My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Senin, 18 Oktober 2021

Aya Mbefo – Penjaga Burung Chendrawasih di Kampung Iwin, Tambrauw

 Photo: Aya Mbefo, di lokasi pengamatan burung chendrawasih di Kampung Iwin. Tambrauw


’bahhhh… bahaa… bahhh babaaaa… ha ha ha ha” suara dan gerakan isyarat penuh semangat dicampur tawa keluar dari lelaki muda yang ternyata seoarng difable bisu dan tuli ini. Dengan gaya khas seorang difable tuli-bisu dia menceritakan kepada saya tempat bermain burung cendrawasih serta berusaha menjelaskan banyaknya jumlah, jenis burung-burung ditempat itu dan menginformasikan kapan waktu terbaik kita mengunjungi tempat itu.

Di ujung pertemuan sore itu dia menganguk sambil menunjukkan thumb (ibu jarinya) tanda setuju akan menemani kami di pagi hari melihat Burung Chendrawasih. ‘Deal?”….. Kami berjabat tangan tanda bersepakat dengan semua pengaturan untuk pengamatan Burung Chendrawasih di kampung iwin dengan tour guide kami seorang difable – tuli dan bisu. Ini akan menjadi pengalaman pertama saya yang menarik.

……….

Lelaki muda difable ini bernama Septinus Bofra. Bofra merupakan salah satu marga asli di Suku Miyah yang mendiami kampung Iwin dan Fef di Kabupaten Tambrauw. Lokasi tempat pengamatan Burung Cendrawasih yang hendak kami kunjungi juga berada di kampung Iwin, Distrik (Kecamatan) Fef Kabupaten Tambrauw yang merupakan bagian dari tanah adat Marga Bofra.

Sehari-hari masyarakat di Fef, Iwin dan kampung-kampung sekitar memanggilnya dengan nama ‘Aya Mbefo’. Aya Mbefo merupakan panggilan yang awalnya diberikan oleh sang Kakek untuk mengenang kejadian banjir yang melanda dusun mereka dan hampir menenggelamkan Septinus yang waktu itu masih berusia belum genap 2 tahun. Aya Mbefo dalam Bahasa Suku Miyah berarti ‘air sampai disini’. Akibat kejadian ini air sampai masuk ke telinga dan rongga mulut Septinus dan merusak pita suara dan gendang telinganya. Kejadian ini yang diyakini menjadi penyebab Septinus tidak dapat mendengar dan berbicara.

Perjumpaan dengan Septinus sebenarnya tidak kami rencanakan, karena yang kami cari diawal adalah Albert Bofra; Abang (Kakak) dari Septinus. Albert sudah lama kami kenal sebagai tour guide pengamatan Burung chendrawasih di sekitaran Distrik Fef. Namun, karena Albert sedang berada di Kota Sorong dan tanpa disengaja kami bertemu Septinus di warung kopi sehingga pengalaman terbaik ini datang dengan komunikasi-komunikasi bahasa isyarat Ala Septinus.

………………

Perjalanan ke lokasi pengamatan Burung chendrawasih hanya berjarak 15 menit menggunakan mobil dari Fef, Ibu Kota Kabupaten Tambrauw. Lokasi pengamatan yang sangat dekat dengan jalan ini menjadi potensi tersendiri karena tidak butuh upaya extra untuk mencapainya. Namum ancaman perburuan liar juga dirasa sangat mungkin terjadi apabila proteksi dan pengamanan wilayah tempat bermain burung chendrawasih ini tidak dilakukan dengan benar. Marga Bofra sebagai pemilik hak ulayat sepertinya telah bersepakat untuk mempertahankan wilayah ini sebagai zona lindung adat untuk melindungi tempat bermainnya burung chendrawasih.

Dengan gerak khas seorang tuli-bisu Aya Mbefo menunjukkan isyarat larangan penebangan pohon dan penggunaan senjata api di tempat main Burung Chendrawasih. Dia juga menunjukkan warna pada baju-nya dan baju kami untuk menjelaskan beberapa jenis Burung chendrawasih lain dengan berbagai warna yang bisa dijumpai disekitar hutan ini. Saya pun belajar dari Pak Viktor Tawer – staff Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tambrauw yang ikut dalam trip ini bahwa Aya Mbefo adalah seorong yang pandai berburu dan sangat paham hutan-hutan sekitar iwin yang menjadi wilayah jelajahnya. Yang cukup mengagumkan adalah pada saat berburu Aya Mbefo dibantu anjing yang lebih dulu mengejar buruan dan dia tempat dimana anjing itu berada hanya dengan menaruh telinga tangannya ke tanah ---

Hhmmmmnnn.. jadi dia bisa mendengar? Ternyata tidak, interaksi Aya Mbefo dengan anjing buruan sejak kecil mengasah skill indraperasa getaran yang sangat tajam – hanya dengan menaruh telinganya ke tanah. Sungguh hebat.

…………….

Di akhir perjalanan kami, Aya Mbefo berpesan agar tolong bantu dia dan komunitas adat Marga Bofra melindungi hutan ini. Dia sangat senang apabila lebih banyak orang (wisatawan) yang dapat dia temani berkunjung ke tempat dia menikmati chendrawasih. 

Minggu, 28 Februari 2021

Pemimpin Perempuan, di Tengah Patriaki Sistem Pemilikan Hak Ulayat di Papua

Cerita dari Musyawarah Adat 11 Marga di Distrik Mare, Kabupaten Maybrat. Papua Barat


Mama Saferia Auria Baru, Tua Adat Marga Ro, Mempresentasikan Boo Watum Rateu,
dan Boo Watum Tabam Marga Ro pada Musyawarah Adat.


11 Marga di Suku Mare pemilik hak ulayat di Kampung Suswa, Kombif dan Bakraby Distrik Mare, Kabupaten Maybrat berkumpul, mengikuti seminar sehari, menuliskan cerita sejarahnya, menggambarkan sketsa wilayah adatnya dan saling melakukan klarifikasi terhadap data sosial dan sketsa wilayah adat yang dilakukan. Draft awal data sosial bersama dengan data teknis telah dicapai dan menjadi modal penting bagi panitia dan ke-sebelas marga untuk melanjutkan fasilitasi pemetaan sampai dengan sidang adat penyepakatan batas yang merupakan akhir dari proses fasilitasi ini.


