My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Selasa, 21 Februari 2017

Opini: Membangun Ekonomi Papua - Dimana Saja Gap-nya?

Selasa 21 February 2017 Jam 22.05 WIT (20.05 WIB) Live di Metro TV http://video.metrotvnews.com/economic-challenges, disajikan diskusi menarik tentang "Mendongkrak Ekonomi Papua" di acara Economic Challenges yang dipimpin oleh Suryopranoto dan Leonard Samosir. Diskusi ini menampilkan 3 Narasumber kunci yaitu. (1) Bapak Michael Manufandu - Senior adviser untuk Pembangunan di Papua, (2) Ibu Adriana Elisabeth - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI dan (3) Bapak Satya Widya Yudha - Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI. Arahan pembukan yang mengangka relita pertumbuhan ekonomi di Papua yang belum menunjukan kualitas-nya terkait pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan ini dikemas secara padat dengan serial topik yang mengupas: pendapatan asli daerah, pengeloaan dana otsus untuk pembangun infrastruktur dan sosial, investasi dan ketimpangan sosial serta pengentasan kemiskinan dalam target pertumbuhan ekonomi.

Paradoks of Papua "Miskin diatas Tanah yang kaya" harusnya dihighlight diawal tentang ukuran pertumbuhan ekonomi pada level micro untuk melihat apakah angka pertumbuhan yang tunjukan dengan fakta income per household bersifat merata atau mungkin ada pencilan pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Leonard Samosir dalam pengantarnya memasuki sesi kedua diskusi menunjukan data statistik dimana angka pertumbuhan ekonomi di Papua cenderung meningkat tetapi kontribusi sektor extraksi sumber daya alam masih sangat significant tehradap GDP dan PDRB. Dimana pada tahun 2016, tanpa tambang pertumbuhan ekonomi Papua hanya 6.52 % sedangkan sedangkan dengan ditambahkannya Tambang pertumbuhan ekonomi Papua meningkat 2.7% menjadi 9.21%. Hanya kemudian angka ini sebenarnya harus dilihat kritis karena sektor Tambang hanya menyerap tidak lebih 10% tenaga kerja Papua yang lebih banyak menumpuk pada sektor ekonomi "primitif" seperti perikanan/kelautan, perburuan, pertanian tradisional dan kehutanan yang nilainya mencapai 1.1 jt orang atau sekitar 70% dari total tenaga kerja pada usia produktif di Papua. Freeport dan British Petroleum sebagai perusahaan multinasional skala besar mendapatkan perhatian tersendiri dalam diskusi ini tentang kontribusinya-nya terhadap penerimaan negara dan bagaimana juga kontribusi-nya dalam pembangunan pada wilayah dimana dia bekerja menujukan bagaimana serapan tenaga kerja yang ada.

Semua pertanyaan yang diangkat adalah pertanyaan kritis seperti pertanyaan Kepada Ibu Adriana dari pak Suryo "sebetulnya arah pembangunan kita di Papua itu, apakah mengandalkan sumber daya alam sebagai berkah atau sebagai kutukan?". Ibu Adriana memberikan penjelasan yang baik tentang bagaimana semua master plan pembangunan ekonomi di Papua lebih banyak bicara fisik dan infrastruktur dari pada pembangunan Manusia. Tentu pernyataan ibu Adriana adalah valid dengan fakta-fakta sosial saat ini dan juga percepatan pembangunan infrastruktur dan fisik yang tidak berimbang dengan pembangunan manusia. Implikasinya adalah ketimpangan dan kecemburuan sosial karena sebagian besar dari mereka yang mampu mengakses pekerjaan-pekerjaan fisik dan profesional adalah bukan orang asli Papua. Ditambah lagi arus dagang dan pengendali barang dan jasa untuk kebutuhan konsumber primer dan rutin adalah pengusaha-pengusaha non Papua yang pada beberapa fakta juga mendorong pertumbuhan penduduk akibat migrasi yang meningkat orang-orang non Papua untuk datang mencari nafkah dan hidup dan tingginya peredaran uang di Papua. Timika dan Bintuni hanya gambaran kecil dari keterpurukan ekonomi masyarakat local ditengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pertumbuhan fisik infrastruktur yang pesar.

