My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Sabtu, 09 September 2017

Ingin Tahu Apa Saja Pendekatan Pemetaan Wilayah Adat Yang Selama ini Di Gunakan di Papua Barat?

Pekerjaan pemetaan batas-batas wilayah adat dan tata guna lahan masyarakat hukum adat di Papua sudah berberjalan cukup lama. Tematik peta yang dihasilkan juga beragam mengikuti kebutuhan masing-masing pihak yang mengembangkannya bersama dengan masyarakat adat yang membutuhkannya. Tentunya pemilihan pendekatan mana yang akan digunakan beranjak dari berbagai pertimbangan, seperti misalnya tujuan penggunaan peta, sumber daya yang dimiliki dan keterbatasan-keterbatasan yang berkembang di setiap wilayah yang terus maju dengan inisiatif pemetannya. Secara singkat matrix berikut menyajikan beberapa informasi dasar tentang berbagai pendekatan pemetaan wilayah masyarakat dengan tujuan, pendekatan dan cakupan data dan informasi yang disajikan didalam peta yang dihasilkan.

Matrix Informasi Pendekatan Pemetaan, Tujuan Penggunaan dan Contoh Hasil Petanya
Tematik Peta
Pendekatan dan Target Capaian
Contoh
Pemetaan wilayah adat skala luas  
Pendekatan pemetaan skala luas selama ini dipilih untuk menghasilkan peta batas luar suku dengan luasan yang besar dan terdiri dari beberapa kampong atau kelompok unit komunitas tertentu berdasarkan kondisi specific setiap komunitas. Output akhir dari proses pemetaan skala luas antara lain:
·        Peta teknis batas luar suku kesepakatan
·        informasi social/profile suku
·        konsolidasi komunitas suku/sub suku
Di Wilayah Sorong Raya, pendekatan Pemetaan Skala Luas dalam catatan Samdhana Institute baru pertama di implementasikan di Sub Suku Moi Kelim.



Facilitator: LMA Malamoi, AMAN, Samdhana Institute dan JKPP
Pemetaan Wilayah Adat Marga atau Sub Marga (Keret dan Mata Rumah)
Pendekatan pemetaan detail yang didalamnya ada kajian geneologisertasecara detail dan teliti menggali informasi tentang hak-hak marga atau sub marga tertentu. Pemetaan ini dipilih seiring dengan kebutuhan untuk menata ruang masyarakat untuk pengelolaan sumberdaya alam atau untuk kebutuhan resolusi konflik antar komunitas.
Peta Marga Kladit dan Marga Sremere di Kampung Sira dan Manggoholo, Sorong Selatan yang kemudian digunakan sebagai peta referensi untuk pengusulan Hutan DESA

Facilitator: Bentara – Papua dan Greenpeace Indonesia
PemetaanTempat-tempat penting masyarakat adat
Sebagaimana namanya, pemetaan tempat penting difokuskan pada identifikasi, pendataan dan pemetaan ruang-ruang penting milik komunitas seperti ruang budaya, ruang ekonomi dan ruang ekologi. Dimana ruang-ruang tujuan-tujuan perlindungan dan pengamanan terhadap ruang-ruang tersebut menjadi focus dalam penerapan pendekatan ini.
Contoh peta-peta tempat penting masyarakat di sepanjang Sausapor, Kwor, Abun sampai Saubeba

Facilitator: WWF – Indonesia Region Sahul. Kantor Sausapor.
Pemetaan Batas Kampung Adat
Pemetaan wilayah adat satu kampung yang mana fokus pada keseluruhan wilayah adat marga-marga yang secara adat hidup didalam satu kampung tersebut. Umumnya pemetaan wilayah adat kampung digunakan untuk tujuan perencanaan partisipatif pembangunan kampung, tujuan-tujuan penataan ruang administrasi kampung dan usulan-usulan pengelolaan potensi kampung yang dasar legal aturannya mensyaratkan lampiran peta administrasi kampung. Informasi-informasi yang disajikan didalam peta ini mencakup:
·        Batas wilayah adat yang sekaligus diakui sebagai batas administrasi kampung tersebut.
·        Tutupan wilayah kampung.
·        Geolokasi tempat-tempat penting milik masyarakat adat di kampung.
·        Informasi titik kampung dan fasilitasi sosial di kampung.
·        Posisi kampung dalam wilayah administrasi distrksi dan kabupaten.
Contoh: peta kampung Esania Distrik  Buruway Kabupaten Kaimana.

