, program dan kebijakan tersebut cenderung menempatkan ekstraksi sumber daya alam sebagai pilar utama pertumbuhan pembangunan. Tata Ruang (RTRWP Papua Barat 2014 - 2034) misalnya menempatkan 2.5 juta ha dari 9 juta ha hutan di Papua Barat sebagai areal yang dapat dikonversi untuk peruntukan non kehutanan. Dimana sekitar 100 - 300 ribu ha diantaranya diusulkan untuk diturunkan dari fungsi konservasi di Provinsi Papua Barat untuk menjadi peruntukan lain dan kawasan fungsi konversi. Kawasan konservasi di Papua Barat sendiri berdasarkan tata ruang, tercatat sekitar 2 jutaan ha yang mencakup lebih dari 25 kawasan dengan fungsi konservasi (Taman Nasional, SM, CA, TWA). Keseluruhan kawasan konservasi ini sendiri belum dikelola dengan baik untuk memunculkan nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat dan daerah, bahkan cenderung memposisikan masyarakat pada korban hukum sebagai akibat penegakan terhadap pelanggaran hukum kehutanan. Overlap batas ijin dan alokasi peruntukan kawasan hutan dan lahan untuk kebutuhan investasi sektor kehutanan dan lahan memberikan informasi bagaimana tata kelola hutan dan lahan di Papua Barat masih jauh dari layak. Sebagaimana SRAP REDD+ Papua Barat yang menunjukan bahwa dari keseluruhan akumulasi luas konsesi sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan terhitung total sekitar 14jt ha luas keseluruhan konsesi terebut. Yang berarti dengan luasan provinsi Papua Barat yang menurut tata ruang adalah 10 juta ha maka terdapat 4jt ha kelebihan dan saling overlap satu dengan lain. Dengan perhitungan ini, mungkikah valid untuk mengatakan provinsi Papua Barat secara hukum sudah dimiliki oleh mereka yang memegang konsesi tersebut?



Kebijakan konservasi juga ditantang dengan fakta bahwa 70% PDRB (Papua Barat Dalam Angka 2013) adalah kontribusi sektor ekstraksi sumber daya alam seperti Pertanian, Pertambangan & Penggalian serta Industri Pengolahan (MIGAS). Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi hijau dengan optimalisasi potensi jasa lingkungan belum kelihatan arahnya, industry jasa perhotelan, transportasi yang masih bisa diasumsikan merupakan kontribusi dari sektor jasa pariwisata kontribusinya belum mencapai 5% dari PDRB. Pertumbuhan ekonomi sendiri dalam kurun waktu 10 - 20 Tahun kedepan diprediksi masih tetap mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan bakarnya, sebagai contoh pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit sendiri mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir, tercatat 6 konsesi perkebunan baru mendapatkan IPK dengan luas mencapai 259ribu ha, sekarang sekitar 150 ribu ha lagi menunggu persetujuan substansi untuk pelepasan kawasan hutan. 


Secara ekologi, kebijakan pembangunan ruang cenderung kontra produktif dan mengabaikan prinsip-prinsip ekologis dan pengamanan kawasan ekologi khusus dan rentan. Penetapan definisi dan delinease serta kebijakan proteksi kawasan-kawasan ini belum kelihatan strategi, aksi dan implementasinya. Bahkan kawasan-kawasan ekologi rentan seperti hutan sagu di Sorong Selatan yang merupakan sumber pangan masyarakat, sistem penyangga DAS dan tata air di sepanjang Kais - Kokoda serta kawasan penyimpanan karbon tertinggi karena kandungan gambut yang besar sekarang sudah di alokasikan untuk investasi industri extractive. Pegunungan carts di Manokwari yang diatasnya hidup beberapa satwa endemik Manokwari sendiri sekarang telah dikorbankan menjadi pabrik semen. 



Pemikiran dan analisis kritis dan logis tentu harus diberikan kepada pemerintah untuk mewujudkan komitmen pembangunan berwawasan konservasi tidak hanya ada ranah kepentingan dan gaung politik untuk menarik simpati publik. Tetapi betul-betul sebuah pewujudan dari mimpi dan semangat yang tulus untuk mencipatkan pembangunan berkelanjutan dengan mengutamakan nilai manfaat sosial dan ekologi bagi daerah, masyarakat adat Papua dan semua pihak. Lantas, hal-hal apa saja yang harus dibangun untuk mewujudkan provinsi konservasi yang konsisten? 

Membangun analisis/kajian sebagai dasar penyusunan kebijakan, rencana dan program harus mampu untuk menunjukan tujuan, target dan dampak perubahan positif dari kondisi saat ini pembangunan ruang di Papua Barat. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipastikan sebagaimana pemikiran-pemikiran berikut:

Tata Kelola Hutan dan Lahan 

Membangun tata kelola ruang yang bermartabat dan bermanfaat adalah proses awal yang harus dibangun daerah. Semrautnya pengaturan ruang yang bisa dilihat dari bagaimana overlap luas perijinan, kepastian penegakan hukum kawasan hutan, pembangunan investasi tanpa kepatuhan pada protokol perijinan sampai dengan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat merupakan sebagian dari keseluruhan carut-marut tata kelola hutan dan lahan yang harus dibereskan pemerintah sebelum implementasi kebijakan provinsi konservasi. Sorotan pada konsistensi pengamanan dan kepastian ruang pembangunan adalah batasan mutlak yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah. 

Pertanyaan-pertanaan teknis tentang berapa luas hutan yang harus dipertahankan tutupan, fungsi dan manfaatnya? Kawasan Ekologi rentan yang harus diproteksi? Ruang-ruang kelola rakyat yang harus dipastikan sampai dengan areal yang diperuntukan untuk investasi hijau pihak ketiga adalah bagian penting yang harus juga bisa dijawab oleh kebijakan konservasi.

Pertumbuhan Ekonomi 

Melihat data dan fakta bahwa sumber utama pendapatan asli daerah saat ini adalah dari sektor extraksi sumber daya alam dan 100% pemegang konsesi adalah pemodal besar non Papua, harusnya dipandang secara negative dari sudut padang pembangunan ekonomi hijau dan kegagalan pemerintah mempersiapan Manusia Papua untuk berdaya saing dan berdaulan secara ekonomi. Mengidentifikasi, mendesain sampai mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi hijau dan pro masyarakat adat harus bisa diwujudkan. Arah pembangunan ruang, target-target pertumbuhan ekonomi ekologis harus mampu ditampilkan secepatnya untuk kemudian secara bertahap merubah haluan pembangunan daerah ke ranah pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Menetapkan target-target pertumbuhan ekonomi hijau per periode waktu tertentu yang terukur harus bisa ditampilkan pemerintah daerah.