Apabila diijinkan untuk menambahkan pertanyaan saya akan mengajukan dua pertanyaan berikut kepada ketiga narasumber : (1) "dari kerangka  kebijakan nasional untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, kira-kira keuntungan dan pertumbuhan siapa yang menjadi orientasi utama?" (2) "Dengan fakta bahwa 70% orang Papua mengerjakan sektor 'Ekonomi Primitif' apa langkah konstruktive yang harus dibangun untuk mastikan bahwa sektor-sektor ekonomi primitif ini dalam secara bertahap bertransformasi menjadi sektor utama penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi di Papua?". Kedua pertanyaan ini sebenarnya yang menjadi akar gejolak ekonomi dan gerakan sosial di Papua yang melihat pemerintah Indonesia belum Mampu membangun Papua karena cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro yang berpihak pada pemodal besar ketimbang memprioritaskan kemandirian dan perkembangan ekonomi lokal. Mungkin kalau dilihat dari jangka pendek dengan target pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah mengandalkan sektor ekonomi extractive besar adalah langkah cerdik secara cepat mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi secara massive tetapi secara jangka panjang belajar dari kasus Freeport, PT PN Kepala Sawit di Prafi dan Beberapa perusahaan Kayu akan berdampak negatif pada tata nilai sosial dan lingkungan. Dan pemerintah masih terkoptasi dengan melihat ekonomi primitif tidak punya peluang untuk berkembang menjadi ekonomi profesional yang mampu memberikan pertumbuhan yang optimal bagi negara. Ketimpangan prioritas dan arah pembangunan ekonomi yang juga mempengaruhi cara pemerintah melihat percepatan pembangunan economi secara makro inilah yang sepertinya menjadi faktor kunci kenapa kemudian banyak pihak yang masih menggang sepele aktifitas-aktifitas ekonomi di Sektor 'primitif' seperti perikanan/kelautan, pertanian tradisional, perburuan dan kehutanan. Ironis tentu-nya.

Argumentasi bahwa sektor ekonomi primitif yang jelas-jelas adalah ketahanan ekonomi micro masyarakat tidak menjadi perhatian dan cenderung dipandang sebelah mata adalah beranjak dari pengalaman Dinas Kehutanan Provinsi Papua memperjuangkan implementasi dari PERDASUS 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Sejak 2008 ditetapkan dan secara efektif 2011 berjalan semua konsesi masyarakat adat tidak bisa beroperasi karena tidak dikeluarkannya persetujuan tata usaha kayu yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. Alasan yang disampaikan adalah nomenklatur Hutan Masyarakat Adat yang tidak ditemukan dalam UU 41 Tentang Kehutanan Tahun 1999. NSPK kemudian diperjuangkan sejak 2013  untuk pengakuan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat Papua tetapi pertimbangan politis dan nampaknya untuk keraguan bahwa masyarakat adat Papua belum bisa menjalankan praktek pengelolaan hutan lestari mempengaruhi KLHK untuk mengeluarkan Permenhut NSPK ini. Ini adalah salah satu contoh, tentu masih ada contoh lainnya seperti bagaimana lambatnya implementasi pengakuan hak atas Tanah Adat Masyarakat di Papua sebelum HGU-HGU diberikan kepada konsesi besar. Kosong-nya regulasi-regulasi teknis pada sektor-sektor primitif dimana masyarakat adat bergantung untuk mengerjakan aktifitas ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat adat pemilik Sagu di Sorong Selatan. Pilihan pemerintah untuk menghadirkan perusahaan Nasional besar seperti ANJ dan Perhutani untuk mengembangkan "Big Modern Sago Factory in Indonesia" untuk memenuhi jutaan ton target export sagu nasional adalah bagaimana upaya perusakan ketahanan ekonomi lokal dan perubahan tata konsumsi sosial komunitas.