Fasilitator: PERDU, Samdhana dan JKPP
Pemetaan Indikatif Batas Wilayah Adat Suku dan Sub Suku


Pemetaan indikatif wilayah masyarakat adat mengandung pengertian kesatuan rangkaian kegiatan pemetaan sosial dan teknis yang dilakukan secara cepat, cakupan luas dan menyeluruhan tanpa detail fasilitasi teknis dan sosial yang padat untuk menyajikan data dasar tentang wilayah adat dan informasi sosial didalamnya. Pemetaan indikative wilayah adat dilaksanakan dengan tujuan menampilkan informasi dasar secara cepat tentang suatu komunitas adat dan wilayahnya untuk selanjutnya digunakan untuk fasilitasi detail pemetaan lanjutan. Pendekatan pemetaan wilayah indikatif wilayah adat masyarakat yang dilakukan secara benar dan baik akan menghasilkan beberapa data sosial dan data teknis sebagai berikut:
·        Distribusi suku, sub suku dan/atau marga didalam satu wilayah tertentu dan pola hubungan diantara mereka.
·        Distribusi kampung menurut suku, sub suku dan/atau marga tertentu.
·        Garis indikatif batas ruang hak suku, sub suku dan/atau marga tertentu.
·        Informasi sosial lain seperti pendidikan adat, kesenian adat dan pernak-pernik kekayaan intelektual adat yang menjadi simbol penciri dari komunitas adat tertentu.
Contoh: Peta Indikative wilayah adat Suku Abun dan Miyah di Kabupaten Tambrauw.

Fasilitator: AKA WUON, WWF, PEMDA Tambrauw dan Samdhana Institute
Kompilasi Peta Wilayah Adat Suku dan Sub Suku di Papua Barat

Semua pendekatan dan hasil yang diperoleh dari pemetaan-pemetaan ini tentu diharapkan menjadi titik maju dalam membantu masyarakat adat mengamankan secara legal hak dan asset adatnya serta memiliki rencana dan aktifitas pengelolaan yang berkelanjutan. Beberapa contoh peta wilayah adat sebagaimana di sebutkan diatas coba disajikan sebagai beriku ditambahkan dengan bagaimana peta-peta tersebut kemudian digunakan untuk kebutuhan pengamanan hak atas wilayah dan pengembangan lebih jauh untuk pengelolaan sumber daya alam didalamnya.

a. Peta Wilayah Adat Sub Suku Moi Kelim di Kabupaten dan Kota Sorong, Papua Barat 

Dimulai dari tahun 2013 hingga selesai di tahun 2014, peta Moi Kelim yang didalamnya terdapat 372 Marga dan lebih dari 80 kampung berhasil terpetak dengan luas mencapai 432,139.3 ha. Wilayah adat Moi Kelim membentang dari Kampung Mega Kabupaten Sorong di sebelah timur sampai dengan Kampung Matawolot di sebelah barat. Dan Batas laut daerah Raja Ampat di sebelah utara dan di sebalah selatan ujungnya di Sungai Klabra di Distrik Klabar. Pekerjaan pemetaan wilayah adat sub Suku Moi Kelim di Sorong Secara keseluruhan menggunakan pendekatan pemetaan Skala Luas (large scale mapping) yang diperkenalkan oleh Mac Chapin melalui ilmu besarnya di “Native Land”. Keseluruhan proses pemetaan dilaksanakan oleh Lembaga Masyarakat Adat Malamoi dengan Dukungan dari The Samdhana Institue, AMAN, JKPP dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong. Produk peta hasil pemetaan skala luas batas wilayah adat Moi Kelim Sorong disajikan pada gambar berikut:



b. Pemetaan Batas Wilayah Adat Marga Krimadi di Kabupaten Sorong Selatan

Selama periode September 2013 – 2016 kegiatan pemetaan batas Wilayah adat Marga dilakukan di Kampung Sira, Manggroholo dan Mlaswath, Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan. Beberapa marga sudah memiliki peta Wilayah adatya mencakup: Kladit, Sremere, Krimadi, Kaliele, Kemesrar dan Woloin Difasilitasi oleh Benara Papua. Keseluruhan Wilayah adat marga ini adalah bagian dari kelompok komunitas Knasaimos yang luas Wilayah adatnya mencapai 86,000 ha.

