My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Senin, 28 Maret 2011

Analisis Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi Permenhut 46 Tahun 2009

Persoalan ijin usaha pemungutan hasil hutan terus menjadi diskusi yang panjang di daerah. Dalam rapat koordinasi dalam rangka mensinergikan program kerja kehutanan di Provinsi Papua Barat, isu ini kembali diangkat. Bahkan Bapak Agus Wamafma - kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan secara tegas mengatakan bahwa persoalan ijin pemungutan atau yang sering di singkat dengan IPHHK ini harus segera didiskusikan, diputuskan dan disepakati mekanisme legalnya. Sejauh ini kelompok masyarakat adat yang mengambil kayu di wilayah adatnya untuk keperluan ekonomi keluarga, cenderung menjadi korban akibat menggantung-nya aturan ini.

Gambar kayu bantalah yang diolah dari penebangn dengan menggunakan IPHHK di Sorong
Photo by Yunus Yumte 

Dalam beberapa diskusi dengan pihak pemerintah tentang IPHHK informasi yang selalu keluar adalah skema ini hanya untuk kebutuhan lokal masyarakat dan tidak diperdagangkan. Yang artinya ketika masyarakat melakukan transaksi penjualan kayu baik dalam kuota yang diperbolehkan mereka untuk memungut atau melebihi kuota tersebut, maka penegakan hukum harus tetap berlaku. Namun fakta yang ada di Papua Barat berkata lain bahkan praktek ini secara terang-terangan dilakukan secara masif dan terorganisir di beberapa lokasi. Contoh paling nyata adalah di Daerah Sorong terutama di Jalan raya Sorong-Sausapor KM 45 - 48. Secara jelas terlibat bahwa kayu yang dihasilkan adalah untuk kebutuhan export keluar kota dimana ukurannya dalah Panjang 1 meter, lebar 10 cm dan tinggi 10 cm atau yang umum disebut dengan kayu bantalan. Lantas pertanyaannya kemudian adalah bagaimana semua ini bisa berjalan? Apakah ada celah hukum yang dioptimalkan untuk meraup keuntungan yang besar? Kemudian dalam konteks konteks kontrol terhadap manfaat sumber daya hutan bagi daerah, apakah skema ini menguntungkan negara dan masyarakat?

Saya coba untuk menelusuri dan menjawab pertanyaan pertama dan kedua dengan menganalisis kebijakan hukum yang memayungi opersionalisasi skema pemungutan kayu ini. PERMENHUT yang oleh sebagian besar aparat kehutanan diketahui tetapi cenderung ditutup-tutupi dan tidak ingin dibahas baik. Permenhut 46 tahun 2009. Berikut adalah catatan singkat analisis yang coba saya explore: 

Permenhut 46 Tahun 2009 merupakan peraturan teknis pelaksanaan dari PP 6 2007 terutama mengatur tentang tata cara pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu secara legal. Berikut beberapa hal yang saya dapatkan dan memperkuat argumentasi bahwa 20 m3 per individu dan 50 m3 lembaga desa ini bisa diperdagangkan:

  • Dalam PP 6 2007 pasal 1 ayat 16 Defenisi Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu adalah “Izin pemungutan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu”. Disitu ada kata pemasaran yang cukup kontradiktif dengan pasal selanjutnya yang mengatakan tidak untuk diperdagangkan. Peraturan ini sebenarnya memberikan arahan tentang batasan dalam waktu dan volume
  • Nyambung dengan point diatas, Peraturan Pelaksanaannya PERMNEHUT 46 2009, menggunakan defenisi Pasal 1 ayat 16 ini dengan menekankan pada kata Pemasaran. Dimana BAB I – Ketentuan Umum pasal satu PERMENHUT 46/2009 memperkuat batasan defenisi ijin pemungutan hasil hutan kayu sebagai berikut: Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. Artinya PEMASARAN dilegalkan disini.
  • Masih di PP 6 2007 Pasal 77 dan 80 juga memperkuat argumentasi kayu yang dipungut ini bisa diperdagangkan yaitu selama membayar PR0VISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH). Argumentasi ini diperkuat dalam PERMENHUT 46/2009 BAB V Pasal 8 Ayat 1 point d “Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku"
  • Menariknya pada PERMENHUT 46/2009 pasal BAB IV Pasal 7 tidak muncul kalimat “tidak dipergangangkan”, tetapi di gantikan dengan kata “tidak dapat diperpanjang”. Bahasa lengkapnya:  (a)  “IPHHK-HA untuk keperluan individu yang berasal dari penebangan diberikan paling banyak 20 (dua puluh) meter kubik untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun dan tidak dapat diperpanjang. (YY: keperluan individu, mengandung arit luas - termasuk kebutuhan uang). (b) IPHHK-HA untuk keperluan pembangunan fasilitas umum diberikan paling banyak 50 (lima puluh) meter kubik untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun dan tidak dapat diperpanjang. (c)  IPHHBK-HA, IPHHBK-HT atau IPHHBK-HTHR paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap Kepala Keluarga dan dapat diperdagangkan untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.