Nilai Manfaat Sosial

Foker LSM (2009) mencatat bahwa konflik sosial politik di Papua berkorelasi positif dengan pertumbuhan investasi sektor ekstraksi SDA. Nilai manfaat sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat adat yang secara de facto memiliki hak atas sumber daya alam di Papua sangat minim dibandingkan dengan dampak negative yang ditimbulkan. Pembangunan sumber daya manusia juga tidak berjalan optimal di wilayah-wilayah yang menjadi sentra ekstraksi sumber daya alam. Sehingga memikirkan dan membangun kebijakan pembangunan ruang yang menempatkan nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sebagai satu indikator capaian utama adalah penting dilakukan pemerintah. Menghadirkan kebijakan, institusi, instrument dan program yang secara khusus menjawab kebutuhan ini adalah langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan berwawasan konservasi.

Dari 10 Kabupaten dan 1 Kota di Provinsi Papua Barat, terdapat 1,472 kampung yang 80%nya berada dalam kawasan hutan. Serta 90% sumber penghidupan masyarakatnya bergantung pada pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan yang mereka miliki. Sehinga merumuskan kebijakan yang menghormati hak masyarakat adat, menjamin ruang hidup dan menjamin manfaat perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah.

Prinsip-prinsip Konservasi 

Konservasi yang benar adalah konservasi yang memegang 3 prinsip utama, yaitu: (1) perlindungan, (2) penganekaragaman dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Ketiga prinsip ini adalah gambaran dari sebuah pemikiran logis konservasi sosial ekonomi dimana pengamanan sumber daya alam tetap harus bisa mempertimbangkan kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di daerah. Menterjemahkan paket program dan aksi implementasi kebijakan konservasi dalam 3 prinsip ini secara seimbang harus dilakukan oleh pemerintah. 

Paradigma dan Budaya Kerja 

Anthony A. Leiserowitz, et All (2006) dalam tulisanya "SUSTAINABILITY VALUES, ATTITUDES, AND BEHAVIORS: A Review of Multinational and Global Trends" memberikan penekanan bahwa pembangunan ekonomi berkelanjutan selalu bisa ditunjukan melalui sikap dan perilaku manusia yang mengerjakannya. Beberapa survey yang dirangkum oleh Anthon, at all menunjukan bahwa perilaku manusia dan budaya kerja mereka selalu dipengruhi oleh cara pandang nilai intrinsik dari alam, pemahaman tentang konsen lingkungan secara global, pengetahun tentang masalah/gap antara perlindungan lingkungan dengan pertubuhan ekonomi, arah kebijakan pemerintah dan perilaku disetiap rumah tangga. Sehingga mainstreaming konservasi sebagai kebutuhan dan pilar pembangunan perlu dilakukan secara kontinyu didaerah untuk memastikan pemahaman menyeluruh, adopsi nilai dan prinsip konservasi yang terukur dalam setiap capaian program Pembangunan di daerah. Budaya kerja dan semangat kerja pastinya adalah faktor lain yang mempengaruhi produktifitas implementasi pekerjaan di setiap unit kerja pemerintah. Gerakan Ayo Kerja yang dicanangkan pemerintah harus dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas manfaat pekerjaan yang dikerjakan dari semua pihak dipemerintahan dan juga dibagikan kepada semua masyarakat. Pendikan dan penyadaran publik dalam merubah paradigma melihat nilai penting alam dan lingkungannya menjadi rangkai proses yang terus dibangun, Karena keberlanjutan adalah mengenai merubah sikap dan perilaku individu.

Kemitraan Kerja 

Membangun iklim partisipasi yang sehat adalah proses awal menuju pertumbuhan pembangunan yang baik. Ptorkol, instrument dan jaminan kerja kemitraan antara semua pihak harus bisa diwujudkan untuk menjawab realisasi pembangunan konservasi yang diharapkan dan konsisten. Konsep-konsep kemitraan pemerintah - masyarakat - swasta dan lembaga non profit (LSM) harus bisa didiskusikan dan disepakati untuk dilaksanakan. Kontribusi mitra pemerintah sangat signifikan untuk membantu pemerintah melengkapi bagian-bagian yang belum mampu dilaksanakan pemerintah secara optimal. Kemitraan yang efektif juga merupakan bagian awal dari komitmen pemerintah untuk ikut memberikan kesempatan kepada publik untuk ikut memonitor dan mengontrol pelaksanakan kebijakan ruang yang disusun pemerintah.  


Pemerintah Provinsi Papua Barat betul-betul ditantang untuk mewujudkan komitmen politik yang sudah disampaikan menjadi program yang jelas, menyeluruh, terbuka berdasarkan asas manfaat dan bisa opersional sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan bukan untuk kepenting tertentu lainnya. Proses perlu terus dibangun untuk kemudian keluar dari kritik besar yang terus booming di Media social seperti facebook yang menyebutkan bahwa kebijakan provinsi Konservasi di Papua Barat ada diantara komitmen politik yang tidak realistis karena dan kajian akademis yang tidak komprehensif.

Selasa, 15 Desember 2015

COP 21: Tambrauw and Jayapura Districts Shared the Important of IPs Rights Protection and Recognition in Sustainable Land Uses and Forests Management at the District Level.


In Le Bourget – Paris started from 31 November – 11 December more the 196 countries leader and negotiator were in robust discussion to meet the global agreement to saving the planet by the mitigation and adaptation action to reduce the impact of climate change. The historical agreement has been achieved and agreed on the closing of the COP 21 with huge ambitious target in preventing the 20 C increasing of global temperature by 2100 in which all country must able to show their national determined contribution include the action to reduce emission from deforestation and degradation in forested country.

Considering the crucial position of Papua – Indonesia in the global climate change works the message to global audience about how important are Papua were conveyed at COP 21 in Paris. Together with it Brother, Papua New Guinea the island stored the last remaining tropical forests in Asia – Pacific and has been pointed as the world biodiversity hotspot. Current status of Papua forests are 41 million ha. The attended of the Papua delegation were also to share how forests and Indigenous People are in one bloodline that in strong relation each other. Two delegations From Jayapura and Tambrauw Districts Government represented by the honorable Bupati Jayapura Mr. Matius Awoitauw accompanied by Mr. Peter Kamarea and the honorable head of Tambrauw Parliament Mr. Gabriel Titit with accompanied by the district adviser on Natural Resources Management – Mr. Sepus Fatem were got chance to learn from International Climate Change meeting in Paris and shared their experienced of works at sub national level in related to sustainable development initiative and conservation district based on IPs rights.

