My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Sabtu, 31 Mei 2014

Percepatan Implementasi Penataan, Perlindungan dan Pengakuan Existensi Wilayah dan Nilai Tanah dan Sumber daya Alam secara Adat, Sebagai Hak Milik Masyarakat Hukum Adat Di Tanah Papua


A. Tanah Papua, Pembangungan Kehutanan dan Masyarakat Adat

Pada tanggal 16 Mei 2013 menjadi moment penting masyarakat adat di Indonesia, karena pada tanggal tersebut Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berkenaan dengan pengujian sejumlah ketentuan dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. ketentuan yang dimohonkan tersebut adalah: Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3)[1]. Euforia ini pun menular sampai ke Papua di kelompok civil society dan kelompok masyarakat adat yang selama ini terus berjuang mendapatkan pengkuan hak atas sumber daya alam termasuk sumber daya hutannya. Respon ini ditujukan dengan reaksi jumpa pers di Jayapura tanggal 3 Juli 2013 yang dilakukan oleh gabungan kelompok NGO dan CSO di Papua yang tergabung dalam KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK MASYARAKAT ADAT DI PAPUA[2]. Koalisi ini secara langsung memberikan hak masyarakat adat di Papua atas sumber daya alamnya termasuk mendapatkan manfaat dari dalamnya adalah hak yang bersifat turun temurun dan bukan diberikan melalui ijin oleh Negara. Langkah lanjutan untuk percepatan pengakuan wilayah adat masyarakat dan persiapan instrument hukum dan pendukung lainnya menjadi perhatian koalisi ini untuk  di tindaklanjuti.

Apabila melihat kembali pada kondisi hutan menurut Negara sebelum putusan MK ini, tentu Tanah Papua dan Masyarakat adatnya menjadi sala satu dari sebagian besar masyarakat adat di Indonesia yang mengalami pengabaian hak oleh Negara karena berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Tanah  Papua secara keseluruhan yang termuat dalam SK. Menhutbun Nomor: 891/Kpts-II/1999 adalah sebesar 42.224.840 Ha yang terdiri dari Kawasan Hutan seluas 40.546.360 Ha atau sekitar (96%) dan Kawasan Perairan 1.678.480 Ha (4%). Hal ini memberikan penegasan bahwa Negara menguasai secara keseluruhan hutan Papua dan menempatkan masyarakat hukum adat sebagai object hukum karena dalam peta rencana pembangunan hutan dan tanah secara jelas tidak mengakomodir ruang-ruang masyarakat hukum adat. Kekuasaan Negara terhadap hutan di Papua juga telah meninggalkan konflik panjang akibat perijinan dan investasi kehutanan dan lahan. Penguasaan ini terlihat jelas pada jumlah investasi yang memakai payung hukum UU 41 tentang kehutanan sebagai referensi-nya untuk pemanfaatan, pelepasan kawasan hutan sampai pinjam pakai kawasan hutan. Untuk Provinsi Papua Barat berdasarkan data hasil kompilasi RTRWP, RTRWK, RPJM dan Renstra SKPD tercatat 29 (23 diantaranya aktif) Unit IUPHHK yang mengelola total luas konsesi hutannya 4,654,212 ha, 12 unit konsesi perkebunan dengan total luasan 280,795 ha, 16 unit konsesi pertambangan mineral dan batubara dengan total luasan 2,701,238 ha dan 13 Pertambangan Migas dengan luas 7,164,417 ha[3]. Sedangkan untuk Provinsi Papua,  berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Provinsi Papua 2012 tercatat 28 unit IUPHHK dengan total luasan konsesi 5.426.483 Ha. 9 Unit IUPHHK-HTI dengan luas konsesi 1.235.265 Ha, 4 unit IUPHHBK – SAGU dengan luas konsesi 389.081 Ha[4]. Sedangkan perkebunan sampai tahun 2012 tercatat ada 26 unit konsesi perkebunan aktif besar swasta maupun Negara yang mendapatkan ijin Negara seluas 735,044 ha. Pada periode 2010 – 2012 saja tercatat ada sekitar 59 perusahaan perkebunan yang mengajukan ijin konsesi-nya dan terseber merata di kabupaten-kabupaten dataran rendah di Provinsi Papua, dimana apabila di total luas konsesi yang diajukan adalah 6,911,378 ha.