Sampai pada titik pertanyaan kritis baru: desain dan teori pembangunan ekonomi seperti apa yang tepat didesain untuk Papua dengan kondisi saat ini? Apakah kita masih tetap ngotot untuk mengukur pertumbuhan, pemertaan dan keadilan sosial ekoomi kepada orang Papua dari data PDRG, GDP dan Pertumbuhan ekonomi lainnya yang umumnya menampilkan angka Makro dimana pengaruh sektor-sektor tertentu yang bukan milik orang Papua lebih dominan? Sorotan ini tentu tidak bisa hanya dijawab dengan meningkatkan atau mengurangi uang otsus Papua. Argumentasi Pak Satya tentang nilai uang Otsus yang menjadi 5 triliun Rupiah di Tahun 2016 ditambahkan pembiayaan Infrastruktur mencapai 2 Triliun Rupiah adalah sah-sah saja untuk mengklaim perhatian negara dari kacamata Legislatif tetapi sebenarnya belum sejalan tentang bagaimana executive terutama bagian teknis yang terkait dengan 70% sumber penghidupan orang Papua bertindak. Setidaknya ada 5 hal yang perlu dilengkapi pemerintah selain dari pada pemberian uang dalam jumlah yang besar yaitu:

  • Menghadirkan pengakuan, perlindungan dan pengamanan hukum hak atas tanah dan sumber daya alam milik orang Asli Papua. Kasus freeport, BP, Wasior Berdarah, PT. Nabire Baru (Sawit), PT PN Prafi dan Arso (Sawit) dan beberapa kasus lain dimana perjuangan masyarakat adat selalu mentok di pengadilan karena minimnya regulasi yang berpihak adalah contoh yang baik bagi pemerintah untuk mewujudkan ini. Reforma agragria sebagaimana amanat Presiden JOKOWI dalam NAWACITAnya sedianya harus diwujudkan juga secara bertahap di Papua untuk menjaga ketimpangan sosial yang mungkin terjadi. 
  • Membangun dan menyediakan regulasi teknis terkait pengelolaan berkelanjutan dari sektor-sektor ekonomi primitif milik masyarakat adat harus disediakan. Dimana dalam pengembangan Norma, Standar, Kriteria dan Prosesnya, regulasi ini diakui secara nasional yang mempertimbangkan karakter sosial dan kemampuan kelola dari masyarakat adat Papua dan memberikan jaminan usaha ekonomi yang aman bagi orang Papua. 
  • Membangun protokol investasi yang benar dan berpihak kepada masyarakat. Fakta bahwa masyarakat selalu tahu dan berhadap dengan satu investasi yang masuk ke wilayah setelah proses antara investor dan pemerintah selesai pada prakteknya menyisakan persoalan panjang dengan penolakan sosial dan konflik dilapangan. Selain itu juga pada saat investasi berjalan dan berdampak pada masyarakat, sebagai korban masyarakat lebih dominan disalahkan karena pengaturan prioritas investasi yang lebih berpihak kepada pemilik modal. Sehingga membangun iklim dan kerangka investasi yang ramah sosial di Papua adalah ketika protokol investasi secara tegas mengatur dan memberikan jaminan partisipasi dan negosiasi masyarakat dalam phase inisiasi investasi sampai implemetasinya termasuk pengawasan. 
  • Paradigma dan budaya kerja di level executive. Perubahan budaya dan qualitas layanan pekerjaan yang baik dengan mengutamakan quality based on outcome for change dibandingkan tetap pada kondisi saat ini dimana output based on quantitative achievement adalah bentuk yang harus terus dicoba. Orientasi dan cara kerja proyek fisik pemerintah perlu dirubah dengan penekanan pada bagaimana implikasi ketahanan dan kemandirian ekonomi dari masyarakat Papua dari proyek yang dikerjakan. 
  • Inovasi dan pengembangan terus paket-paket pendidikan, pelatihan dan penguatan kapasitas lainnya baik formal maupun informal untuk mempersiapkan orang Papua mengakses pekerjaan-pekerjaan saat ini. Pertumbuhan pembangunan fisik, pengembangan ekonomi, bisnis keuangan dan ruang kerja baru yang semuanya membutuhkan tenaga terdidik dan terlatih faktanya didominasi oleh non Papua.
Akhirnya tidak hanya untuk Papua sebenarnya tetapi untuk semua wilayah-wilayah dengan SDA melimpah di Indonesia yang juga masyarakatnya terpuruk secara ekonomi Pemerintah perlu lebih dalam melihat fakta ekonomi mikro yang banyak menjadi tumpuan masyarakat untuk dikelola, dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi daerahnya. Orang Papua tentu akan sangat bangga apabila BPS pada satu ketika tidak kaku dengan sistem pencatatan statistik pertumbuhan ekonomi makro saat ini, tetapi menunjukan bagaimana masyarakat adat Papua dengan kepastian hukum hak atas ruang adatnya dan dengan pola pemanfaatan SDA secara legal dan berkelanjutan mampu mengubah sektor ekonomi primitif menjadi ekonomi profesional yang berkontribusi pada nilai PDRB dan GDP secara keseluruhan dari daerah dan Nasional. 