On the IPs Pavilion event December 5th, Bupati Jayapura talked about why the local government in Papua needs to looks at the strength that community has to enhance the sustainable development objective. Presenting all the action, achievement and plan they have in districts development based on IPs right he says that “it’s the time for community to reviving the values and governance that living with them for centuries”. Packaging all the activities using legal umbrella are the wise-safe and strategic ways that the government been doing to make sure that the national development objectives and intent are also inline with the spirit in right based development approaches.  In the same event the General Secretary of Papua Customary Assembly (DAP) pointed out that the Papuan IPs advocacy flow are now also need to be gradually shifted from ideological struggling to self- cultural and resources dignity in which taking part actively in the official developments to derive multiple benefit from it. He appreciates all Bupatis with the vision and action to recognize, protects and enable Papuan IPs to be strengthening and participating fully in development.

Jayapura District is one of the oldest district in Papua Island of Indonesia. It covers the areas that in total about 1,2 million ha with 96% are forests reserves. As the entry doors of Papua (red: as capital of Papua Province), massive changes has happening in the sites; population growth, land uses and forests development target, decreasing local cultural values and conflict benefits to Papuan are some challenging issues the government is facing. Acknowledging the absolute right of IPs, reminded that the customary values are in threaten by the new coming value and acknowledging their contribution on district development, the Government then in 2013 legalized District Regulation (PERDA) about customary villages. The regulation is the umbrella for all legal, strategic and technical program in the region to run customary based administrative governance at village level, include forests and land management.

In separated session the Tambrauw Parliament chief said that “development in Papua should able to appropriately address the problem at customary community as they are the high right holder of the areas where the development is been implementing” some of the development are delayed of the slow of right compensation problems. “The Tambrauw Government has starting to draft the regulation about IPs Rights Protection and Recognition and it is expected to be legalized by middle of next year (red: 2016)” he added.
Same as Jayapura, Tambrauw is the district that has an advance effort to push the IPs rights issues. But Tambrauw is the new district separated in 2009 from Sorong and Manokwari in West Papua Provinces. 1.1 milion ha with 98% of forests cover dominated by conservation and protection function (Red: based on Indonesia Forests Designation category). Tambrauw is one of the less-touched place for natural resources research, most of the recently research are conducting in the marine and coastal zone where the nested birth buffer of leather back sea turtles. Since 2013 the Government announced its political commitment as Conservation District in which minimizing the natural resources extraction while optimizing the green economic values for the district income such as water for electricity. The government acknowledged that in place like Papua, putting conservation as development compass are heavily challenging particularly from economic perspective so appropriately design the spatial projection that shows benefits from economic, ecology and social are crucial and at the same time should able to answer the poverty and human development target.

Both Tambrauw and Jayapura with their commitment and actions they been taking are crucial for Papua to build evidence based could be built to provide a Jurisdiction learning sites for other Papua decision makers. The learning cases where sustainable development would be possibly achieved by putting the rights of Papua rights in legal position, securing their rights and participation in development and assisting them to become the main development actors.

Selasa, 08 Desember 2015

Aka Wuon Mapped 3 Clans Boundary in Tambrauw


AKA WUON Field facilitator in a discussion with elders in Fef - Photo: Ruben Yogi 
Fef Sub-District of Tambrauw, the candidate of district capital. Photo: Ruben Yogi

The government of Tambrauw Districk-West Papua Province in collaboration with customary community groups have gradually facilitating clans discussion in each sub-district to talks about an efforts to reduce conflict of land right claim that emerged in line with the development expansion. The 1st discussion was held in Fef sub-district engaged 13 clans from Abun and Miyah tribes - about 70% of the district administration region are in these two tribes. Social information, agreement on mapping and a customary boundary sketch were produced at the end of the meeting.

As followed up AKA WUON (NGO based in Sorong) moved with the community to wrapping up social data and information and facilitated technical mapping to digitized the boundary of the 13 clans. In 5 month started July until November 2015 AKA WUON has helped 3 clans; Baa Sakof, Baru Rufubun and Tafii to technically maps and digitized their boundary into a digital maps. These 3 clans area cover about 3500 ha of Fef district. The mapping was facilitated in neutral approaches in which AKA WUON was tried to avoid the personal/political and other groups interests in process because they understand that rights over land and resources are an sensitive issues in now days as an implication of the new economic mainstream in the community mind.

AKA WUON acknowledged that there are long remaining steps the community should take to makes the maps are living and working on conflict resolution and land uses regulation in current development pressure. As an NGO with most of the crew are originally from tribes in Tambrauw, they listed strengthening the structure of customary institution, facilitate common consensus and agreement until legal protection and government as sets of next step they should work with the community. Its just the beginning, because for maps there are 10 clans in the sub-districts that not yet mapped digitally. While for all Tambrauw there are more than 100 clans from 5 main tribes are also expected to have a maps like what 3 clans in Fef have.

Senin, 30 November 2015

Mengenal Kerangka Pikir Pemetaan Indikatif Batas Wilayah Adat di Papua


Diawali dengan komitmen pembagian peran dan tanggung jawab para pihak yang tergabung dalam mitra pembangunan mendukung upaya pemerintah daerah Kabupaten Tambrauw untuk membangun kerangka hukum dan kebijakan terkait pembangunan konservasi berbasis masyarakat di wilayahnya kegiatan pemetaan muncul sebagai alat untuk membantu pemerintah dan mitra memahami peta penguasaan dan pemilikan wilayah adat. Kebutuhan yang muncul adalah bagaimana secara cepat mendapatkan data dan informasi spasial dan sosial tentang hak masyarakat adat di Tambrauw. Dimana data ini juga menyajikan secara cepat fakta-fakta antropologis tentang hubungan antara masyarakat dengan sumber daya alamnya yang diatur dalam tata nilai dan aturan adat yang kuat. Permintaan ini kemudian menjadi bahan diskusi panjang untuk merumuskan pilihan pendekatan pemetaan yang bisa diambil. "Pemetaan Indikatif Wilayah Adat" kemudian muncul sebagai usulan kerangka tersebut. Pendekatan ini dipilih agar secara cepat kita bisa mendapatkan informasi antropologis, sosial dan spatial tentang hak masyarakat adat dalam suku-suku di Kabupaten Tambrauw dan bagaimana hubungannya. Didalamnya juga tergambarkan informasi tentang zonasi wilayah adat dan pola-pola pemanfaatan sumberdaya alam yang selama ini diterapkan oleh masyarakat adat didalam wilayah adatnya. 

Pemetaan Indikative bukanlah hasil final dari pemetaan partisipatif untuk mengetahui detail kepemilikan sehingga tidak bisa digunakan untuk tujuan-tujuan resolusi konflik batas atau tujuan lain yang membutuhkan informasi detail. Hasil dari pemetaan ini hanya akan menyediakan data dasar untuk membantu pemerintah daerah dan para praktisi pemetaan untuk selanjutnya mendorong dan memfasilitasi pemetaan detail yang lebih partisipatif dan padat diskusi sosial. 

