My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Kamis, 01 Desember 2011

Tata Ruang Sebagai Instrument Spatial Penegasan Kesiapan Implementasi REDD+ di Papua


Boomingnya isu REDD dalam konteks kesempatan legal untuk akses benefit sebagai upaya dari satu wilayah hutan primer berkontribusi terhadap upaya perlindungan dan pengamanan karbon disambut baik secara global termasuk di Papua. Phase persiapan dan inisiasi awal kemudian dilakukan baik melalui mekanisme voluntary, join partnership agreement antar pemerintah maupun pilot action melalui NGO. Sebagai wilayah dengan tutupan hutan primer yang masih baik di Indonesia, Papua kemudian merespon isu ini dengan aksi-aksi persiapan termasuk didalammnya membangun tata ruang untuk memberikan kepastian legal kawasan dimana skema REDD atau REDD+ ini bisa diimplementasikan dan maupun dimonitor, diukur dan evaluasi performa penyelematan karbon hutannya dalam cakupan spasial tertentu yang disepakati. Posisi penting Tata Ruang juga dipandang penting sebagai kerangka hukum ruang bagi setiap initiative skema REDD atau pembangunan rencana emisi yang ingin dilaksanakan. 

Srategi dan rencana aski untuk implementasi REDD+ kemudian digagas dibawah koordinasi Papua Low Carbon Development Task Force yang dibentuk oleh Gubernur Barnabas Suebu dengan Bapak Agus Rumansara sebagai ketua harian pelaksana tim kerja ini. Pada diskusi awal dengan Bappeda Papua dihighlight bahwa "Penataan ruang mengambil peran penting dalam sektor LULUCF di Daerah. Kepastian ruang merupakan dasar penting dalam mengontor aktifitas penggunaan ruang didalamnya. Pemerintah dalam peranturannyannya No 26 tahun 2007 memberikan aturan dalam penyusunan tata ruang di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Untuk konteks REDD+, kepastian ruang untuk mengimplementasikan REDD+ menjadi satu faktor kunci yang perlu dipastikan diawal sebelum melakan persiapan teknis lain untuk mendukung implementasi proyek. Pemerintah daerah sebagai “provider” perlu secara jelas merencakan ruang untuk setiap aktifitas pembangunan rendah karbon termasuk REDD+. Status dan fungsi ruang, alokasi peruntukannya  dan jaminan pengeloaannya dengan sebuah regulasi juga merupakan instrument-instrument  prasyarat kelayakan pemanfaatan ruang". Dalam perkembanganya kemudian Task Force secara aktif ikut mendukung penyelesaian dokumen RTRW Provinsi dengan beberapa asistensi teknis terutama untuk mempertegas delineasi dan prinsip-prinsip dasar yang harus dimuat dalam tata ruang terkait dengan pembangunan Rendah Emisi. 

Karena dipandang sebagai kerang legal spasial dan acuan juridis arah pemanfaatan kawasan serta untuk menjadi REDD+ bisa berjalan efektif di Papua, dipertegas bahwa "Tata ruang disyaratkat disusun dengan proses partisipatif dan integratif dengan mengakomodir ruang pembangunan nasional, daerah dan masyarakat didalamnya. Aspek sosial-budaya menjadi bagian penting lain yang harus diperhatikan dan diakomodir dalam tata ruang. Tata ruang juga mengakomodir kesepakatan batas antar wilayah administrasi kabupaten/kota". 


Keadaan saat ini

Sampai dengan saat ini masih berlaku Peraturan Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 2 Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Irian Jaya, yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan perkembangan wilayah yang terjadi dan pemekaran daerah yang terjadi di Provinsi Papua maka RTRW Propinsi Irian Jaya sudah tidak mampu lagi mengakomodasi dinamika pengembangan wilayah yang terjadi serta pengembangan wilayah ke depan dalam rangka perwujudan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan bagi RTRW Provinsi berjangka 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang Penataan Ruang ditetapkan. Implikasi dari UUPR yang baru tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua. Penyusunan RTRW Provinsi Papua dilakukan semenjak Tahun 2008 dengan memaksimalkan keterlibatan pemangku kepentingan di Provinsi Papua. Sampai dengan saat ini RAPERDA RTRW Provinsi Papua telah mendapatkan Persetujuan Substansi dari Menteri Pekerjaan Umum yaitu dengan SK Menteri Pekerjaan Umum Nomor Nomor: HK.01/03-Mn/115 Tanggal 30 Maret 2011. Evaluasi RAPERDA RTRW Provinsi Papua dilakukan setelah RAPERDA RTRW Provinsi Papua mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum dan persetujuan substansi kehutanan dari Menteri Kehutanan.