Anak-anak dengan rumah di pegunungan di Tambrauw Papua Bara


Senin, 06 Februari 2017

GPS Venture, Aplikasi GPS Offline Terbaik Untuk Outdoor Tracking

Pada saat pertama kali menggunakan smartphone berbasis android, satu bagian bawaaan produk ini yang sangat saya sukai adalah GPS fiture-nya. Kita bisa menjumpai disetiap smartphone bahkan untuk smartphone yang murahanpun fitur GPS dengan kualitas A-GPS atau ditambahkan GLONASS bisa kita temukan didalam spec-nya. Tetapi kemudian karena awalnya sistem kerja smartphone yang saya pahami adalah menggunakan paket data dengan koneksi jaringan seluler/internet yang aktif maka saya selalu kaku dengan penggunaan bawaan aplikasi seperti google maps dan geo-tagging apabila mengambil photo objek tertentu yang ingin kita rekam juga posisi geografisnya. Sampai kemudian muncul pertanyaan pada saat beberapa diskusi saya dengan teman-teman penggiat pemetaan sebut saja Bang Martin Hardiono. Berawal dari diskusi ini dengan mengoptimalkan canggih-nya om google, saya kemudian mencari "android application for offline GPS tracking". Hasilnya pun banyak rekomendasi ternyata dari om Google, seperti GPS tracker, Map Factor, Maverick GPS Navigation, Maps Me, dll. Saya pun kemudian mempertimbangkan lebih jauh: (1) ukuran dan fitur yang ditawarkan, (2) operasi-nya yang sederhana, (3) akurasi pengambilan data walaupun sudah pasti jauh dari GPS navigasi bahkan GPS Geodetik, (4) kestabilan perekaman data geografis dan (5) format penyimpanan data yang bisa dikonvert untuk dikemudian dikelola dengan software GIS seperti Arc GIS dan QGIS yang saya gunakan. Pilihan itupun kemudian jatuh pada applikasi GPS Venture.

Applikasi GPS venture dibandingkan dengan applikasi GPS offline lainnya ukurannya sangat kecil hanya 1,9 MB dan pada saat terinstal penggunaan memori hanya maximum 8MB tergantung photo yang kita ambil pada saat perekaman tracking. Applikasi ini bisa kita download langsung dari play store google, ini link-nya: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.ventureGPSFree yang didalam situ-nya disebutkan pengembangnya adalah David Vuco. System yang dikembangkan dalam GPS venture mencakup beberapa fitur sederhana dari perangkat GPS yang selalu digunakan para navigator, mapper dengan perangkat seperti GPS Navigasi produksi Garmin atau Oregon yaitu: (1) merekam titik, (2) merekam rute perjalanan, (3) merekam gambar lokasi titik dengan geo-tagging informasi, (4) menerima dan mengirimkan sms berisi informasi lokasi kita, (5) overlay atau menunjukan lokasi dan rute pada peta google atau peta opensource lain dan (6) navigasi mencari lokasi tertentu. Beberapa vitur didalamnya juga membantu untuk melihat elevasi dan tampilan 3D lokasi kita. Hasil rekaman, titik lokasi, rute dan wilayah disimpan dalam format data KML yang bisa kita simpan didalam SD Card atau langsung kita email untuk kebutuhan-kebutuhan sharing informasi lokasi yang urgent. Data KML ini kemudian bisa dibuka di perangkat GIS untuk di transfer kedalam format shp (shapefile) yang compatibel dengan operasi-operasi data vektor GIS.  