Beranjak dari perhatian bahwa, pilihan metode ini akan memunculkan banyak pertanyaan terutama di level praktisi dan pemerhati pemetaan sehingga tulisan tentang kerangka pikir dari metode dan pendekatan pemetaan indikatif ini disajikan. Tulisan ini menyajikan secara ringkat hal-hal menyangkut definisi, prinsip dan tata cara dari pemetaan indikatif. Tentu kami berharap referensi ini bisa menjadi bahan diskusi dan pengembangan lebih jauh dari metode pemetaan wilayah adat cepat untuk merekam informasi, social antropologis dan spasial dari hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya. Hasil dari pemetaan indikatif ini sendiri bisa digunakan sebagai lampiran dari produk legal daerah yang ingin didorong sebagai payung hukum dari pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di daerah. Silahkan download detail tulisanya di link berikut: https://drive.google.com/file/d/0BygScToA2HKFeDFoYmdtaVV3dEk/view?usp=sharing 


Flow dari pemetaan Indikatif di Tambrauw

Jumat, 06 November 2015

"Noken" of Moi People - Sorong

This short article was translated from original notes by Agustinus Kalalu when we asked him to find a Noken for Papua Itu Kita event in Jakarta. Interesting to see how rich are Papua cultures and local knowledge living with community and has keep them survive until today. Yes, Noken or in Indonesia we can say "Tas Tangan" is a traditional hand bag made from woods, bark, leaf or fine. Moi people as part of Indigenous Papuan tribe has recognize this for long time and some woman are still manage this art of handy craft for their domestic needs.

"Kuwok" is the words Moi People is saying to "noken/hand bag". Raw material for 'noken' are collected from the bush around the villages such as 'Banto' or grass, 5 kinds of tree barks, bamboo, rattan and palm leaf. The size of Noken is made based on its function. Big noken or Moi People call it "Kuwok Sai", is using to keeps Sago powder/starch, big volume of vegetables and bush meat. While the 'Kuwok Plagi" is the words for small bag/noken and its mostly used for keep and carry small material such as tradition cigarattes, fire, foods, traditional medicine and include money. Mostly noken has its original color follow the materials but some Noken also got painted using traditional color material the community it gathered from the wild. The colorful noken in Moi Poeple is called "Kuwok Gele". 


In the current development and modern live pressures to the customary values, traditional knowledges and consumption live styles the efforts that this woman doing are the evidence of how they are trying to maintain the tradition. Agus added that “noken” is an indicator to measure how close are one community with their environment, land and resources that they are claiming. This also a sources of verification to see how women in Moi Tribe interaction and dependency to nature are still high. So he said that action to save the forests are crucial to also save the tradition, value and knowledges and maintain the woman contribution in managing forests resources.  

Senin, 26 Oktober 2015

Celebrating The Customary Reviving Day, Jayapura District Held Cultural Festival

Jayapura, October 25 – 2015. As a part of district commitment to reviving the customary governance, protecting it cultures and tradition and conserving the language the 2nd anniversary was Held in Tablanusu village of Depapre sub-district of Jayapura. Taking a names of “Festifal Bahari Tanah Merah” more than 20 dancers which some of them came from the neighbor country Papua New Guinea coloring and accomplishing the event. Men-woman, child and adults are in harmony performing a good combination of singing and dancing following the nice tradition music and song been performing.
On his opening speech Mathius Awoitauw – the head of Jayapura District said that “this is the commitment of the Government and all Jayapura people to shows that the cultures, tradition and all indigenous values are still alive in Jayapura. And they should become core part in achieving the development targets that the government has putted”. He then added that “This will be an annual event that the Government will conducts”. Attended the festival some keys representative from Provincial government such as the secretary of Papua Provinces and the head Planning Agency.

Besides the crowded and louds of music and dancing of different customary community performance, the Tablanusu village with it small rocks sand provides another interesting scene that people enjoyed. Most of the visitor were recommended to walk with barefoot to fells the natural therapy by the rocky sand. There is one of interesting fact that I learned was the local people said they can recognize a new coming people by the ways how the walks and sounds from the rocks because of foot. It is as what I saw that most people are walked without shoes or sandal. The beaches is also beautiful and clears, several corals spots in just short distance from the beach has also attack people to come and enjoy this beach.
  
On the other parts the 9 customary groups parliament in Jayapura were also shows the information about their groups structure, areas and products for sell. The boots of government institutions and local communities were also presenting more riches information about Jayapura, cultures and development products and some are also selling foods and goods form the visitors. At this event Bupati (head of the District) were also officially announced the establishment of 4 Customary Village (KAMPUNG ADAT) as the implementation of Jayapura District Regulation No 8 of 2013 About Village. Customary village means the customary governance and Indigenous Leader systems are the main poles in the village official development.





Minggu, 18 Oktober 2015

Opini: Paket Kebijakan Ekonomi dan Upaya Indonesia Mengurangi Emisi GRK

Melihat bagaimana Paket Kebijakan Ekonomi Indonesia dan Impactnya terhadap Pemantapan Tata Kelola Hutan serta Usaha Untuk Indonesia untuk menurunkan Emisi dari sector lahan dan Kehutanan?

Analisis untuk bahan diskusi lanjutan


Presiden Joko Widodo/Jokowi. FOTO: MI/PANCA SYURKANI - metronews/ 09092015
Dinamika ekonomi global terutama fluktuasi perdagangan international yang berimplikasi pada fluktuasi nilai tukar mata uang dolar terhadap rupiah secara langsung telah juga memberikan goncangan kritis terhadap stabilisasi pasar barang dan jasa serta penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan melambatnya perekonomian dalam negeri. Merespon kondisi tersebut pemerintan pun segera mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang dianggap ampuh untuk menjawab kepercayaan global market terhadap Indonesia dan mempercepat pembangunan investasi di Indonesia. Dimana kesemuannya diharapkan berjalan optimal untuk menjaga kestabilan ekonomi negara dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.

Paket kebijakan Ekonomi Tahap 3 yang dikeluarkan tanggal 5 oktober 2015, misalnya mengarahkan prioritas kebijakan pemerintah pada pemangkasan perijinan. Sektor kehutanan[1] dan lahan adalah beberapa sector-sector yang dinilai proses perijinannya terlalu panjang dan perlu dipangkas untuk mempercepat pembangunan investasi di sector ini “Pemerintah memangkas 14 perizinan menjadi enam perizinan, termasuk membersihkan 9 peraturan menteri sebelumnya”.

Dalam kerangka upaya Indonesia untuk mengimplementasikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dari sector kehutanan dan lahan, paket kebijakan ekonomi ini dinilai akan menjadi boomerang dan dianggap kontrak produktif karena kemungkinan akan memacu perluasan pembukaan lahan dan hutan untuk menjawab kebutuhan investasi. Seiring dengan prioritas pembangunan yang didorong pada optimalisasi lahan dan orang untuk mendorong optimalisasi pembangunan pertanian menjadi salah satu indicator terhadap bagaimana kebijakan ekonomi yang berorientasi pada percepatan perijinan sector SDA akan menjadi salah satu pendorong percepatan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di Indonesia.