Musyawarah adat ini merupakan upaya masyarakat adat 11 Marga di Mare menjaga tanah, nilai adat, budaya, bahasa dan sumber daya yang dimiliki untuk merespon cepatnya introduksi nilai sosial baru, perluasan pembangunan dan kepentingan investasi dalam rangka pemerataan ekonomi di tanah Papua.


Marga Ro adalah 1 dari 11 marga yang terlibat. Sejarah, silsilah dan simbol-simbol (boo watum rateu) serta wilayah adatnya (boo watum tabam) dimusyawarahkan di pertemuan adat ini. Yang menarik adalah tua adat Marga Ro sekaligus coordinator marga adalah Mama Saferia Auria Baru, perempuan berusia 58 Tahun. Dia mewakili Marga Ro, pemilik hak dan wilayah adat sebelah utara sungai Auk. Kehadiran Mama Auria, memberikan warna tersediri didalam musyawarah adat kali ini, karena dia satu-satunya tua adat perempuan yang menjadi juru bicara diantara tua-tua adat dan koordinator marga yang lain yang semuanya adalah laki-laki.


Sama seperti Sebagian besar masyarakat adat di Papua, masyarakat Suku Mare - Maybrat sebenarnya mengadopsi patriaki system. Namum saat ini sudah tidak ada warga yang menggunakan Marga Ro karena tidak ada keturunan laki-laki yang dimiliki di beberapa generasi yang lalu. Mama Saferia Baru adalah keturunan dari perempuan Marga Ro yang menikah dengan laki-laki bermarga Baru dari Kampung Asyon di pegunungan Tambrauw. Dia berdiri sebagai juru bicara dan tua adat marga di musyawarah adat ini karena Abang-nya telah meninggal 12 tahun yang lalu.


Keikutsertaan Mama Auria, pemahamannya tentang sejarah, debat-debat yang terjadi didalam musyawarah adat tentang hak adat, sejarah dan hubungan keluarga menjadi catatan penting peran perempuan dan kedudukan sosialnya dalam satu komunitas adat.


Berdiri di Sungai Auk, Mama Auria menunjukan titik batas adat bagian selatan dari Marga Ro. Titik itu berada di Kampung lama Suswa yang pada tahun 1959 misionaris belanda membangun landasan terbang perintis untuk tujuan pelayanan pastoral, kesehatan dan pendidikan. Dari kampung lama, mama Auria menyebutkan beberapa titik batas wilayah adatnya seperti Keek, Kuom dan Bireuk – gua menuju sungai bawah tanah. Kemudian titik utara batas Marga ro adalah Fituon Frakorin yang merupakan bagian dari pegunungan Tambrauw yang terletak di Distrik Ases dan Fnue dan Bamuo yang merupakan titik batas disebelah timur. Setiap titik ada ceritanya dan semuanya disampaikan dengan baik oleh Mama Auria. Informasi cerita titik-titik tersebut menjadi bahan bagi Mama Auria bersama keponakannya Agustinus Baru mempersiapkan presentasi di Sidang Adat.


Dari Musyawarah Adat di Distrik Mare, ada pembelajaran baru tentang posisi dan peran perempuan dalam pengaturan hak adat atas tanah, pengaturan pengelolaan dan kendali sosial hubungan antara marga. Wilayah adat marga-marga di Kampung Suswa, Kombif dan Bakraby distrik Mare yang disedang dipetakan menurut sejarah dimiliki oleh banyak marga-marga yang sudah ‘hilang’ karena tidak memiliki garis keturunan laki-laki. Ini Mungkin yang menjadi alasan tingginya penghormatan terhadap posisi perempuan dan keterbukaan ruang bagi perempuan untuk membicaran hak adat atas tanah dan sumber daya alam.

Selasa, 30 April 2019

Pengakuan dan Perlindungan Legal Hak Dasar dan Aset Masyarakat Adat Sebagai Fondasi Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat


Tanggal 20 Maret 2019 melalui proses Paripurna, DPRD Provinsi Papua Barat telah menetapkan 7 RAPERDASUS[1], salah satu diantara ketujuh RAPERDASUS tersebut adalah RAPERDASUS tentang Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat. PERDASUS ini hadir sebagai bagian dari upaya Pemerintah Provinsi Papua Barat menjalankan Amanat dari Pasal 43 dari UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Berpijak pada kondisi de facto dimana klaim hak atas wilayah adat oleh masyarakat adat di Papua sangat kuat, regulasi PERDASUS yang ditetapkan diharapkan berdiri sebagai payung pelaksanaan pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua di Provinsi Papua Barat.

Photo: Sekda Provinsi Papua Barat (Kiri) Mendampingin Ketua DPRD Provinsi Papua Barat (Kanan) mendandatangani berita acara hasil pleno 7 Raperdasus Papua Barat. Sumber: papuakita.com 


Berdasarkan Peta Wilayah Budaya yang di overlay dengan peta batas administrasi Provinsi Papua Barat diketahui bahwa Papua Barat berada pada 3 wilayah budaya di Papua yaitu Domberai, Bomberai dan Saireri. Dimana: Wilayah Domberai mencakup: Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Raja Ampat, Manokwari, Manokwari Selatan, Sorong Selatan, Maybrat dan sebagian Kabupaten Bintuni dan Teluk Wondama. Wilayah Bomberai mencakup: Kabupaten Fakfak, Kaimana dan Sebagian Teluk Bintuni. Dan Wilayah Saireri mencakup Sebagian Kabupaten Teluk Wondama.