Sejak 2015 saya mulai menggunakan applikasi ini didalam smartphone saya yang lama yaitu Caterpillar B15 dan kemudian saya menginstalnya kembali pada smart phone saya yang sekarang Advan D50S. Sampai sejauh ini applikasinya berjalan dengan baik dan membantu kebutuhan outdoor saya. Beberapa hasil rekaman dan olahan data spasial dengan sofware QGIS (open sources) sudah saya lakukan untuk tujuan uji alat seperti: trip saya ke Gunung Meja di Manokwari Papua Barat, trip didalam kota Kaimana dan trip saya dari Kasonaweja mengikuti sungai mamberamo sejauh hampir 164 KM by boat menuju Kampung Papasena di hulu sungai Mamberamo. Hasilnya cukup baik dan membantu untuk merekam jejak perjalanan dan delinasi wilayah, perekaman rute dan titik dari wilayah kunjungan saya. Secara spasial dan geografis fitur-fitur dengan fungsi-fungsi yang disediakan secara default didalam applikasi GPS Venture sangat membantu kenyamanan operasi teknis delineasi tentang kawasan dan lokasi yang dikunjungi, melihat jarak tempuh dan elevasi dari lokasi tersebut. Pengoperasiannya yang mudah karena sebagian besar fitur dan fungsi disajikan secara sederhana juga mendukung pengguna pemula untuk cepat menguasai pengoperasian applikasi ini. Kemampuan operasinya secara offline tanpa harus terkoneksi dengan sambungan paket data internet adalah keunggulan tersendiri pastinya dimana dapat digunakan di hutan, padang rumput, pulau atau wilayah outdoor lain diluar jangkauan cellphone signal untuk merekam titik dengan mengoptimalkan A-GPS yang ada di smart phone kita dan sudah terbukti. Akurasi tentu menjadi kelemahan. Saya sendiri belum melakukan uji untuk melihat berapa besar error atau kesalahan perekaman dari titik sebenarnya karena tidak memiliki GPS Geodetic atau GPC-GCP pada wilayah yang saya kunjungi untuk melakukan analisis perbandingan atau uji kesalahan titik. Tetapi untuk melihat tingkat kepercayaan terhadap data geografis yang terekam, saya melakukan uji sederhana dengan meng-overlay data-data hasil perekaman dengan GPS Venture dengan smart phone saya dengan google maps dan peta dasar yang tentang jaringan sungai dan jalan milik pemerintah. Hasil yang temui adalah kesalahan perekaman rata-rata antara 1 - 2 m (tidak besar) dari peta dasar yang ada. 