Fakta-fakta dan kasus meningkatkan pelepasan kawasan hutan di beberapa sentra hutan primer di Indonesia seperti Kalimantan dan Papua[2] yang saat ini juga di kepung oleh asap akibat kebakaran hutan untuk tujuan-tujuan expansi perkebunan[3] atau pemukiman tersebut mendorong kita untuk secara kritis melihat bagaimana implikasi paket ekonomi Pemerintah Indonesia terhadap komitmentnya mengurangi emisi GRK dari sector kehutanan dan Lahan? Perhatian dan keseriusan pemerintah Indonesia untuk menekan upaya-upaya penyelamatan bumi dari dampak perubahan iklim melalui kepastian kebijakan mempertahankan hutan sangat diragukan melihat trend yang ada. Kebijakan ini dinilai hadir disaat yang belum tepat untuk sector SDA karena saat ini negara sedang belum tuntas menyelesaikan persoalan-persoalan perijinan serta tata kelola sector pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Persoalan-persoalan krusial di tingkat dasar sperti urusan kepemilikan sumber daya, posisi dan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alamnya, kerangka penyelesaian sengketa sampai dengan kepastian hukum hak-hak komunitas adat belum juga matang disiapkan atau diimplikasikan di wilayah-wilayah dengan sentra SDA yang kaya seperti Papua, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Kebijakan yang kontrakproduktif ini perlu disikapi semua pihak dengan baik untuk menjamin bahwa kebijakan pembangunan ekonomi dari sector SDA secara umum dan kehutanan dan lahan secara khusus tidak memperparah dinamika persoalan pengelolaan hutan di Indonesia. Dan secara bersama merumuskan kegiatan untuk mengawal atau mengontrol implementasi paket kebijakan ekonomi yang baru ini dikeluarkan ini.

Kamis, 10 September 2015

Pansus Review Perijinan Sawit di Kabupaten Sorong Terbentuk

Beberapa kejadian ketidakadilan yang terjadi di tingkat masyarakat adat Moi sebagai akibat dari ekspansi perkembunan sawit yang dibangun tanpa prinsip-prinsi FPIC yang telah mendorong masyarakat untuk melakukan protes ketidakadilan ini kepada DPRD Kabupaten Sorong. Komunitas yang didominasi oleh kelompok 5 Marga di Kampung Kalaili bertemu dengan pimpinan dan perwakilan DPRD Kabupaten Sorong di Kantor DPRD Sorong untuk menyampaikan keluhan dan aspirasi mereka agar pemerintah melakukan review dan penindakan terhadap perusahaan-perusahan yang melanggar perjanjian dan cenderung mengabaik hak-hak adat masyarakat di Tanah Moi.

DPRD menyambut dengan positive keluhan dan aspirasi masyarakat ini dan berjanji segera membentuk pansus untuk melakukan review kembali terhadap keseluruhan perijinan sawit yang sudah dan akan beroperasi di wilayah adat moi.

Dikonfirmasi langsung salah satu Angota DPRD yang merupakan anak Adat moi mengkonfirmasi bahwa Pansus Tersebut sudah terbentuk dan terdiri dari 13 Anggota dan diketuai langsung oleh Ketua DPRD Kabupaten Sorong. Ada 3 tugas utama Pansus ini:

  1. Melakukan review kembali semua proses perijinan sawit yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan terutama bagaimana konsultasi yang benar dan mneyeluruh dilakukan. 
  2. Melalui review dan evaluasi terhadap perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara masyarakat adat dengan perusahaan sawit tersebut.
  3. Menyiapkan rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan review terhadap perijinan yang bermasalah dan mengabaikan hak-hak ada Masyarakat Moi.
Tim Pansus ini akan efektif bekerja di minggu ke 3 September 2015. 

Di diskusi terpisah, coordinator lapangan kampung Kalaili, Klasouw dan Malalis untuk advokasi hak mengatakan bahwa langkah aktif juga akan dilakukan di tingkat masyarakat dengan melakukan pengorganisasian memperkuat konsensus bersama di tingkat marga. Rapat-rapat di tingkat kampung akan dilakukan segera untuk menghasilkan (1) petisi bersama untuk penolakan sawit, (2) penyiapan semua bukti-bukti pengabaian hak yang dilakukan oleh perusahaan sawit di Tanah Moi, dan (3) mendorong pemetaan batas marga untuk mendapatkan pengakuan pemerintah. 

Namun Pak Koordinator menyatakan bahwa tantang selanjutnya juga ada di tingkat kabupaten dimana harus ada tim kerja yang ikut memback aktifitas yang dilakukan masyarakat sekaligus memberikan asistensi teknis dan strategis kepada DPRD untuk mematangkan rencana kerja pansus dan semua materi yang akan diuji di lapangan. Oleh sebab itu komunikasi dan koordinasi akan dibangun untuk menjadi dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap keberlangsungan hidup orang Moi, Tanah Moi dan semua sumber daya yang ada diatas. Karena semua aset orang Moi sedang terancam tegasnya. 


Critic Paper to Policy Makers: Slow Down Low Carbon Development Initiative in Papua and West Papua Provinces of Indonesia

Papua and West Papua Provinces with 42 million ha of forests in which almost 70% are still virgin plays significant position in Indonesia Greenhouses gas emission action. The appropriate actions and win ways are needed urgently to make sure that all keys stakeholder getting the wise option for natural resources management strategy and policy. As respond to global climate changes the provinces since 2008 announced their commitment to bring both provinces as the leader in saving forests for tackle the effect of global warming. Event both governor together with Arnold Schwarzenegger – the governor of California and the governor of Aceh built the Governor Climate and Forests Task Force, which now expanded to more than six county.

2008 until 2012 were the pre-condition pathway to build what people called with a foundation to makes government to government collaboration program could works that would enable each parties to contributes in saving the worlds by protecting the last remaining tropical forests in Asia and Pacific. At National level-Indonesia government with several REDD platform body had launch several low carbon development frameworks include the REDD+ strategy, national emission reduction target, safeguard instruments and many other tools to makes REDD works in the country. At sub national through LoI Indonesia – Norway the province has their provinces strategy and action plan to REDD+ implementation. While through national initiative the provinces has also developed greenhouses gas emission reduction action plan. Papua and Wests Papua provinces were engaged actively in both level and had have both document in place in the end of 2013.

The question then come after all these heavy worked have done: Are there any low carbon development initiative run in these provinces? Are the government as the keys policy and program maker has starting to do something that mentioned in the documents they developed? Do all parties are aware of low carbon ideas in the development at provinces and district?  How could we measure to validate the answer on above questions?