Persetujuan substansi kehutanan harus didapatkan oleh RAPERDA RTRW Provinsi Papua karena di dalam rencana pola ruang mensyaratkan adanya perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua, baik perubahan peruntukan maupun perubahan fungsi kawasan hutan. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan proses perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua melalui mekanisme penelitian terpadu. Sampai dengan saat ini, dimulai dengan Kegiatan Harmonisasi dan Sinkronisasi Kawasan Hutan dan Perairan yang dilaksanakan pada Agustus 2009 maka pada proses perubahan kawasan hutan telah melalui 9 (sembilan) kali pertemuan tim terpadu, peninjauan lapangan dan uji konsisten. Terakhir pada Kamis, 21 Juli 2011 dilakukan paparan hasil penelitian terpadu oleh Tim Terpadu kepada Menteri Kehutanan. Dari hasil penelitian terpadu maka direkomendasikan luas kawasan hutan di Provinsi Papua adalah 30.917.673 Ha (atau 94,34% dari luas wilayah Provinsi Papua) serta usulan perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua tidak memiliki dampak penting, dampak cakupan luas dan dampak strategis sehingga perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua tidak memerlukan persetujuan DPR RI. Implikasi dari Paparan Tim Terpadu kepada Menteri Kehutanan tersebut maka usulan perubahan kawasan hutan Provinsi Papua akan mendapatkan Surat Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan yang baru, setelah syarat administrasi penandatanganan peta perubahan kawasan hutan ditandatangani oleh Gubernur dan Bupati/Walikota se Provinsi Papua.

Ruang hijau 94% di kawasan hutan Papua merupakan peluang untuk implementasi kegiatan-kegiatan ekonomi rendah emisi. Untuk melengkapi RTRWP juga Papua menyiapkan visi pembangunan berkelanjutan yang dijadikan dasar dalam mengawal dan mengawasi pemanfaatan ruang di Papua. Ruang-ruang strategis yang menjadi ruang hidup masyarakat dan sumber biodiversity Papua akan dipertahankan. Visi 100 tahun kedepan adalah membangun kualitas manusia Papua dengan tetap mempertahankan kekayaan sumber daya alam-nya. Visi Papua 2100 juga menekankan Papua akan menjadi perhatian dunia karena mampu mempertahankan hutan untuk penyelamatan lingkungan.

Untuk kegiatan-kegiatan pembangunan rendah karbon termasuk REDD+ belum disebutkan secara jelas dalam RTRWP yang ada. Namun dalal rencana strategis pola dan struktur ruang RTRWP telah mendaptkan perhatian untuk menunjuk beberapa kawasan strategis propinsi untuk pengembangan pembangunan ekonomi rendah karbon.

Dimasukannya ruang kampung dalam RTRW menjadi salah satu kekhususan RTRWP Papua sebagian kampung didalamnya juga diberikan ruang APL untuk pembangunan kampung. Raperdasi RTRWP papua juga menekankan pemetaan ruang masyarakat sebagai bagian yang harus dilakukan pada tingkatan kabupaten. Karena di Papua, ruang adat sebagai tempat hidup masyarakat adat di Kampung-Kampung di Papua menjadi salah satu isi kunci dalam tata ruang. Gubernur Papua menginstruksikan “I want to put my people on the plan” sebagai bagian dari komitmen dan konsep pembangunan daerah berbasis masyarakat. Kebijakan ruang kampung juga didukung dengan kebijakan daerah tentang program RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung).

Apa yang harus dilakukan/oleh siapa?

Pertanyaan penting tentunya harus dijawab di Papua adalah apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukan aksi tersebut untuk memastikan tata ruang terselesaikan dan mengakomodir kepenting kepastian legal spasial kawasan utuk imlementasi REDD+ di Papua? 

Dalam beberapa diskusi lanjutan kemudian didaftarkan beberapa aksi dan tanggung jawab yang urgent dan penting dilakukan untuk percepatan persiapan spasial dan tata ruang untuk implementasi REDD+ di Papua. Beberapa aksi tersebut diantaranya: 
  • Pemerintah daerah propinsi dan kabupaten akan mengambil peran penting di fase awal kegiatan proyek. PEMDA memastikan bahwa ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung implementasi proyek REDD+. Dengan mengacu pada aturan daerah dan nasional yang ada wilayah ditentukan secara partisipatif. Pada fase ini Dinas Kehutana, BAPPEDA, BPSDALH dan PU akan berperan
  • Menyiapkan unit registrasi ruang adat masyarakat Papua untuk mendukung kejelasan status ruang masyarakat. Unit ini merupakan bagian dari lembaga REDD+/Pembangunan Ekonomi Rendah Carbon Papua. Selanjutnya perlu memastikan bahwa ruang yang dialokasikan untuk pengembangan program ekonomi rendah karbon sudah terdaftar. Menyiapkan instrument abitrase dan penyelesaian konflik ruang masyarakat
  • Investor agar tetap memperhatikan UU penanaman modal dan pemanfaatan ruang di Daerah, termasuk menghormati alokasi dan pola ruang yang ada. Membangun koordinasi dan komunikasi
  • Delineasi dan digitasi batas-batas wilayah yang akan diusulkan untuk REDD+. Selanjutnya peta hasil delineasi dan digitasi tersebut di overlay dengan peta tutupan kawasan dan RTRW yang ada didaerah untuk memastikan bahwa ruang yang diusulkan tidak dibebani ijin pemanfaatan lahan lain dan sesuai dengan peruntukannya.
  • Menetapakan criteria dan indicator yang akan digunakan sebagai bahan evaluasi dan monoting perkembangan proyek di Lapangan. Pemertintah daerah lewat kelembagaan yang dibentuk menetapkan sistem MRV – terutama untuk pemanfaatan ruang yang ada untuk mengontrol dan menjamin aktifitas dijalankan sesuai dengan perencanaannya.
Secara keseluruhan kepastian tata ruang dalam hal dasar legal kawasan untuk implementasi REDD+ adalah krusial untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan REDD dan memberikan kepastian hukum terhadap law enforcement, reward dan punishment yang kemudian bisa diatur dalam kesepakatan kerjasama REDD+.