Tabel 1. Tutupan hutan di Tahap Papua Versi Draft RTRWP Terbaru Terbaru
No
Provinsi
Luas Wilayah
(ha)
Luas Hutan
(ha)
Persen (%)
Sumber Data
1
Papua
32,173,869[5]
30,387,499
93
SK Menhut No. 782/Menhut-II/2012[6]
2
Papua Barat
11,536,350
9,723,928
84
Drfat Final RTRWP Provinsi 2010 – 2030











Kondisi dan perhatian terhadap wilayah adat, nilainya dan kesempatan untuk masyarakat adat berdiri, didukung untuk mengelola sumber daya alam sangat-lah kontradiktif dengan laju pembangunan investasi yang menjadi perhatian pemerintah. Tercatat baru wilayah adat Namblong dan Unurumguay yang data-nya dipegang oleh BPN[7] sedangkan wilayah lain yang sudah terpetakan sama sekali belum didata dan diperhatikan sebagai bagian penting dalam data base pemerintah daerah. Selain itu untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan berdasarkan data Izin Pemanfaatan Hutan Oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua baru 9 wilayah yang terdaftar karena pada wilayah tersebut telah didorong bersama inisiatif pengelolaan hutan bersama masyarakat adat. Dimana tercatat 2 HTR di Biak dan Nabire dengan luasan 28,350 ha dan 9 IUPHHK – MA dengan luasan 37,209 ha. Sedangkan di Provinsi Papua Barat praktis baru Kampung Esania dengan luasa 26,205 ha yang tercatat karena kebetulan wilayah tersebut diusulkan sebagai calon hutan Desa pertama di Papua Barat. Namun sekalipun demikian legalitas pengelolaan dan instrument hukum pendukung dibawah UU 41 tentang kehutanan diakui menjadi benteng besar penghambat insiatif dan rencana besar masyarakat adat untuk mampu mengelola hutan dan sumber daya alamnya sendiri.
Tabel 2. Jumlah Kampung Adat dalam Kawasan Hutan
No
Provinsi
Jumlah Kampung
Dalam Kawasan hutan
%
Sumber Data
1
Papua
2,337
2,071[8]
89
RTRWP Prov Papua 2011 – 2031
2
Papua Barat
1,205
718
60
RTRWP Prov Papua Barat 2010 – 2030

Total
3,510
2,789
79
Kompilasi semua sumber

Beberapa wilayah lain yang sudah terpetakan seperti wilayah adat Knasoimos di Sorong sampai saat ini belum diketahui oleh pemerintah daerah. Kontradiksi dua kondisi ini memberikan warning bahwa masyarakat adat Papua sambil jalan dengan aturan dan kebijakan tidak diperhatikan hak-nya ada sumber daya alam dan kecenderungan di tempatkan sebagai object yang bersifat cost-centre yang oleh sebagian besar Investasi di interpretasi dengan pembayaran kompensasi untuk menghilangkan status hak atas tanah dan sumber daya alam diatas dan didalamnya.