REDD or any low carbon development initiative in Papua are heavily depending on political commitments of political and institution leader of the government. Political commitment that interpreted into detail official government plans and program will become a guaranty that these initiative would works in the field. Understanding the plan and program of government could be explored by looking into detail spatial plan and strategic program plans of each institution. The plan and strategic plan should clearly mentioning the low carbon development program as the priority action

This paper is trying to critically provides quick views on how weak are the low carbon development initiative that fast in preparing the strategy and action plan documents but then slow in the actualization of the strategy and action plan. One by one the above questions will be answered in a robust comments based on the fact and condition in the both Papua and West Papua Province. 

Are there any low carbon development initiative run in these provinces? 

Some initiative came in the period of 2009 - 2012 such as Emirate Planet for the low carbon development project in Wamena, Carbon Strategic and Asia Pacific Carbon in West Papua. All these company came with an intended to applied VCS projects for credits. But most of the them were stopped in legal requirement such as the availability of forests the will do their projects. Since the low carbon projects was a new kinds of licenses that most parties are not familiar with. At the national levels experts are still in long discussion on building an ideal mechanism to makes low carbon development initiative could happen. No clear juridictional mechanism were agreed as national and sub-national low carbon development mechanism so most the this projects were given up find an appropriates national references to moving forward with their projects. 

Another constrain that the projects faced was political leader and community supports. Most of the projects came were failed to convince political leader and some community leader about the benefits that community and government could get by putting their support into the projects. 

Are the government as the keys policy and program maker has starting to do something that mentioned in the documents they developed? 

The province REDD+ and GHG reduction action plan and strategy had clearly mentioning several pilots action plan that should be conducted to reach the provinces emission reduction targets (look this analysis: ............). But until now no one of this lists are started on the selected pilot sites. Some specific initiative are going so far are most run by an NGO project based such as Samdhana with Forests Management Unit (KPH), UKCCU with their Green Investment and Spatial Plan Program (Protarih), USAID IFACS and ICRAF with Participatory Monitoring System (Parcimont). 

Not clear how the government is kind to taking an advance steps on facilitating all the projects initiative, taking an coordinator function and directed all the parties to testing the implementation of all lists action plan were mentioned in the official documents. 


Do all parties are aware of low carbon ideas in the development at provinces and district?

Since it was announced as a new forests management scheme, low carbon development concept are not well distributed to all relevant parties. The gap of understanding in this issues and miss-understanding in seeing the project from the simple perspective of the easily getting money by protecting forests has rights an empty expectation. Distribution and dissemination information as part of public awareness were not worked well since the preparation stages. 

 In west Papua and Papua Provinces the interpretation of low carbon were vary depending on the organization background.  Some projects mentioned above that has in contacted with community are often mistake to use the more proper words in explaining what is the low carbon development are so miss interpretation we also occurred at grass roots as shown by MNUKWAR videos. 


So will low carbon initiative works in Papua and West Papua?

Make the foundation as noted in the documents as enabling condition should be a vital priority that the government needs to take soon. In collaboration with all related stakeholder sharpening this concepts into technical activities that measurable and verifiable are a urgent steps the government should takes. 

It is a big worry that the the initiative will slowly disappear with the slow down action that the government has. 



  



Jumat, 12 Juni 2015

Mapping the Customary Right in Papua – Indonesia



When 140 local leaders came together in November 2014 on the final day of a mapping workshop to clarify, validate and recognize the tribal boundaries they had mapped, it marked a memorable moment for the people of Moi Kelim – Sorong, in West Papua Province, Indonesia. Beyond validating the maps of where and how the Moi Kelim use the lands, the workshop reflected the commitment of the communities, together with Sorong district government, to push for their legal recognition and to provide an example to other tribes that it is possible to do the same. After a long and sometimes difficult process of community mapping, the Moi Kelim have found that their customary area totals around 430,000 ha, reaches from Makbon to Salawati, and covers the city of Sorong and the Sorong District. It is home to 372 Moi Kelim clans/family names, and now they are on a path to gaining legal rights to that land and to participate in its management processes.

The government at provinces and National level acknowledge the important of mapping for community based forests and land management. Indonesia’s National REDD+ strategy and Action Plan identified the need to clarify local land tenure and forest rights as essential to the success of REDD+ and to ensuring it benefits local Indonesians. Customary maps are tools to identify who owns the land and rights on the land and to help appropriately distribute the benefits from REDD+. In addition to supporting REDD+ efforts, these maps have proven to be useful tools for broader land and resources planning, dispute resolution, as well as explaining community rights to the younger generation.

Under Samdhana institute supports twenty-four communities now have customary boundary maps and together with other mappings works in Papua, there are about two million hectares of customary areas have been mapped in Papua. Some communities are using these maps as tools to push full forest management. One notable success is in the highlands of Wamena where the local government took a lead role in the mapping process and now has integrated the customary boundary maps into its long term forests management plan.

To ensure the maps are not used to encourage investment from big plantations or forest industry activities that might seek to further deplete or degrade the forests, the Samdhana Institute and local government have identified the need to support broader, local-level economic development. In Kaimana District, West Papua Province, they have piloted the first village forests in Papua. This community-based license program will allow community groups to continue to legally and sustainably manage their own forests. The districts and partners will develop forest measurement databases which will support the development of detailed forest management business plans and small-scale forest products trading.

Using the map of their customary territory as a basis, the community has engaged in monitoring and managing their forest and land resources, and they are now seeking legal recognition of their area from the national government. The village forest licenses in Kaimana are also providing a chance for the Indonesian government to see the importance of customary right recognition in Papua and how it can be integrated into other forest and investment plans.

Building on the momentum, IUCN, the Samdhana Institute and other partners in Papua and West Papua Provinces will continue to develop maps for new customary areas to secure intergenerational tenure rights. The two provinces will also work to get land-use maps formally recognized and used by national and sub-national governments as central tools in REDD+ implementation. In the Baliem Valley, Papua Province, the maps will be legalized and used to develop customary boundary management plans based on cultural zones, as well as in the design of agro-forestry and reforestation activities in degraded areas.

Develop an Indicative Tribes Boundary Maps and Their Basic Profile Information in Tambrauw - West Papua Province

Tambrauw is the new regions separated from Sorong and Manokwari, according to Law No. 56/2008 concerning the establisment of Tambrauw regency in Papua Barat Province. 70% of total Tambrauw forests are protected within protection and conservation function inside 6 tribes rights. The real challenge is appears in how to balancing the needs of district development, sustainable ecology management and community development. So addressing right and resources issue at community level are urgently needed to make sure the balance development in Economic, Social and Ecology aspects.