2 wilayah marga diataranya yaitu Kladit dan Sremere di Kampung Sira dan Manggroholo telah menjadi pilot lokasi pembangunan HUTAN DESA di Papua Barat yaitu: Hutan Desa Sira dan Manggroholo yang luasnya mencapai 3,800 ha. Penetapan areal kerja sudah di tetapkan oleh Menteri kehutanan di Bulan Oktober tahun 2014 dan kemudian SK Gubernur untuk Ijin pengelolaannya sudah juga dikeluarkan pada Bulan Agustus Tahun 2016 yang lalu


c. Peta Wilayah Adat Batas Kampung Adat di Kampung Esania dan Yarona, Kaimana

Peta Wilayah Adat Kampung Yarona dan Peta Wilayah Adat Kampung Esania di Distrik Buruwy Kaimana menjadi contoh bagaimana peta kampung adat itu dilakukan. Secara total masing-masing memiliki luasan 14,000 ha untuk Kampung Yarona dan 26,205 ha untuk Kampung Esania. Peta Kampung adat didasarkan pada peta hak Wilayah adat dari marga-marga yang ada didalam kampung tersebut. Salah satu dari Wilayah ini pada Bulan maret 2014 yang lalu sudah ditetapkan sebagai lokasi hutan Desa dengan luasan 11.005 ha.


d. Peta Indikatif Wilayah Adat  Suku Miyah dan Abun Kabupaten Tambrauw

Selama 2015 dalam rangka mendukung finalisasi Raperda Pengkuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Tambrauw, dirancang kegiatan kajian cepat dan pemetaan indikatif oleh PEMDA Kab Tambrauw bersama dengan mitra pendukungnya yaitu WWF, Samdhana Institute, Yayasan Paradisea dan AKA WUON. Kegiatan yang dilakukan adalah pemetaan indikatif batas dan informasi social dari Suku Miyah dan Suku Abun di Kabupaten Tambrauw. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut didapatkan bahwa  luas kedua suku tersebut secara indikatif adalah: 404,352 ha Wilayah Adat Suku Abun dan 259,250 ha Wilayah Adat Suku Miyah. Didalamnya tergambarkan juga informasi dasar tentang marga, tempat penting dan hubungan antar masyarakat yang mengikat soal hak atas tanah.




e. Peta Sebaran Tempat Penting Masyarakat Adat Abun di Pesisir Pantai Peneluran Penyu Belimbing, Kabupaten Tambrauw

Sebaran tempat penting masyarakat adat Suku Abun di beberapa kampung sepanjang Pantai peneluran penyu Belimbing di Kabupaten Tambrauw telah dipetakan oleh WWF Papua Bersama dengan Fasilitator lokalnya dan masyarakat menyusun perencanaan pengelolaan kawasan peneluran. Peta yang disajikan menampilakn informasi dalam beberapa pendekatan mulai dari polygon, titik dan garis untuk menegasikan tempat penting yang dimaksud. Pada tahun 2015 bersamaan dengan kegiatan pemetaan indikatif yang didorong oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw dilakukan kembali beberapa pengumpulan data wilayah tempat penting dari masyarakat adat di Suku Miyah dan Suku Abun.
 kompilasi data spasial hasil pemetaan indikatif tempat penting masyarakat adat dan peta identifikasi tempat penting di KAMPUNG KWOR 2015, Tambrauw


Peta Wilayah Adat Untuk Mendukung Pembangunan Di Papua 

Dengan proses yang partisipatif dan menyeluruh mengahasilkan informasi-informasi keruangan yang detail serta beranjak dari masyarakat, peta-peta wilayah adat yang sudah hasilkan harusnya dipandang strategis oleh Pemerintah Daerah dalam upaya membangun penataan ruang dan pembangunan keruangan yang berpihak kepada masyarakat adat. Peta membantu pemerintah untuk mengetahui right holders dari tanah di Papua. Peta juga membantu pemerintah untuk meenghitung dampak-dampak yang akan terjadi dari sebuah rencana pembangunan berdasarkan informasi sebaran tempat penting dan ruang kelola masyarakat adat. 