B. Keberadaan Masyarakat Adat Papua dan Wilayah-nya

Kompilasi data sementara yang dilakukan oleh KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK MASYARAKAT ADAT DI TANAH PAPUA mencatat bahwa sudah terdapat beberapa peta wilayah adat yang difasilitasi oleh beberapa kelompok CSO dan NGO di Papua. Untuk wilayah Jayapura dan sekitarnya yang difasilitasi pt PPMA tercatat 7 wilayah suku dengan sekitar 37 kampung adat didalamnnya sudah dipetakan, di Wamena difasilitasi YBAW dan Dinas Kehutanan Dengan Dukungan Samdhana Institute, 19 Wilayah adat konfederasi dari 23 sudah terpetakan. Untuk Papua Barat tercatat PERDU dan JKPP telah memetakan Wilayah Adat 2 kamung di Kaimana. Telapak, DPMA Knasoimos dan Green Peace telah berhasil memetakan 2 wilayah Suku adat di Kab Sorong Selatan dan LMA malamoi dengan inisiatif sendiri telah menyelesaiakan peta wilayah adat suku di Kota Sorong[9]. Dan sekitar 12 sub suku di Asmat telah terpetakan wilayah adatnya oleh WWF.


Dinilai secara de facto masyarakat adat Papua mengakui wilayah seluruh tanah, hutan, air sampai sumber daya alam didalamnya adalah mutlak dimiliki secara adat oleh mereka. Baik dalam unit Marga, Sub Suku atau Suku Besar. Dan masing-masing kelompok masyarakat adat selalu berusaha untuk menjaga dan mempertahankan existensi mereka beserta hak atas wilayah dan nilai serta bahasa yang dimiliki. Selain beberapa wilayah adat yang sudah dipetakan diatas, dengan menggunakan peta ragam bahasa asli di Papua bisa diindikasikasikan bahwa terdapat 272  kelompok masyarakat adat di Papua yang didalamnya berdiam ratusan sub suku dan ribuan marga adat. Peta ini secara kesluruhan memberikan indikasi bahwa tidak ada tanah yang tak bertuan di Papua, dimana secara adat keseluruhan wilayah daratan dan lautan telah adat pemilik adatnya.

C. Legalitas Lokal Pengakuan Wilayah Adat Papua

Papua sebenarnya menjadi wilayah di Indonesia yang secara legal lebih maju terkait pengakuan wilayah adat. UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua merupkan payung hukum kuat untuk pengakuan wilayah adat masyarakat hukum adat Papua. UU 21/2001 secara tegas memberikan pengakuan special pada kata “adat” baik yang mendefinisikan masyarakat, nilai dan wilayahnya (Pasal 1 huruf o,p,q,r,s dan t). Selanjutnya Pasal 43 dan 44 lebih dalam mengatur tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua. Selain UU sebagai payung legal besar, beberapa peraturan daerah khusus Provinsi (PERDASUS) sebagai turunan dari UU
21/2001 juga telah dibangun dalam rangka pengakuan hak masyarakat adat Papua dan ruang legalnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya didalam hak ulayat adat-nya. Beberapa PERDASU tersebut diantaranya:
-      PERDASUS NOMOR 18 TAHUN 2008 tentang PEREKONOMIAN BERBASIS KERAKYATAN
-      PERDASUS NOMOR 20 TAHUN 2008 Tentang PERADILAN ADAT DI PAPUA
-  PERDASUS NOMOR 21 TAHUN 2008 Tentang PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI PAPUA
-     PERDASUS NOMOR 22 TAHUN 2008   TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA
-    PERDASUS NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH

Secara keseluruhan ruang legal perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat atan wilayah dan sumber daya alamnya sudah cukup jelas dan seharusnya pembangunan di Papua mampu diarahkan pada pembangunan berbasis ruang adat. Namun diakui bersama sampai di tahun ke 12 perbelakukan Otonomi Khusus Papua dan Tahun ke 5 sejak PERDASUS-PERDASUS tersebut diatas di keluarkan, belum secara secara jelas terlihat dampak baik dari implementasi PERDASUS diatas terutama dinilai pada level pengakuan eksistensi dan hak atas sumber daya alam masyarakat hukum adat Papua. Dalam beberapa analisis yang dbuat oleh DPD[10] disebutkan bahwa salah satu alasan mengapa Otsus Papua dinilai belum terimplementasi baik karena intervensi pemerintah pusat yang tinggi dan tumpang tindihnya UU Otsus dengan UU Sektor – terutama UU 41 Tentang Kehutanan yang secara nyata menguasai hampir 90% Tanah Papua. Kasus ini cukup jelas pada implementasi PERDASUS 21, dimana beberapa legalitas pengelolaan hutan harus menunggu aba-aba dari Kementerian Kehutanan.