The district regulation to protect local rights of customary community has been developing under Parliament control. It also been supporting by Papua State University, Epistema Institute, Samdhan Institute, Aka Wuon, WWF and Paradisea Foundation. The fact the customary right claim are strong in tambrauw pointed out the needs to carefully develop the substance in the regulation. The regulation also should able to create the harmony between right and responsibility of customary community in Tambrauw. This team then start to collect as much as possible data and information that available about local right in Tambrauw.

Facing the fact that data and information about customary community right in Tambrauw are limited the development partners of Tambrauw government then initiating the development of indicative boundary maps with tribes profiles. The new approaches in Mapping that come in to the table been considered as the quick but validated way to bring up the basic information about customary rights in Tambrauw, the tribes distribution across the district and the substance of rights the the parliament and government must regulates well.

So how what is the indicative boundary mapping means? And whats steps it takes to provide the information about rights in Tambrauw? How valid is the products to the legal needs? This short plain paper of mapping are trying to describes and provide a robust explanation about these question. It is developed based on half way process in Tambrauw, so question, comment or correction are welcome to improve the next process?

Tittle    : One Plain Paper of Mapping. Develop an Indicative Customary Boundary Mapping of Tribes in Tambrauw District
West Papua Province - Indonesia

Author : Yunus Yumte

2015

DOWNLOAD

Sabtu, 30 Mei 2015

Mencari Produk Hutan Prioritas Bagi Hutan Desa Sira dan Manggroholo


Damar Belum Berjalan Optimal

Tumpukan damar putih dan damar merah tersusun rapi di belakang rumah/kantor sementara koperasi Kna Mandiri di Kampung Sira. Koperasi yang didirikan sekitar 7 Tahun lalu ini adalah bentuk semangat masyarakat adat kampung Sira dan Mangroholo, Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan untuk mengelola sumber daya alamnya. "Damar kami beli dari masyarakat, tetapi tidak lancar, masyarakat ingin harga tinggi terutama karena mereka pergi ambil damar yang jauh didalam hutan" kata Alfred Kladit ketua Koperasi yang juga menjabat sebagai ketua LHPD Kampung Sira. "Saat ini kami masih tampung dan cari penjual, kami beli saja dalam keadaan kasar seperti ini dari masyarakat" terangnya menunjukan tumpukan damar yang bercampur dan belum di sortir.

Kampung Sira dan Manggroholo pada tahun 2014 telah menerima SK Penetapan Hutan Desa dari kementerian kehutanan RI dengan luasan mencapai 3,800 ha. Dimana arelanya mencakup semua hutan produksi dan hutan lingdung di wilayah adat dua Marga besar yaitu kladit dan sremere. Damar pada saat di temukan melalui survey potensi yang dilakukan, dinilai bisa menjadi pilihan produk utama yang akan dikelola oleh kedua hutan adat ini. Terutama karena orientasi utama dari advokasi dan fasilitasi pengelolaan hutan di Sira dan Manggroholo yang difasilitasi oleh Greenpeace dan Bentara Papua adalah untuk optimalisasi hasil hutan Non-kayu. "Kami menolak perusahaan kayu atau perusahaan sawit yang ingin masuk di tempat kami. Oleh sebab itu saya bersama dengan masyarakat adat di Kampung Sira dan juga kampung Manggroholo mengusulkan hutan desa untuk kami kelola sendiri, terang Bapak Yoel Sremere kepala Kampung Sira menjawab pertanyaan yang saya sampaikan "kenapa bapak dan masyarakat ingin fasilitasi hutan desa?" 

"Kami masih terus mencari pasar dan pembeli damar. Sudah ada informasi pasar di Surabaya, tetapi belum juga bisa kita pasarkan karena permintaan kuota yang belum bisa dipenuhi juga jaminan pasokan ke pembeli yang belum bisa digaransi" Jelas Amos Sumbung sebagai fasilitator lapangan Greenpeace. Damar yang dikelola adalah jenis damar merah dari kelompok Jenis Fatica, Sp dan juga beberapa diambil dari Jenis Agathis. Market damar di Sorong Sendiri belum sebanyak market produk lain seperti kayu sehingga mempengaruhi stagnan-nya usaha komunitas adat di Sira-Manggroholo. 
Menemukan Opportunity cost Untuk Pilihan Produk Hutan Menguntungkan 

Dua tahun pasca dikeluarkannya SK Menhut tentang penetapan Hutan Desa, sedianya kedua LPHD bersama dengan fasilitatornya harus bisa menyediakan rencana kerja jangka panjang untuk mendapatkan ijin pengelolaan terhadap produk hutan yang ingin dikelola oleh hutan Desa. Rencana kerja atau rencana pengelolaan adalah dasar untuk pengusulan ke Gubernur mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa atau HPHD. Tentunya didalam dokumen perencanaan tersebut harus memuat detail produk yang dikelola dengan estimasi kelayakan usaha dari produk-produk hutan yang menjadi fokus pengelolaan. 

Tantangan tentu ada pada tingkatan ini untuk bisa menemukan produk-produk hutan yang (Kayu, non kayu dan jasa lingkungan) yang bisa dikelola oleh LPHD dan Koperasi Kna Mandiri di Kampung Sira dan Kampung Manggroholo. Selain damar masyarakat adat di Kampung Sira dan Manggroholo telah lama menggantungkan hidupnya dari Sagu, Produk kebun tradisional dan daging buruan. Didalam hutan sira dan manggroholo juga tumbuh dan berkembang beberapa jenis rotan tetapi belum diketahui pasti potensinya. Sebagian dari hutan manggrove dan rawa yang berada dibagian timur kampung juga tersimpan potensi hasil laut seperti udang, kepiting dan ikan yang selama ini sudah dimanfaatkan oleh pihak luar. Kayu tidak menjadi fokus utama, sekalipun ada beberapa masyarakat yang memanfaatkan kayu untuk kebutuhan internal didalam kampung dan ada juga yang dijual keluar dalam bentuk kayu gergajian. 

"Sejauh ini sagu, menambang pasir, mengerjakan proyek pemerintah adalah sumber pendapatan uang utama di masyarakat" Terang kepala Kampung Manggroholo. Damar telah muncul sebagai satu info produk potensial tetapi karena beberapa kendala alam, pemasaran dan intensitas pemanenan sehingga masyarakat tidak menggantungkan sumber pendapatannya ke produk ini. 

Analisis ekonomis, market dan value chain dari produk serta uji kelayakan usaha dengan pilihan-pilihan produk perlu menjadi perhatian pengembangan rencana pengelolaan Hutan Desa Sira dan Manggroholo. Sehingga inisiatif menjaga hutan dan mendapatkan manfaat ekonomi daripadanya bisa kelihatan serta program-program fasilitasi yang dilakukan tidak hanya dinilai projekan oleh komunitas adat didalamnya. Memulai dari produk-produk hutan yang sudah dimanfaatkan, fluid secara bisnis dengan nilai rantai harga yang terkontrol mungkin perlu menjadi pilihan awal sambil mempersiapkan masyarakat dan akses ke pasar-pasar produk lain yang dimiliki oleh sira dan Manggroholo. 