Kompilasi sementara yang dilakukan berdasarkan Stock Taking Diskusi “Menyusun Peta Jalan Pendaftaran Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat”[2] tercatat terdapat kurang lebih 35 Suku Besar di tiga wilayah budaya di Provinsi Papua Barat. Didalamnya terdapat beberapa Sub Suku dan ribuan marga yang secara sosial memegang otoritas penuh dalam pemilikan dan penguasaan wilayah adat. Bentuk pemilikan dan pengusaan wilayah adat bersifat patrilinear dimana garis keturunan laki-laki di diakui sebagai pewaris wilayah adat. Sekalipun pada beberapa suku pembagian pemilikan dan penguasaan antara laki-laki dan perempuan juga terjadi dan teratur secara baik tanpa konflik.


Kehadiran PERDASUS Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat membuka pintu untuk langkah baru dalam menjawab persoalan-persoalan pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat yang selama ini dinilai belum baik dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Secara ringkas terdapat 6 persoalan dan tantangan mendasar dalam melaksanakan PERDASUS pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di Papua Barat, yaitu: 


  1. Belum tersedianya data dan informasi yang lengkap tentang masyarakat adat dan wilayah adat-nya. Jumlah data spasial, narasi dan tabulasi informasi sosial dari masyarakat adat dan wilayah adatnya masih sangat minim dan cenderung tidak bisa di temukan di pemerintah. Salah satu ukuran ketidakseriusan dalam urusan data adalah referensi jumlah suku yang tidak konsisten antara beberapa sumber yang terpublish dan menjadi referensi. Peta wilayah adat untuk semua suku juga belum semuanya selesai. Berdasarkan update Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) di situ www.brwa.or.id bahwa baru 1 sub suku yaitu Sub Suku Moi Kelim dari Suku Moi di Kabupaten dan Kota Sorong yang pemetaan-nya telah terverifikasi selesai. Selain daripada data spasial tentang wilayah adat, keterbatasan data tentang potensi sumber daya alam dan kajian-kajian lanjutan tentang peluang pengembangan ekonomi masyarakat adat juga sangat terbatas. Sehingga formulasi scenario pembangunan ekonomi masyarakat adat berbasis pada potensi di setiap wilayah adat dan kekuatan sosial masyarakat adatnya tidak banyak tersedia.
  2. Keterancaman Kehilangan Tanah Adat dan Kehilangan Nilai Manfaat Wilayah Adat. Bagi beberapa komunitas adat, regulasi PERDASUS yang baru ditetapkan dianggap sangat terlambat dihadirkan, karena sebagian dari mereka telah kehilangan hak atas wilayah adat sebagai akibat dari expansi investasi dan pembangunan. Bahwa ruang-ruang hidup dan ruang kelola yang menopang ekonomi mereka telah menjadi milik pihak lain. Atau kondisi-nya sudah rusak dan tidak produktif sekalipun masih dimiliki/dikuasai oleh masyarakat adat. Munculnya gerakan sosial di masyarakat adat dengan berbagai aksi penolakan dan perlawanan terhadap investasi adalah salah satu wujud/bentuk dan dari perasaan terancam[3]. PERDASUS sendiri perlu menjadi payung hukum dalam mengatur tentang penggunaan, pemanfataan wilayah adat yang tetap menjaga nilai manfaat utama wilayah adat bagi masyarakat.
  3. Konflik Internal di Masyarakat Adat dan kemajemukan Lembaga Adat. Beberapa pihak mengatakan bahwa salah satu alasan kenapa pembangunan tidak berjalan optimal karena konflik klaim hak atas wilayah adat antar masyarakat yang tidak selesai. Ketidakpastian keamanan tenure hak atas tanah cenderung mempengaruhi keputusan pihak luar untuk membangun di Papua. Kondisi ini pada beberapa kasus diperparah dengan ketidakaktifan Lembaga Adat. Regulasi PERDASUS yang baru ditetapkan akan bergerak efektif apabila ada kelembagaan adat yang kuat mengorganisir masyarakat adat-nya untuk mengetahui pijakan hukum proteksi hak mereka dan memfasilitasi pelaksanaan upaya-upaya perlindungan tersebut. Fakta bahwa terdapat beragam Lembaga Adat dengan garis koordinasi dan komunikasi yang tidak saling sambung menjadi persoalan khusus yang harus ditata. Ditambah lagi dengan orientasi dan misi dari Lembaga Adat yang pada beberapa kasus keluar dari kesakralan urusan adat menciptkan kesan bahwa ‘adat’ adalah komoditi untuk kepentingan tertentu. Setidaknya ada 5 bentuk kelembagaan adat yang dominan kita jumpai di Papua Barat, yaitu: LMA (Lembaga Masyarakat Adat), DAP (Dewan Adat Papua), DPMA (Dewa Persekutuan Masyarakat Adat), DAS (Dewan Adat Suku) dan Kepala Suku. Kesemuanya berdiri dengan kiblat dan mashab masing-masing, namun dengan basis konstituen masyarakat adat yang cenderung sama. Pengunaan nama juga cenderung membingunkan; ada yang menggunakan nama Suku, Ada yang menggunakan nama Kabupaten atau kota bahkan ada yang menggunakan nama dengan istilah tertentu yang diambil dari Bahasa daerah setempat. Carut marut kelembagaan adat ini berimplikasi pada kurang efektif-nya layanan kepada penyelesaian sengketa tanah adat. Pelaksanaan PERDASUS di Papua Barat perlu di kemas secara baik untuk memastikan keberagaman ‘mashab’ Lembaga adat dapat terkelola dengan baik untuk mendukung masyarakat adat konstituen-nya.
  4. Minim regulasi, belum jelas tata Layanan Urusan Masyarakat Adat Papua di Pemerintah Provinsi Papua Barat. OTSUS sejauh ini diakui hanya menjebak pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat dari segi jumlah uang yang harus di habiskan dengan ukuran fisik dan makro impact dari distribusi uang tersebut[4]. Masih banyak masyarakat adat Papua dengan keterbatasan pemahaman dia tentang OTSUS menilai kebijakan ini telah gagal dan tidak mampu menjawab persoalan di Papua. Hal mendasar yang menjadi penyebab ‘kegagalan’ ini adalah kekosongan dan ketidakjelasan tata layanan urusan masyarakat adat Papua di Pemerintah Daerah Provinsi. Sejak diberlakukannya UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah yang kemudian oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat di tindaklanjuti dengan penetapan PERDA No 07 Tahun 2016 Tentang Organisasi Perangkat Daerah di Provinsi Papua Barat setidaknya adalah 5 OPD dan Biro yang beririsan kuat sebagai OPD kunci dalam pelasakaan PERDASUS Tentang Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat yaitu: Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan, Dinas Kehutanan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung, Biro Otonomi Khusus dan BAPPEDA - Bidang OTSUS. Secara politis kelima OPD/Biro ini secara kuat di tunjang oleh MPR PB dan DPRD Fraksi Otsus. Yang artinya kekuatan kelembagaan di Pemerintah Provinsi Papua Barat sudah cukup kuat. Tinggal kemudian membangun koordinasi dan komunikasi yang efektif antar OPD, Biro, Lembaga Kultur dan Legislatif dalam pelaksanaan PERDASUS. Keterbatasan kapasitas, pemahaman dan paradigma kerja yang bias pada pelaksana tugas di OPD, Lembaga dan Biro tersebut diatas kemudian makin memperparah persoalan di level tata layanan.
  5. Sinergitas Kebijakan di Kabupaten Kota dengan Regulasi di Tingkat Provinsi. Sebelum RAPERDASUS Masyarakat Adat dan Wilayah Adat ditetapkan, ada 3 Kabupaten yang telah lebih dulu maju dan menetapkan regulasi daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Sorong, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Teluk Bintuni (lihat table di lampiran 2). Kehadiran PERDASUS sediannya memperkuat regulasi-regulasi ini dan bukan sebaliknya menggugurkan pelaksanaan dari regulasi-regulasi tersebut. PERDASUS perlu berdiri sebagai panduan dan kerangka hukum di tingkat Provinsi untuk membangun layanan terhadap pelaksanaan dari regulasi-regulasi yang sudah di tetapkan di tingkat kabupaten/kota.
  6. Belum ada konsep membangun ekonomi daerah berbasis kekuatan sosial adat dan potensi di masyarakat adat. Pemerintah cenderung melihat masyarakat adat sebagai subject sosial yang lemah, miskin, tak berdaya dan kurang pengalaman. Pendekatan pembangunan ekonomi berbasis teori modern sejauh ini cenderung mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait pembangunan ekonomi daerah dan investasi[5]. Minimnya asistensi dan bentuk capacity development ke masyarakat yang didesain berdasarkan kekuatan sosial budaya. Program-program pemerintah cenderung bergerak tanpa konsep dan mekanisme pembangunan ekonomi masyarakat adat yang telah diuji. Yang terjadi kemudian adalah meningkatnya ketimpangan sosial antara masyarakat adat Papua dengan para pelaku ekonomi luar yang masuk ke Papua. Secara makro, pemerintah patut berbangga bahwa angka kemiskinan di Provinsi Papua Barat bergerak turun, begitu juga IPM dan pendapatan per kapita penduduk di Provinsi Papua Barat bergerak naik. Tetapi pemerintah mungkin tidak jeli melihat angka lain bahwa pertumbuhan penduduk di Papua Barat juga mengalami peningkatan yang besar seiring dengan migrasi penduduk yang meningkat. Yang artinya kemungkinan IPM dan income perkapita yang meningkat di Papua Barat adalah pengaruh dari jumlah migrasi dengan kualitas pendidikan dan level ekonomi yang mapan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup masyarakat adat Papua mungkin masih rendah karena tidak ada analisis kondisi micro pada skala masyarakat adat Papua yang keluar angka real statistiknya[6]
Photo: Demo Masyarakat Adat Papua di Depan Kantor UPT KLHK, di Jayapura. Sumber: https://inakoran.com/tuntut-hutan-adat-warga-papua-gelar-demo-di-kantor-klhk-papua/p8437 