D. Percepatan Implementasi Pengakuan Hak Masyarakat Adat Atas Wilayah Adat dan Sumber Daya Alam di Papua

Perangkat legal UU No 21 Tahun 2001 sebagai payung hukum legal pengakuan hak masyarakat hukum adat di Papua atas tanah dan sumber daya alamnya saat ini menjadi kuat dengan Putusan MK no 35 Tahun 2013 yang didorong oleh Aliansi Masyarakat Adat Papua. KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK MASYARAKAT ADAT DI TANAH PAPUA menyambut positif peluang ini dengan bersama menyusun rencana aksi percepatan pengakuan wilayah adat di Tanah Papua. Kekuatan hukum dari UU 21/2001 dan Putusan MK 35/2013 menjadi pintu masuk kuat bagi MRP, DPRD, CSO, NGO, Kelompok Masyarakat Adat Papua dan Pemerintah Daerah untuk bergerak mendorong pengakuan legal eksistensi masyarakat adat serta hak-nya atas tanah dan sumber daya alam dalam rangka pembangunan di Papua yang berbasis wilayah dan nilai adat masyarakat Papua.

Dalam rencana pembangunan Daerah pintu masuk pengakuan wilayah adat juga secara jelas sudah termuat dalam RTRWP Papua 2011 2013 dimana Pemerintah mengakui bahwa permasalahan pembangaunan di Papua tidak berjalan efektif salah satunya adalah karena kurangnya perhatian pada eksistensi masyarakat adat, wilayahnya. Sehingga RTRWP Papua 2011 – 2013 pada hal 75 – 95 telah dengan jelas memuat pentingnya penataan ruang adat mendukung pembangunan.


[1] KEMBALIKAN HUTAN ADAT: Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Kehutanan
[3] Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat untuk Implementasi REDD+
[4] Peta Kawasan hutan dan Perairan dan Penyebaran Ijin Pemanfaatan hasil hutan. Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua. 2012
[5] Menurut data CLAIM PEMDA KAB/KOTA yang dimuat dalam RTRWP.
[6] Tentang perubahan atas SK. Menhutbun Nomor: 891/Kpts-II/1999 Tentang Penunjukan kawasan hutan di Papua
[7] Hasil diskusi dengan BPN 2 Juli 2013.
[8] Hasil Overlay Database Perkampungan dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Yang dimuat dalam RTRWP Papua 2011 – 2013
[9] Kompilasi informasi sementara di data Base KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK MASYARAKAT ADAT DI TANAH PAPUA

Senin, 26 Mei 2014

Membangun Kembali Semangat Kerja Jejaring LSM di Kepala Burung Papua

"Pertemuan ini memberikan bentuk penghargaan untuk kita semua, dimana dalam pertemuan ini apa yang diharapkan akan memberikan suatu perubahan yang nantinya memberikan masukan atau ide yang berdampak bagi perkembangan LSM yang ada di Wilayah Kepala Burung" Jelas Bang Sahat Saragih pada saat pembukaan kegiatan diskusi. Berdiri sebagai senior dari kerja-kerja LSM di Papua Barat tentu Bang Sahat sudah sangat 'makan garam' dengan konstalasi pembangunan jejaring kerja dalam rangka kerja-kerja masyarakat sipil untuk tujuan-tujuan pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat. Ini adalah hari pertama dari 3 hari tanggal 22 - 24 Mei 2014 yang di gagas oleh KAMUKI sebagai lembaga yang dipercaya untuk menghost acara ini. Sambutan Bang Sahat sekaligus menyambut sekitar 37 orang perwakilan LSM-LSM di kepala Burung Papua yang hadir dari semua kabupaten/kota di Papua Barat. Ya.. kegiatan yang diberi Thema "Membangun Gerakan Bersama Menuju Perubahan Yang Pro Rakyat dan Lingkungan" adalah upaya untuk membangun kembali semangat kerja jejaring LSM di kepala Burung. Bang Sena Adji Bagus Handoko selaku Direktur KAMUKI yang juga adalah penanggung jawab kegiatan ini melengkapi apa yang disampaikan oleh Bang Sahat "konsolidasi ini menjadi tempat untuk menuangkan ide, saran, bahkan pengalaman. Di ruang inilah momentum baik untuk membangun kembali jejaring antar lembaga-lembaga yang ada di wilayah kepala Burung". 