Fiturnya dengan size kecil dan ukurannya operasinya yang relatif menyerap data yang kecil secara terbukti cukup efisien untuk penghematan daya baterai pada saat kita melakukan tracking atau field trip. Pengalaman saya, untuk baterai berkapasitas 2000 - 3200 mAh, masa aktif dan operasi smartphone kita dengan kondisi offline selama 13 jam itupun ditambah dengan pemutar lagu MP3. Tentu dengan kapasitas yang ada, GPS ini adalah teman yang baik untuk tracking dan kegiatan pemetaan sederhana untuk memberikan informasi tematik dan lokasi/rute/area tertentu yang kita ingin orang lain ketahui. Sebagai GPS yang bekerja dengan kualitas GPS yang kecil sudah pasti kekurangan terbesar dari applikasi ini ada di akurasi sebagaimana yang saya deskripsikan diatas. Dengan fitur yang terbatas pastinya untuk kebutuhan-kebutuhan seperti fishing atau hiking pada kondisi yang extreme GPS ini tidak banyak membantu, tetapi bisa dikombinasikan dengan applikasi lain yang membantu seperti altimeter, thermometer, compass offline dan fitur pengukur cuaca lain yang saat ini tersedia secara banyak dan bebas di google play store. 
Saya merekomendasikan applikasi ini untuk digunakan bagi para pencinta outdoor terutama untuk pekerjaan mapping cepat sebuah area, merekam titik dengan geo-tagging dan merekam jejak perjalanan yang kita lakukan pada misi tertentu. Fiturnya yang sederhanya dengan pengoperasian yang sangat mudah sudah pasti memberikan kelebihan tersendiri bagi applikasi ini. Saya berharap bisa menyediakan modul singkat penggunaan applikasi ini, tetapi sebenarnya secara cepat kita bisa mengoperasikankan dengan butuh waktu 1 hari saja belajar sekalipun sebagai pemula. Silahkah mencoba dan semoga bermanfaat. 

Kamis, 02 Februari 2017

"Dari Hasil Tambang Pasir di Kota Sorog inilah Kami Hidup!"


Kami Menambang Pasir Untuk Hidup

Siang itu kira-kira pukul 13.30 berdiri dengan pakaian kerja yang lengkap Bapak Yance Way menyekop pasir didepan gubuk dan bak pasir yang dia bangun untuk menampung pasir hasil galian di parit samping bak penampungnya. "Dari hasil gali pasir ini saya bisa mendanai 2 anak saya yang kuliah. Satu sudah berhasil selesai dari UKIP Sorong dan sekarang bekerja di Pendamping Kampung, Program Pak Jokowi" begitulah dia memberikan pernyataan bangga tentang berkat dari aktifitas penambangan pasir yang dia lakukan. Disampingnya juga bekerja Mama Frederika Fairyo yang juga bekerja sebagai penambang pasir; "saya menambang pasir untuk biaya sekolah anak-anak saya, salah satunya sekarang sudah semester 7 jurusan Akuntansi keuangan di Potianak, Kalimantan Barat" tambah mama Frederika dari pernyataan Bapa Way.

Ya tepat Kompleks Pahlawan, Kota Sorong, bejejer pasir-pasir yang siap dijual untuk kebutuhan pembangunan di kota sorong. Jumlahnya pun berfariasi per orang ada yang sudah diisi didalam karung, ada juga yang masih dalam bentuk tumpukan-tumpukan yang ditutup dengan terpal.  "pasir halus harga-nya Rp. 25,000/karung sedangkan yang kasar 20,000/karung kita jual setiap hari ini" sebut Bapak Baldus Kambu, salah satu penambang di Pahlawan. Sebagian besar pasir yang mereka jual mereka peroleh dari upaya menggali disekitar rumah mereka masing-masing, dari parit saluran air yang ada disamping taman Makan pahlawan ada juga yang dibeli dari wilayah lain di kota Sorong seperti Malanu apabila musim kering. Pada saat musim hujan beralatkan sekop, gerobak dan karung mereka menggali dan menampung pasir yang ada dijangkauan mereka dan masih didalam wilayah yang menurut mereka pas untuk menambang. Sedangkan pada musim kemarau mereka harus mengeluarkan kocek antara 1 - 1,5 juta rupiah untuk membeli pasir dari wilayah lain. "ya itu yang kami lakukan untuk mendukung kebutuhan hidup dan biaya anak sekolah seperti saya ada 3 cucu yang masih dibangku SMA dan SMP dengan kebutuhan biaya yang besar" terang bapak Baldus Kambu. Dalam sebulan mereka bisa meraih pendapatan antara 2 - 3 juta rupiah.