Jadi kemudian pertanyaan-nya apa saja yang harus dilakukan agar operasionalisasi PERDASUS Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat dapat berjalan sesuai harapan?

Melihat kembali pengalamana fasilitasi kerja-kerja tenurial yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dan lembaga adat yang selama ini berjalan, beberapa point berikut sepertinya perlu menjadi perhatian serius:
  • Memulai dengan data yang lengkap dan akurat. Pemerintah tentu sadar bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang benar harus beranjak dari data yang lengkap dan akurat. Tanggung jawab besar yang harus dilakukan bersama oleh pemerintah provinsi Papua Barat adalah memastikan data dan informasi tentang masyarakat adat dan potensi-nya tersedia secara lengkap dan terupdate secara berkala. Kegiatan pemetaan wilayah adat, kajian sosial dan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat didalam wilayah adat-nya adalah kegiatan-kegiatan yang harus mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah daerah.
  • Melakukan penetapan legal keberadaan masyarakat adat dan hak-nya atas wilayah adat, serta memberikan proteksi akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam yang dimiliki. Kontestasi klaim antara pengaturan hutan dan lahan menurut negara dengan de facto klaim hak atas tanah adat harus dijembatani dengan pengembangan regulasi-regulasi, tata layanan dan supervise yang kontinyu[2]. Pemerintah daerah provinsi Papua Barat harus juga bisa membangun system pendaftaran wilayah dan asset adat yang membantu masyarakat adat dalam meregistrasi hak-nya untuk dicatatkan dalam buku negara. PERDASUS yang telah ditetapkan tentu baru akan bisa operasional kalau kelengkapan regulasi pelaksana dan unit layanannya telah terbangun di Provinsi Papua Barat[7]
  • Melakukan penataan dan revitalisasi kelembagaan adat, membangun koordinasi yang efektif untuk mendorong kerja-kerja Lembaga adat yang tepat dalam ‘mashab’ kesakralan adat menjadi pekerjaan besar yang harus bisa dimulai. Kelembagaan adat yang kuat akan berimplikasi pada pembinaan dan pengorganisasian masyarakat adat yang efektif.
  • Membangun konsep, model dan scenario pembangunan ekonomi berbasis masyarakat adat. Kombinasi antara kekuatan sosial masyarakat dengan teori dan praktek ekonomi modern perlu di cari pola-nya sehingga proses pendampingan dan asistensi kepada masyarakat adat dilaksanakan dengan tepat berbasis pada budaya dan potensi lokal yang dimiliki.
  • Mengembangkan paket peningkatan kapasitas dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia di masyarakat adat yang siap bekerja mendukung upaya-upaya perlindungan, pengakuan dan pemberdayaan masyarakat adat.
  • Pelaksana program/kegiatan di pemerintah daerah juga perlu merubah paradigma dan budaya kerja serta meningkatkan kapasitas-nya untuk mampu memahami karakter masyarakat adat, akar persoalan sosial ekonomi dan budaya yang dihadapi. Sehingga formulasi kegiatan dan bentuk pembinaan yang diberikan kepada masyarakat adat dilakukan dengan tepat dan efektif.