Secara ekplisit berdasarkan kerangka agenda pekerjaan yang diusulkan, kegiatan ini imaksud untuk menjabarkan visi dan misi, nilai LSM Daerah dalam kerangka kerja yang lebih profesional dan operasional. Sebagai LSM yang sudah ada dan yang baru berdiri, kegiatan ini juga merupakan bagian dari upaya konsolidasi organisasi agar semua komponen dan personil yang terlibat dalam struktur lembaga masing-masing lebih mengenal, memahami dan menginternalisasi visi, misi, nilai dan kerangka program organisasi masing-masing. Dua hal yang kemudian mengikat tujuan kegiatan ini adalah identifikasi isu-isu strategis berdasarkan tantangan kekinian. Kemudian menyusun kerangka kerja bersama yang harus difasilitasi sebagai jejaring kerja. Kerangka tujuan yang jelas dan terukur dengan capaian hasil di akhir pekerjaan sangatlah strategis dalam kacamata outcome untuk kerja-kerja gerakan sosial masyarakat di Papua Barat. Diskusi pun berkembang dibawah fasilitasi Mbak Julia Kalmirah dan Bang Joko Waluyo dari Jakarta. 

Harapan besar pun muncul ketika melihat semangat dan kebersamaan ini mulai terajut. Sekalipun sebagian besar yang datang memahami bahwa pengalaman dan persoalan lama dengan kendala-kendala yang sudah pernah dilalui adalah hal-hal yang akan dihadapi kemudian sebagai satu jejaring kerja-kerja NGO ini. Sehingga kemudian diawal diskusi diarahkan untuk memahami peta organisasi, semangat yang diperjuangkan dan bagaimana pengalaman merajut titik-titik keberhasilan fasilitasi yang sudah dilakukan. 