Namun begitu untuk memperkuat argumentasi bahwa pemungutan hasil hutan kayu ini tidak dilakukan secara ambur adul, tetapi dilakukan secara tertata mengikuti prinsip-prinsip kelestarian hutan, setiap Pemegang Ijin Pemungutan hasil hutan Kayu (IPHHK) diwajibkan untuk:
  • Berdasarkan pasal 71 – Pasal 78 PP 6 2007, melakukan : (a) Menata areal kerja, melakukan identifikasi potensi dan menyusun rencana kerja sesuai dengan ijin yang berlaku. Dalam konteks IPHHK, awal tahun harus menyusun rencana tahunan pemungutan hasil hasil hutan kayu untuk diajukan ke Bupati. Pada bagian penjelasan dari Pasal 71 huruf a sebutkan bahwa Dalam rencana kerja, antara lain, memuat pula aspek kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan, dan aspek sosial dan ekonomi. Sehingga analisis-analisis ini dibutuhkan untuk memperkuat usulan IPHHK. (b) Menata system keuangan sesuai standart kehutanan – disini penekanannya pada pembukuan yang rapi tentang produksi dan pemasaran hasil hutan sebagai dasar hitung-hitungan PSDH yang pas untuk diberikan ke Pemerintah. Dalam hal ini koperasi bias menjadi lembaga yang menerima IPHHK, atau anggota koperasinya menerima ijin dan dikelola dibawah koperasi. (c) Melakukan aktifitas nyata paling lambat 1 bulan sejak ijin diberikan. (d) Melakukan perlindungan hutan. (e) Meyiapkan tenaga teknis kehutanan dengan kapasitas yang cukup untuk pengelolaan hutan. (f)  Membayar PSDH seperti yang sebutkan diatas. (g) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap peredaran hasil hutan 
  • PERMENHUT 46/2009 untuk memperkuat prasyarat diatas dimana pada BAB V Kewajiban dan Larangan Pasal 8 menyebutkan secara jelas hal-hal yang harus menjadi perhatian pemegang ijin:

  1. Pemegang IPHHK-HA atau IPHHBK-HA atau IPHHBK-HT atau IPHHBK-HTHR wajib:(a) Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan IPHH secara periodik setiap bulan kepada pemberi izin. (b) Pemberi izin sebagaimana dimaksud huruf a melaporkan kepada Bupati dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi dan Direktur Jenderal. (c) Melindungi hutan dari kerusakan akibat illegal logging dan perambahan hutan, ternak dan kebakaran; (d) Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (e) Menanam kembali minimal 5 (lima) pohon untuk setiap pohon yang ditebang dengan jenis yang sama.
  2. Pemegang IPHHK-HA wajib melakukan pencacahan/penandaan terhadap hasil hutan kayu yang akan ditebang/dipungut
  3. Pemegang IPHHK-HA atau IPHHBK-HT atau IPHHBK-HTHR dilarang menebang Pohon yang dilindungi
  4. Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk kegiatan pemungutan hasil hutan dilarang menggunakan alat mekanik/berat seperti traktor, bulldozer, loader, skider, grader, wheel loader, excavator dan truck
  5. Dalam hal mengangkut hasil hutan dapat mengggunakan truck
Sampai pada keseluruhan analisis awal ini, artinya secara legal Pemerintah memberikan ruang kepada Ijin pemungutan ini untuk memperdagangkan kayunya. Tinggal sekarang bagaimana Daerah secara serius menertibkan dan mengtur agar nilai manfaat itu terasa di pemerintah masyarakat dan pihak-pihak lain yang memanfaatkan peluang IPHHK ini. Kontrool juga menjadi penting untuk mencegah kebocoran yang lebih besar lagi.