[2] Wanenda Nicolas, Yunus Yumte, 2019. Laporan Pendahuluan. Menyusun Peta Jalan Pendaftaran Hak Atas Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat. 

[6] Review dokumen PAPUA BARAT DALAM ANGKA 2015, PAPUA BARAT DALAM ANGKA 2016, PAPUA BARAT DALAM ANGKA 2017.  https://papuabarat.bps.go.id/
[7] Minutes meeting dengan Kepala Biro Hukum Provinsi Papua Barat, 19 Februari 2019 – Hotel Valdos, Manokwari



Selasa, 07 Agustus 2018

"Gunmemans" 13 miles Trail in Manowkari

It was a sunny in on the Sunday of August August 5th when I decided to walked again to one of my favourite Manokwari City trail - Gunung Meja. But this sunday I was thinking to explore another trial package to connect two icon of Manokwari tourism destination: Gunung Meja and Mansinal Island. So I named my trail as Gunmemans trail - or Gunung Meja - Pulau Mansinam trail. Sounds funny yeah? :-). Well at least may be I was the 1st man to name this trail. Hehehehe.

As usual the trip began in the Jl. Gunung Salju Amban, follow the smooth road (this is good now) of UNIPA student houses and get to the broken entrance doors of Gunung Meja park. As some of you could found in my previous story, it was so sad that nothing much change in this mountain after almost a year I'm not doing a trail here again. The new fancy thing I found was a big billboard mentioning the lists of species and short notices of warning to the visitors. This is a critical prove showing that many forester and forestry officers in Manokwari not actually success or care about forests. I took an hour long walks through the main roads of Gunung Meja. Sometime I stopped in several points while waiting for the Birds. I heard some voices and saw some birds which I don't know what is it species - but at least I learned that I needs a bird guide book and binocular despite of I'm a real bird watcher.

This sunday I spent 4 hours walks taking about 13 miles trip from Gunung Meja to the Mansinam Island. I chosen to explore another spot of snorkelling in Manokwari that I'm not visited yet so I took long trip to the south end of the Island. I found the good recommended snorkelling spots. Even though I wasn't lucky yet because when I got the beach, the wave and winds were high.


The new found trail provides a goods scene of Manokwari, the roads connecting Gunung Meja and short walk to the wooden pier to get Mansiman are so beauty. The full pictures of forests in Gunung Meja, the Japaness Monument, Birds playing, winds by the sea, island landscape, whites sand beaches and beautiful corral reef are the full potency. Japaness cave monument was the witness of war world two. Few meter after the exit gate of Gunung Meja, I stopped in the hill of Bupati House where I enjoyed the bright view of Manokwari city roads, beach and houses are clearly seen from this hill. Quite place with smooth roads and beautiful panoramas in this hill made me relax for a while before continued my trip through Kampung Ambon to the to kwawi - the pier to get Mansinam.

And of course it is cheap. I only spent at leasts 30,000 Rupiah or about $ 2USD for the full day fun ---- it is because I brough waters and foods in my bag. :-) --- that certainly the recommended options for the cheapest trail as I always do. This amount are to covers the round trip boats and the 'Ojek" to get back to the houses.


I totally recommend this trail for you visits Manokwari and consider to spent half day enjoy the forests, island and the beach of Manokwari. 

Sabtu, 28 Oktober 2017

Acceleration of Customary Boundary Mapping for the Revision of West Papua Province Spatial Plan

Keys messages: 
  1. It is crucial for the government both province and district level to established the regulation that recognize and protect the rights of Papuan IPs and their assets in West Papua. 
  2. Sets up mechanism, procedures and system of integrating rights into official land use and forests development are crucial in West Papua to enable administrative security and arrangement towards right of IPs and their mission to manage their resources. 
  3. A multi stakeholder platform is urgently needed in province to works on acceleration customary boundary mapping (at tribes and clan level) and continues mentoring and capacity building to customary community organisation/assembly to be able to take parts in the current development demand.


Coalition of CSO/NGO in West Papua whose works for IPs Land Right issue on their last meeting has criticized the development and implementation of West Papua spatial plan that not transparent and ignores the participation of the public as mandated in National Spatial Plan Law - law no 26 of 2007. This plan also considered has ignore the existance of Papuan IPs and their legal right as regulated in Special Autonomy Law - Law No 21 of 2001 and it doesn't clearly regulate about the position, roles and benefits to the IPs. They also criticized that the plan are tend to reflect the interests of policy makers and natural resources extractor concession without build proper safeguard system to the community and environment. By the time according to them massive social and environmental destruction will happen if the government not doing quick revision, evaluation with this facts.

The conversion of Forests for the Residences Building in Manokwari 

West Papua Province Government is been challenged and called to re-build the proper spatial plan development that reflect both economic growth interests with the protection of IPs right and environmental function. This should works in participatory approaches by enggaging different stakeholder includes IPs in the development. Now days problem in poverty and inequity of benefit can become the starting points to reflects on the revision process. Stakeholder needs to come with the same understanding that "forests is about us, sustainability is about future and benefits is about community". In this dilemma, of course both NGO/CSO Coalition and government needs to seats in one table to discuss and formulates what tools do they use and apply to ensure the revision of spatial plan are reflected the worries about social and environmental collapse in the province.