Diskusi secara rigit membedah : 
  • Peta Organisasi masing-masing perwakilan lembaga. Satu per satu setiap lembaga mendeskripsikan visi, misi dan program yang berjalan dengan highlight capaiannya masing-masing. Serta kemudian menghighlight juga kekuatan dan kelemahan dari fasilitasi yang dilakukan sejauh ini.
  • Peta berjejaring yang memuat reflecsi dan diskusi tentang kerangka dasar membangun jejaring kerja yang optimal untuk mengadress isu-isu pembangunan yang saling terkait. Beberapa kelompok kemudian dibagi dengan mengacak dan menggabungkan lembaga-lembaga ini dalam setiap kelompok diskusi.  
  • Peta trend dan perubahan. Bagaimana LSM-LSM di kepala burung Papua membaca trend dan perubahan dari arah pembangunan di setiap level juridiksi dan implikasinya terhadap gerakan sosial masyarakat di tingkat bawah?
  • Menyusun rancangan strategis konsolidasi organisasi non pemerintah. Pada bagian ini teman-teman difasilitasi untuk melihat isu-isu strategis, jalur advokasi menuju perubahan, penegasan kerangka teori perubahan, siapa berbuat apa dan dimana serta berkontribusi pada komponen mana dari kerangka besar kerja jejaring LSM di Kepala Burung. 
3 hari yang sebenarnya terasa singkat ini menghadirkan banyak sekali informasi, refleksi dan sharing belajar serta yang tidak kalah penting adalah rajutan semangat bersama dalam beberapa rekomendasi untuk membangun kerja-kerja gerakan masyarakat sipil yang lebih berorientasi pada dampak perubahan positif yang diharapkan. Analisis SWOT sebagai pendekatan analisis digunakan juga sebagai alat bantu untuk mematangkan kerangka pikir bersama ini dimana pendekatan spasial kedaerahan dipakai untuk mengkelompokan para LSM dengan program yang mereka kerjakan sejauh ini. Setiap kelompok membangun diskusi  untuk membedah 11 isu pokok yang menjadi persoalan dan konsen gerakan masyarakat sipil yaitu: (1) penyerobotan lahan untuk kebutuhan perkebunan terutama sawit, (2) skenario dan sinergitas komunikasi dalam berjejaring, (3) lemahnya kemandirian organisasi serta tidak kuatnya agenda kaderisasi yang dilakukan, (4) tata kelola kebijakan konservasi dari setiap aspek dengan sorotan khusus pada spesies khusus di Papua seperti penyu, (5) kerentanan pangan dan degradasi konsumsi pangan lokal, (6) ketidakstabilan pendanaan yang konsisten untuk kerja advokasi, (7) persoalan buruknya kualitas kesehatan terutama kasus malaria dan HIV/AIDS, (8) belum optimalnya penataan dan pengelolaan lingkungan, (9) buruknya tata kelola pemerintahan, (10) lemahnya penegakan hukum dan aspek keberpihakan, dan (11) Tata Ruang, kepastian wilayah tenurial dan alokasi penggunaan ruang yang tidak memperhatikan hak masyarakat adat. Satu per satu kemudian dibedah dalam diskusi kelompok. 

Diakhir acara beberapa rekomendasi dan paket konsensus terbangun dan menjadi catatan untuk ditindaklanjuti dari diskusi yang sangat padat selama 3 hari ini. Yaitu: 
  • Kebijakan: Gerakan jejaring perlu bekerja mengadvokasi dan mendorong pengembangan kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan tata kelola sumber daya alam berkelanjutan. Dimana didalamnya aspek penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM menjadi pegangan. 
  • Tata ruang dan tata kelola wilayah. Membangun sistem data dan analisis keruangan serta mengatur skenario intervensi ke tata ruang dan tata pengelolaan wilayah untuk kebutuhan pariwisata, tambang, hak masyarakat, konservasi SDA, pangan dan kebutuhan lainnya. 
2 paket kelompok isu diskusi diatas kemudian disepakati sebagai kerangka pijak lanjutan untuk kerja-kerja jejaring NGO di kepala Burung. KAMUKI masih dipercaya sebagai host untuk mengawal setiap rekomendasi dan kerangka pikiran kritis dan advokasi masalah yang ada. Sedangkan MNUKWAR Papua diminta untuk mendukung pengembangan sistem data informasi dan pengembangan jejaring koordinasi dan komunikasi. Agenda 6 bulanan diharapkan ditindaklanjuti untuk mengawal detail rekomendasi yang dibangun. Semua ini disadari akan berjalan optimal apabila keseriusan untuk membangun kemitraan kerja yang efektif diwujudkan. Joko Waluyo dalam diskusi kelompok menegaskan hal ini dalam 2 point kunci " (o) Intinya dari isu yang ingin kita sepakati yang harus ditekankan adalah kemandirian organisasi yang harus kita kerjasamakan. Sebagai alat konsolidasi bagaimana mendorong perubahan sehingga kemandirian organisasi yang mau dituju [internal] dan (o) Kemudian capaian-capaian yang harus dilewati dalam perubahan kemandirian organisasi, lalu siapa, perlu apa dan lain sebagainya ini yang mau kita capai dalam mewujudkan kemandirian organisasi dan efektif kerja jaringan".