Sudah pasti langkah selanjutnya untuk mendudukan peta-peta wilayah adat yang sudah dihasilkan secara tepat dan membangun mekanisme bagaimana data ini digunakan adalah pekerjaan lanjutan yang harus dilakukan. Dan yang terutama peta bersama dengan semua informasi yang ada perlu dipakai sebagai informasi dan data penting dalam menyusun perencanaan pembangunan ekonomi masyarakat adat untuk mampu memanfaat aset adat yang ada didalam wilayah adatnya secara legal dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.

Senin, 04 September 2017

Membangun Perhutanan Sosial di Papua Barat ? "Kita Harus Belajar Dari Kaimana dan Sorong Selatan"

Diskusi awal Pokja Percepatan Fasilitasi Perhutanan Sosial (PS) Provinsi Papua Barat, terbangun di Hotel Sahid Mariat Sorong Tanggal 30-31 Agustus dan disepakati beberapa agenda untuk difasilitasi oleh Pokja. Pokja yang sudah terbentuk melalui SK Gubernur Papua Barat No 522/105/6/2017 memberikan catatan baru upaya-upaya membangun ruang kelola masyarakat adat atas hutan. Pro kontra tentu masih tetap muncul. Sekalipun sudah terbentuk, masih banyak kekhawatiran bahwa kerja pokja dalam mengejar capaian luasan penetapan wilayah perhutanan Sosial di Papua Barat sama saja dengan "menggali lubang untuk mengubur diri sendiri". Di tuntut agar menjaga kualitas fasilitasi dan support yang intens pada kesiapan masyarakat adat sebagai object dan target program PS di Papua Barat ini tidak hanya dibanggakan karena kemampuan luas penetapan lokasi yang bisa dicapai, tetapi bagaimana lokasi-lokasi PS tersebut tumbuh dan berkembang menjadi unit-unit sosial ekonomi baru yang mampu menunjukan sinergitas pembangunan kehutanan antara adat di Papua dengan tata hutan yang disusun oleh negara. 

Pada titik ini, tentu beberapa fasilitator menyarankan agar Pokja mengambil waktu dan kembali belajar dari fasilitasi-fasilitasi yang sudah berjalan pada pembangunan site PS yang ada sekarang. Dua wilayah di Sorong Selatan yang masih aktif berjalan serta satu wilayah PS di Kaimana yang sudah tidak aktif bisa menjadi ruang belajar untuk menegaskan kembali rencana kerja pokja yang tepat tidak hanya pada mengejar penetapan lokasi tetapi memberikan layanan fasilitasi kepada lokasi-lokasi PS dan komunitas yang mendorongnya secara optimal.

Photo Hutan Kaimana

Apabil ditarik kembali, diskusi tentang Perhutanan Sosial di Papua Barat mulai berkembang sejak awal 2010. Diawali dengan inisiatif PHBM di Kaimana yang mencari peluang legal yang bisa dijadikan payung hukumnya. Explorasi kerangka legal pun sampai pada PERMENHUT No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Dimana skema ini yang cukup relefan untuk menjawab jalan buntu pengelolaan hutan alam primer di Papua oleh masyarakat, karena secara normative pemanfaatan hasil hutan alam primer di kawasan hutan produksi dan hutan lindung diperbolehkan didalam PERMENHUT tentang Hutan desa ini. Cita-cita dan harapan besar kemudian ditempatkan pada skema hutan desa di Papua Barat karena ruang legal pengelolaan hutan alam yang diberikan pada kondisi dimana belum ada PERDASUS Pengelolaan Hutan Berkelanjutan berbasis masyarakat adat yang tersedia dan berlaku untuk provinsi Papua Barat.

Sampai akhir Tahun 2015 sudah ada 3 hutan desa di Papua Barat yang ditetapkan yaitu, Hutan Desa Esania di Kaimana dengan Luas 11,005 ha, Hutan Desa Sira dan Mangroholo di Sorong Selatan dengan Luas Masing-masing: 4000 ha. Pasca penetapan kegiatan persiapan pengelolaan dilakukan untuk memenuhi prasyarat teknis dan institutional untuk pengajuan ijin pengelolaan di kedua Wilayah. Namun perkembangan berbeda terjadi di kedua wilayah tersebut. Kesamaan pada pengalaman sebagai wilayah expansi pengusahaan hutan oleh korporasi besar diwilayah ini tidak serta merta memberikan semangat yang sama untuk mendorong kemandirian pengelolaan hutan di tingkat masyarakat adatnya. Proses lanjutan pasca penetapan SK Hutan Desa di Kaimana tertunda sedangkan di Sorong Selatan kegiatan tersebut terus berlanjut dengan target-target pengusulan ijin pengelolaan yang disepakati bersama masyarakat. Tentunya menarik untuk melihat lebih jauh kenapa kemudian perkembangan berbeda terjadi pada kedua wilayah tersebut yang sejak awal proses inisiasi difasilitasi aktif lewat support pendanaan dari Lembaga Non Pemerintah.