CSO/NGO should also be brave to says that integration and acceleration of customary boundary maps can helps government get the information about community, their land uses practices and their vision of management. So land allocation, protection and production zone in the spatial plan also reflect to the community interest and their long term management vision. Customary boundary mapping has widely applied in West Papua for about 15 years with several key results. From my data, about 8 organization have worked for in the last 8 years and produced 1,2 million ha of tribes customary boundary maps or about 12% of total west Papua Province administrative area. As addition about 11 clans boundaries have also been mapped. Some of them in the cases of Sira and Manggroholo village in South Sorong, were used by the communities to get legal access to manage the resources in their customary territory. Of course the homework now is about mainstreaming and integrate mapping in the government agenda for spatial plan and the detail land uses plan implementation.

See: https://tapakbatas.blogspot.co.id/2017/09/ingin-tahu-apa-saja-pendekatan-pemetaan.html


Spatial Plan and Demand on Land For The Development 

As the poor and backward region in Indonesia, the government has putting a lot of attention and funding to speed up the growth and access of benefit to the people. Infrastructure building, providing of public facilities and establishing of new autonomy region are came of as the priorities for Papua. Direct implication of this policy and priorities program are definitely in increasing demand to land and resources that support the the acceleration of the development and target of economic growth. Here the spatial plan playing it crucial roles to frame and regulate extent to which are land allocation can be applied but not create new social and environmental problem.

West Papua spatial plan has moved with the official judgement by the approval of Provincial Regulation No 4 of 2013. No proper consultation, public assessment and landscape check had been criticized as the act against the big spatial plan law. the exclusion of IPs participation for the Papua People Assembly (MRP) was the ignorance of the the right if Papua IPs. No information about IPs right was emphasized that government is not serious see Papuan as the land lord and owner of the resources - express the MRP representative in the CSO/NGO Meeting, 2014. This ignorance will lead to serious impact especially social conflict that may easily to appear when there is any development that applied in one particular areas with out proper FPIC and negotiation to the appropriate right holder.

It was an ironic; by the time IPs land right information are missing, the government prioritized the allocation of land and forests to the attractive concession by inviting them in putting their data and information. Allocation of forests function (protection, production and no forests allocation) are highly influenced by the active plan and on going demand from private concession. As reported by Forests Designation Body (BPKH) on their 2015 report that there are 18 active logging concession in the areas of 2,595,940 ha and allocation for non forests uses (plantation) in the areas of  356,436.10 belong to 23 concession.

By the time Provincial Government conducted the public assessment there was not any intend to seats with keys government leader and stakholder whose working on the ground to create project of forests allocation for community. Gaps between village development units, protection of communities assets and simple thinking of big concession driven on economic growth seem has putted aside the willing to to analysis on how pro community forestry or pro community land uses program must be included in the provincial development plan.

As addition to that the decentralize and village development priorities has emerge as another layers of spatial development challenge. Establishment of new village, sub districts and even demand of new province have and will directly implicates to the forests reserve and the rights assets of IPs. In the last 10 years at leas there about about 5 new districts established in West Papua of of which hundreds of new villages and thousand KM of roads are build to connect the region. Tablod Jubi.com article of 26 February 2016 mentioned another new plan in the national government to establish 10 new autonomy region (District and provinces).

Process of Developing Customary Boundary Maps in Baliem Valley - PAPUA


Customary Boundary Mapping Can Be a Tool To Help Putting Community Land Right and The Resources Management Vision In The Official Land Use and Forests Development Plan

Papua Special Autonomy Law No 21 of 2001 word no 43 has straightly note that Papua and West Papua Provincial Government must recognize, protect, empower and promote the the right of IPs and legally access to manage the resources within their territorial right. So putting customary right and and the resources management vision of Papuan IPs in West Papua Province become the core part of implementing special autonomy law. Maps with all detail information it can presented has been acknowledge as the best tools to realize this. Proper customary boundary maps can provide at least information about : (1) who are the right holder, (2) local traditional community zoning, (3) important place for community both social and economic, (4) vision of long term resources management and (5) agreement from surrounding community to prevent land right conflict. In many cases maps and mapping process has become a vehicle to build the social unity and consolidation within customary community.

Until today, from my inventories there are 6 tribes and sub-tribes in west Papua those who territories have been mapped - of which they cover are of 1,2 million ha and cross over all forests function regulates by the government. One of which is Maps of Knasaimos Tribe in South Sorong where community in the tribes had long experienced with massive illegal logging and become a victim of forests concession. Mapping was initiated to protect their territories and puts sustainable vision to manage it. Until today two clan in Two villages: Sira and Manggroholo have moving with they 3,800 ha of Social Forestry Sites designated in 2014.

What NGO/NGO are learning from Knasimos is maps has lead to bring community engage in official forests development agenda has helps community to sets the sustainable use plan to generate economic and social benefit.

Integration of IPs maps into official forests and land use development plan in cases of Papua Province have helps government to control the allocation of land, optimizing the role of community to monitor the implementation of any particular forest and land uses concession and a reference to assess the division of forests function. Village development, security of land right assets have emerging as the new discources that the province government will do by using the customary boundary maps been developed so far.



Reference

Sabtu, 09 September 2017

Ingin Tahu Apa Saja Pendekatan Pemetaan Wilayah Adat Yang Selama ini Di Gunakan di Papua Barat?

Pekerjaan pemetaan batas-batas wilayah adat dan tata guna lahan masyarakat hukum adat di Papua sudah berberjalan cukup lama. Tematik peta yang dihasilkan juga beragam mengikuti kebutuhan masing-masing pihak yang mengembangkannya bersama dengan masyarakat adat yang membutuhkannya. Tentunya pemilihan pendekatan mana yang akan digunakan beranjak dari berbagai pertimbangan, seperti misalnya tujuan penggunaan peta, sumber daya yang dimiliki dan keterbatasan-keterbatasan yang berkembang di setiap wilayah yang terus maju dengan inisiatif pemetannya. Secara singkat matrix berikut menyajikan beberapa informasi dasar tentang berbagai pendekatan pemetaan wilayah masyarakat dengan tujuan, pendekatan dan cakupan data dan informasi yang disajikan didalam peta yang dihasilkan.