Aktifitas penambang ini sendiri sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1960 mulai dengan kebutuhan pembangunan yang meninggkat. Hampir sebagian besar penambang dan mereka yang terlibat adalah orang-orang dari Suku Maybrat yang tinggal disekitar daerah Pahlawan. Jumlahnya pun lumayan banyak, ada sekitar 22 Keluarga yang masing-masing mengolah pasir di tempat ini. Bapak Yance Way dan Bapak Baldus kambu misalnya mereka sudah bekerja menambang pasir dan melakukan transaksi jual beli pasir sejak tahun 1987 sedangkan Mama Atonia mulai menambang sejak tahun 1998.

Aspek Regulasi dan Perhatian Kontrol Lingkungan Tidak Menjadi Perhatian 

"Apakah bapak dan mama membayar retribusi atau pajak atau biaya lain kepada pemerintah untuk pasir yang ditambang ini?" tanya saya memulai explorasi terhadap pemahaman regulasi dan dampak lingkungan dari penambangan. "Tidak, kami tidak membayar biaya-biaya apapun kepada pemerintah. Semua penghasilan kami bersih kami terima untuk kami" jawab mereka bersama. Bahkan pengetahuan tentang siapa unit di pemerintah atau badan pemerintah yang bertanggung jawab mengurusi pertambangan pasir tidak mereka ketahui. "selama ini orang pemerintah datang hanya kasi kami bantuan seperti gerobak, sekop dan payung" Tambah mama Frederika. Tidak ada kontrol, monitoring atau diskusi-diskusi yang dilakukan oleh pemerintah kepada para penambang dan pedagang pasir ini membuat mereka acuh dan merasa persoalan penambangan pasir sama sekali tidak ada aturan yang mengaturnya.

Kepekaan terhadap dampak lingkungan juga belum disadari penting. Orientasi memenuhi kebutuhan keluarga mendorong mereka untuk tetap berpikir bahwa penambangan yang dilakukan konsekuensinya kembali kepada mereka yang menanggungnya. "beberapa kali sudah terjadi longsor atau banjir kecil. Ada pernah sekitar tahun 2010 - 2011 terjadi disini dan Pak RT meminta warga untuk hati-hati tetapi setelah itu kembali baik" jelas seorang mama yang duduk disamping Bapak Baldus Kambu. Sejauh ini belum ada satu badan pemerintah atau non pemerntah yang pernah datang untuk memberikan sosialisasi atau penidikan lingkungan kepada para penambang untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam nanambang. Dampak yang mereka lihat lebih ke dampak fisik lokasi penambangan seperti parit yang makin rusak dan belum pada resiko buruk yang mungkin akan terjadi apabila banjir atau longsor tiba-tiba datang.


Bisnis Individu dan Belum Terstruktur Dengan Rencana Usaha Yang Baik 

Saya melihat peluang penataan bisnis yang lebih terstruktur dalam sebuah kelompok usaha dan strategi peningkatan skala usaha yang potensial di kelompok tak terikat unit bisnis ini. Tetapi keengganan untuk memulai inisiasi pembentukan kelompok usaha bersama penambang pasir belum terjadi, kelihatan pemikiran untung dan rugi menjadi tanggung jawab masing-masing adalah yang kuat dikepala merka. Semua peralatan dibeli masing-masing dari toko bangunan. Dengan pemikiran saya yang mainstream tata kelola usaha saya bertanya "pernahkah didiskusikan bersama untuk menginisiasi sebuah kelompok bisnis bersama? Misalnya sebuah lembaga koperasi? Dimana koperasi itu akan menjadi tmpat dimana setiap anggota kelompok bisa mendapatkan kebutuhtan usaha penambangannnya?". Sebagian besar dari mereka menanggapi skeptis usulan atau pertanyaan ini. Harapan yang disampai lebih ke harapan agar pemerintah memberikan masing-masing mereka pompa air ALKON agar bisa digunakan untuk semprot gunung-gunung pasir untuk diambil aliran airnya. "Para penambang di Malanu bisa lancar karena mereka punya pompa Alkon, tidak peduli musim panas atau hujan mereka bisa dapatkan pasir untuk digali berbeda dengan kita disini" kata Pak Baldus.