Lihat juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2010/09/membangun-peta-jalan-pembangunan-hutan.html

Refleksi, review dan diskusi dengan teman-teman pendamping yang dilakukan selama Tahun 2012 – 2017 menunjukan bahwa setidaknya ada 7 prasyarat utama yang memungkin pembangunan Perhutanan Sosial berjalan efektif di Papua Barat yaitu:
  1. Klarifikasi dan pengakuan hak atas ruang adat serta mendudukan pemahaman dasar tentang konteks legal pengelolaan sumber daya hutan didalam claim hak adat yang kuat. 
  2. Konsolidasi social, kepemilikan pekerjaan di tingkat masyarakat dan pembangunan pra kondisi di tingkat masyarakat termasuk penyamaan perspective dan visi business kehutanan di di tingkat masyarakat.
  3. Peran dan partisipasi aktif pemerintah sebagai aktor utama yang mendorong fasilitasi aktif semua pekerjaan terkait hutan desa di daerah. 
  4. Pemenuhan prasyarat teknis dan legal sebagai kebutuhan pengusulan penetepan areal kerja sampai dengan kebutuhan pengelolaan wilayah. Dinis juga back up regulasi daerah yang mendukung pembangunan Perhutanan Sosial.
  5. Kesiapan tenaga pendamping dalam hal pengetahuan issue, kebutuhan teknis dan teknis fasilitasi masyarakat. 
  6. Kepastian dukungan pendanaan dan prioritas support yang disediakan secara local melalui pendaan pemerintah 
  7. Potensi hasil hutan yang siap dikelola dan secara ekonomi memberikan manfaat untuk mendorong perubahan kesejahteraan masyarakat di kampung. 

Pendampingan dan support secara berlanjut dalam strategi transfer pengetahuan dan kemampuan kepada masyarakat dan konsolidasi internal di tingkat masyarakat untuk menjalankan pekerjaan Hutan Desa atas dasar kebutuhan adalah hal-hal mendasar yang tidak berjalan optimal di Kaimana. Kami belajar bahwa perhatian pemerintah yang minim, respon masyarakat yang masih melihat inisiatif hutan desa dari sisi project NGO dan gagalnya fasilitator menjalankan fungsi dan peran pendampingan yang baik adalah factor dominan kenapa kemudian hutan desa Esania harus tertunda proses lanjutan. Hal sedikit berbeda terjadi di Sorong Selatan, dimana proses pendampingan, peran aktif pemerintah daerah dan UPT Kementerian Kehutanan serta peran aktif beberapa masyarakat telah mendorong proses persiapan, usulan penetapan areal kerja sampai dengan persiapan pengelolaan sampai saat ini masih berjalan. 

Baik Kaimana maupun Sorong Selatan memberikan ruang dan kasus belajar yang baik untuk inisiasi-inisasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Papua. 7 prasyarat pemungkin diatas perlu menjadi pilar dan rujukuan untuk menguji sejauhmana pilihan skema legal dan kondisi pendukungnya telah siap dan akan memberikan pengaruh penting pada pembangunan skema pengelolaan hutan di Tanah Papua. 


Aspek kemandirian pendanaan local dan mekanisme pendanaan yang harus dikembangkan oleh pemerintah untuk memberikan support aktif kepada inisiatif yang muncul juga menjadi sumber daya pendukung utama yang harus disediakan untuk mensupport keseluruhan proses fasilitasi hutan desa. Pengalaman Samdhana di Kaimana menunjukan bahwa untuk memenuhi semua kondisi pemungkinan diatas paling tidak membutuhan kurang lebih 2,5 milliar rupiah – 3 milliar rupiah untuk memfasilitasi pekerjaan teknis dan social untuk memenuhi kewajiaban legal yang dipenuhi masyarakat. Serta proses pendampingan yang harus dilakukan minimal 3 – 5 tahun untuk mengukur progress perubahan pada aspek social, ekonomi di tingkat masyarakat.