Selasa, 21 April 2015

Menanti Penetapan NSPK IUPHHK-MHA Papua oleh Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Sudah memasuki bulan ke 9 draft final PERMENHUT NSPK IUPHHK di Papua berada di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan menunggu untuk ditetapkan sebagai PERMENHUT. Penetapan ini sangat penting dan urgent untuk memberikan jaminan legal pengelolaan hutan oleh masyarakat adat di Papua. Skema IUPHHK-MHA sendiri digagas untuk menertibkan tingginya kegiatan penebangan hutan tanpa kontrol yang marak terjadi di Provinsi dan telah banyak merugikan negara sampai ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Skema ini juga dibanung untuk sekaligus memastikan aliran manfaat yang besar kepada masyarakat adat dan Pemerintah. Praktek-praktek pemanfaatan kayu gaya lama cenderung menjebak dan menyeret masyarakat berurusan dengan hukum, dari aspek ekonomi negara dirugikan milliaran rupiah tiap tahunnya karena keluar-nya kayu tanpa penetapan biaya dengan aliran manfaat yang jelas kepada negara.



Persoalan mandek-nya IUPHHK-MHA apabila ditelusuri dan dicermati boleh dibilang hanya perkara sederhana, dimana tata usaha kayu IUPHHK-MHA di Papua tidak diakui karena nomenklatur skema pengelolaan hutan yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UU-41/1999 tentang kehutanan. Sungguh ironis bukan? UU 41/1999 cenderung membangun dinasti sendiri dan seakan menutup jalan bagi produk hukum setingkat UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua sulit di implementasikan.

Sungguh sangatlah kelihatan bahwa pertimbangan politis kepentingan dan kewenangan pengelolaan sumber daya alam masih menjadi alasan kuat bagi pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kemeterian Kehutanan untuk terus menunda penetapan NSPK IUPHHK-MHA yang merupakan jembatan harmonisasi antara UU no 41 Tahun 1999 dengan UU No 21 Tahun 2001. Seharusnya pemerintah pusat melihat secara strategis nilai penting dari jembatan ini untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Papua tentang kepedulian NKRI memberikan ruang legal bagi orang asli Papua untuk mengelola dan menikmati hasil dari tanah mereka sendiri.

Nah... Mari merenung sejenak dan bertanya, kira-kira sampai kapan NSPK IUPHHK-MHA ini terus di delay proses penetapannya di kemenhut? Dan langkah apa yang mungkin belum di ambil para pihak di Papua yang mendorong isu ini? Negara sebagai rumah dan orang tua bagi rakyat yang merupakan anak-nya harusnya memberikan kesempatan dan bukan memberikan ketidakpastian. Jawaban dan langkah tegas dari Ibu Menteri Kehutanan sangatlah ditunggu untuk mempertegas langkah nyata program preseden Jokowi dari sektor kehutan dan juga komitmen politis Pak Jokowi untuk tetap memberikan ruang yang luas bagi orang asli Papua untuk membangun dan mendapatkan manfaat yang besar di atas tanah-nya sendiri.




Jumat, 03 April 2015

Lesson Learn: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Dengan Skema Hutan Desa di Esania, Kaimana - Papua Barat

Ringkasan,

Belum adanya sebuah model baik bagaimana masyarakat adat Papua mengelola sumber daya hutannya secara legal, terstruktur, terogranisir dalam lembaga bisnis yang baik dan mengadopsi prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari di Indonesia sudah harus dijawab dengan serius. Pertanyaannya adalah apa skema yang pas untuk Papua? 

Tahun 2008 mengacu pada amanat UU no 21 tentang Otonomi Khusus Papua, pemerintah provinsi Papua melalui Dinas Kehutanan dan Konservasi menggagas dan mengembangkan PERDASUS No. 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkalanjutan di Papua DOWNLOAD. Kebijakan ini didesain dengan mengadopsi karakter komunitas di Papua yang kuat dengan klaim adatnya. Namun sayang seiring dengan pemekaran Provinsi Papua menjadi 2 provinsi, PERDASUS ini juga kemudian hanya bisa berlaku untuk Provinsi Papua dan tidak untuk Papua Barat. Menariknya pada tahun yang sama Kementerian Kehutanan mengeluarkan Permenhut 49 Tahun 2008 Tentang Hutan Desa DOWNLOAD yang juga memberikan ruang kepada masyarakat kampung/desa untuk mengelola dan memanfaatkan hutan alam primer yang ada diwilayah mereka. Kebijakan ini kemudian berlaku secara nasional termasuk di Provinsi Papua Barat. 

Ruang legal PERMENHUT 49/2008 tentang Hutan Desa ini kemudian dinilai memberikan peluang bagi masyarakat kampung di Papua Barat untuk mendapatkan legalitas pengelolaan hutannya. 2010 adalah awal diskusi tentang Hutan Desa dibangun di Papua Barat, dan menyepakati Kampung Esania, Kaimana Provinsi Papua Barat sebagai model. Pemilihan kampung ini sebagai model karena proses fasilitasi yang sedang berjalan dibawah supervisi Perkumpulan PERDU dan dukungan The Samdhana Institute. Pra kondisi sosial, teknis dan legal kemudian dilakukan untuk mendapatkan legalitas pengelolaan hutan dan mempersiapkan pengelolaan berbasis masyarakat adat. 

Lantas apa saja yang sudah dilakukan? Bagaimana proses fasililitasi dilakukan? Hasil-hasil apa saja yang sudah dicapai? Tantangan dan pelajaran apa yang didapat selama proses persiapan ini? Tulisan ini secara padat menyajikan catatan perjalanan dan pelajaran dari proses fasiltiasi yang dibangun di Esania. Harapan kami, tulisan ini bisa memberikan informasi penting tentang apa yang sudah dibangun di Esania, untuk selanjutnya menjadi pelajaran bagi wilayah-wilayah lain di Papua Barat yang akan, sedang atau sudah menindaklanjuti inisiatif hutan desa ini. 

Masih ada satu bagian yang akan dikembangkan terkait dengan analisis kelayakan implementasi hutan desa di Papua Barat. Pastinya tulisan ini dibutuhkan untuk melihat apakah Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria  teknis, sosial dan legal yang diamanatkan dalam PERMENHUT 49 Tahun 2008 bisa diimplementasikan di Papua Barat atau tidak. 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Kritik, saran, masukan dan koreksi terhadap tulisan ini sangat diappreasi? 


Judul: Mendorong Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Adat di Papua Barat. 
Penulis: Yunus Yumte 
Paper  : 2013


DOWNLOAD