Matrix Informasi Pendekatan Pemetaan, Tujuan Penggunaan dan Contoh Hasil Petanya
Tematik Peta
Pendekatan dan Target Capaian
Contoh
Pemetaan wilayah adat skala luas  
Pendekatan pemetaan skala luas selama ini dipilih untuk menghasilkan peta batas luar suku dengan luasan yang besar dan terdiri dari beberapa kampong atau kelompok unit komunitas tertentu berdasarkan kondisi specific setiap komunitas. Output akhir dari proses pemetaan skala luas antara lain:
·        Peta teknis batas luar suku kesepakatan
·        informasi social/profile suku
·        konsolidasi komunitas suku/sub suku
Di Wilayah Sorong Raya, pendekatan Pemetaan Skala Luas dalam catatan Samdhana Institute baru pertama di implementasikan di Sub Suku Moi Kelim.



Facilitator: LMA Malamoi, AMAN, Samdhana Institute dan JKPP
Pemetaan Wilayah Adat Marga atau Sub Marga (Keret dan Mata Rumah)
Pendekatan pemetaan detail yang didalamnya ada kajian geneologisertasecara detail dan teliti menggali informasi tentang hak-hak marga atau sub marga tertentu. Pemetaan ini dipilih seiring dengan kebutuhan untuk menata ruang masyarakat untuk pengelolaan sumberdaya alam atau untuk kebutuhan resolusi konflik antar komunitas.
Peta Marga Kladit dan Marga Sremere di Kampung Sira dan Manggoholo, Sorong Selatan yang kemudian digunakan sebagai peta referensi untuk pengusulan Hutan DESA

Facilitator: Bentara – Papua dan Greenpeace Indonesia
PemetaanTempat-tempat penting masyarakat adat
Sebagaimana namanya, pemetaan tempat penting difokuskan pada identifikasi, pendataan dan pemetaan ruang-ruang penting milik komunitas seperti ruang budaya, ruang ekonomi dan ruang ekologi. Dimana ruang-ruang tujuan-tujuan perlindungan dan pengamanan terhadap ruang-ruang tersebut menjadi focus dalam penerapan pendekatan ini.
Contoh peta-peta tempat penting masyarakat di sepanjang Sausapor, Kwor, Abun sampai Saubeba

Facilitator: WWF – Indonesia Region Sahul. Kantor Sausapor.
Pemetaan Batas Kampung Adat
Pemetaan wilayah adat satu kampung yang mana fokus pada keseluruhan wilayah adat marga-marga yang secara adat hidup didalam satu kampung tersebut. Umumnya pemetaan wilayah adat kampung digunakan untuk tujuan perencanaan partisipatif pembangunan kampung, tujuan-tujuan penataan ruang administrasi kampung dan usulan-usulan pengelolaan potensi kampung yang dasar legal aturannya mensyaratkan lampiran peta administrasi kampung. Informasi-informasi yang disajikan didalam peta ini mencakup:
·        Batas wilayah adat yang sekaligus diakui sebagai batas administrasi kampung tersebut.
·        Tutupan wilayah kampung.
·        Geolokasi tempat-tempat penting milik masyarakat adat di kampung.
·        Informasi titik kampung dan fasilitasi sosial di kampung.
·        Posisi kampung dalam wilayah administrasi distrksi dan kabupaten.
Contoh: peta kampung Esania Distrik  Buruway Kabupaten Kaimana.

Fasilitator: PERDU, Samdhana dan JKPP
Pemetaan Indikatif Batas Wilayah Adat Suku dan Sub Suku


Pemetaan indikatif wilayah masyarakat adat mengandung pengertian kesatuan rangkaian kegiatan pemetaan sosial dan teknis yang dilakukan secara cepat, cakupan luas dan menyeluruhan tanpa detail fasilitasi teknis dan sosial yang padat untuk menyajikan data dasar tentang wilayah adat dan informasi sosial didalamnya. Pemetaan indikative wilayah adat dilaksanakan dengan tujuan menampilkan informasi dasar secara cepat tentang suatu komunitas adat dan wilayahnya untuk selanjutnya digunakan untuk fasilitasi detail pemetaan lanjutan. Pendekatan pemetaan wilayah indikatif wilayah adat masyarakat yang dilakukan secara benar dan baik akan menghasilkan beberapa data sosial dan data teknis sebagai berikut:
·        Distribusi suku, sub suku dan/atau marga didalam satu wilayah tertentu dan pola hubungan diantara mereka.
·        Distribusi kampung menurut suku, sub suku dan/atau marga tertentu.
·        Garis indikatif batas ruang hak suku, sub suku dan/atau marga tertentu.
·        Informasi sosial lain seperti pendidikan adat, kesenian adat dan pernak-pernik kekayaan intelektual adat yang menjadi simbol penciri dari komunitas adat tertentu.
Contoh: Peta Indikative wilayah adat Suku Abun dan Miyah di Kabupaten Tambrauw.

Fasilitator: AKA WUON, WWF, PEMDA Tambrauw dan Samdhana Institute
Kompilasi Peta Wilayah Adat Suku dan Sub Suku di Papua Barat

Semua pendekatan dan hasil yang diperoleh dari pemetaan-pemetaan ini tentu diharapkan menjadi titik maju dalam membantu masyarakat adat mengamankan secara legal hak dan asset adatnya serta memiliki rencana dan aktifitas pengelolaan yang berkelanjutan. Beberapa contoh peta wilayah adat sebagaimana di sebutkan diatas coba disajikan sebagai beriku ditambahkan dengan bagaimana peta-peta tersebut kemudian digunakan untuk kebutuhan pengamanan hak atas wilayah dan pengembangan lebih jauh untuk pengelolaan sumber daya alam didalamnya.

a. Peta Wilayah Adat Sub Suku Moi Kelim di Kabupaten dan Kota Sorong, Papua Barat 

Dimulai dari tahun 2013 hingga selesai di tahun 2014, peta Moi Kelim yang didalamnya terdapat 372 Marga dan lebih dari 80 kampung berhasil terpetak dengan luas mencapai 432,139.3 ha. Wilayah adat Moi Kelim membentang dari Kampung Mega Kabupaten Sorong di sebelah timur sampai dengan Kampung Matawolot di sebelah barat. Dan Batas laut daerah Raja Ampat di sebelah utara dan di sebalah selatan ujungnya di Sungai Klabra di Distrik Klabar. Pekerjaan pemetaan wilayah adat sub Suku Moi Kelim di Sorong Secara keseluruhan menggunakan pendekatan pemetaan Skala Luas (large scale mapping) yang diperkenalkan oleh Mac Chapin melalui ilmu besarnya di “Native Land”. Keseluruhan proses pemetaan dilaksanakan oleh Lembaga Masyarakat Adat Malamoi dengan Dukungan dari The Samdhana Institue, AMAN, JKPP dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong. Produk peta hasil pemetaan skala luas batas wilayah adat Moi Kelim Sorong disajikan pada gambar berikut:



b. Pemetaan Batas Wilayah Adat Marga Krimadi di Kabupaten Sorong Selatan

Selama periode September 2013 – 2016 kegiatan pemetaan batas Wilayah adat Marga dilakukan di Kampung Sira, Manggroholo dan Mlaswath, Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan. Beberapa marga sudah memiliki peta Wilayah adatya mencakup: Kladit, Sremere, Krimadi, Kaliele, Kemesrar dan Woloin Difasilitasi oleh Benara Papua. Keseluruhan Wilayah adat marga ini adalah bagian dari kelompok komunitas Knasaimos yang luas Wilayah adatnya mencapai 86,000 ha.

2 wilayah marga diataranya yaitu Kladit dan Sremere di Kampung Sira dan Manggroholo telah menjadi pilot lokasi pembangunan HUTAN DESA di Papua Barat yaitu: Hutan Desa Sira dan Manggroholo yang luasnya mencapai 3,800 ha. Penetapan areal kerja sudah di tetapkan oleh Menteri kehutanan di Bulan Oktober tahun 2014 dan kemudian SK Gubernur untuk Ijin pengelolaannya sudah juga dikeluarkan pada Bulan Agustus Tahun 2016 yang lalu


c. Peta Wilayah Adat Batas Kampung Adat di Kampung Esania dan Yarona, Kaimana

Peta Wilayah Adat Kampung Yarona dan Peta Wilayah Adat Kampung Esania di Distrik Buruwy Kaimana menjadi contoh bagaimana peta kampung adat itu dilakukan. Secara total masing-masing memiliki luasan 14,000 ha untuk Kampung Yarona dan 26,205 ha untuk Kampung Esania. Peta Kampung adat didasarkan pada peta hak Wilayah adat dari marga-marga yang ada didalam kampung tersebut. Salah satu dari Wilayah ini pada Bulan maret 2014 yang lalu sudah ditetapkan sebagai lokasi hutan Desa dengan luasan 11.005 ha.


d. Peta Indikatif Wilayah Adat  Suku Miyah dan Abun Kabupaten Tambrauw

Selama 2015 dalam rangka mendukung finalisasi Raperda Pengkuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Tambrauw, dirancang kegiatan kajian cepat dan pemetaan indikatif oleh PEMDA Kab Tambrauw bersama dengan mitra pendukungnya yaitu WWF, Samdhana Institute, Yayasan Paradisea dan AKA WUON. Kegiatan yang dilakukan adalah pemetaan indikatif batas dan informasi social dari Suku Miyah dan Suku Abun di Kabupaten Tambrauw. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut didapatkan bahwa  luas kedua suku tersebut secara indikatif adalah: 404,352 ha Wilayah Adat Suku Abun dan 259,250 ha Wilayah Adat Suku Miyah. Didalamnya tergambarkan juga informasi dasar tentang marga, tempat penting dan hubungan antar masyarakat yang mengikat soal hak atas tanah.




e. Peta Sebaran Tempat Penting Masyarakat Adat Abun di Pesisir Pantai Peneluran Penyu Belimbing, Kabupaten Tambrauw

Sebaran tempat penting masyarakat adat Suku Abun di beberapa kampung sepanjang Pantai peneluran penyu Belimbing di Kabupaten Tambrauw telah dipetakan oleh WWF Papua Bersama dengan Fasilitator lokalnya dan masyarakat menyusun perencanaan pengelolaan kawasan peneluran. Peta yang disajikan menampilakn informasi dalam beberapa pendekatan mulai dari polygon, titik dan garis untuk menegasikan tempat penting yang dimaksud. Pada tahun 2015 bersamaan dengan kegiatan pemetaan indikatif yang didorong oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw dilakukan kembali beberapa pengumpulan data wilayah tempat penting dari masyarakat adat di Suku Miyah dan Suku Abun.
 kompilasi data spasial hasil pemetaan indikatif tempat penting masyarakat adat dan peta identifikasi tempat penting di KAMPUNG KWOR 2015, Tambrauw


Peta Wilayah Adat Untuk Mendukung Pembangunan Di Papua 

Dengan proses yang partisipatif dan menyeluruh mengahasilkan informasi-informasi keruangan yang detail serta beranjak dari masyarakat, peta-peta wilayah adat yang sudah hasilkan harusnya dipandang strategis oleh Pemerintah Daerah dalam upaya membangun penataan ruang dan pembangunan keruangan yang berpihak kepada masyarakat adat. Peta membantu pemerintah untuk mengetahui right holders dari tanah di Papua. Peta juga membantu pemerintah untuk meenghitung dampak-dampak yang akan terjadi dari sebuah rencana pembangunan berdasarkan informasi sebaran tempat penting dan ruang kelola masyarakat adat. 

Sudah pasti langkah selanjutnya untuk mendudukan peta-peta wilayah adat yang sudah dihasilkan secara tepat dan membangun mekanisme bagaimana data ini digunakan adalah pekerjaan lanjutan yang harus dilakukan. Dan yang terutama peta bersama dengan semua informasi yang ada perlu dipakai sebagai informasi dan data penting dalam menyusun perencanaan pembangunan ekonomi masyarakat adat untuk mampu memanfaat aset adat yang ada didalam wilayah adatnya secara legal dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.