My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Senin, 13 Maret 2017

Ekonomi Papua: Bagaimana Meningkatkan Akses Pasar Produk Perikanan Laut?

Sore ini, tampak berjejer perahu motor fiber dengan palka berkapasitas antara 1 - 3 ton ikan disepanjang pantai pasar ikan Sanggeng Manokwari, Papua Barat. Beberapa nelayan diatasnya sedang sibuk memindahkan hasil tangkapannya untuk kemudian langsung di bawa untuk dijual. La Jumat seorang nelayan tuna mengatakan "ini hasil pancingan semalam, hampir 2 ton kita dapat. Satu palka begini (red: ukuran 1m x 55 cm) bisa kita isi ikan sampai 200 ekor hanya dalam 1 malam" sambil menunjukan kearah palka berwarna biru tempat dia menaruh ikannya. Perahunnya memiliki panjang kurang lebih 9 m dengan lebar 55 cm dan digerakan oleh motor tempet berkapasitas 40 pk, tampak 2 unit motor tempel melekat dibelakang perahu yang sedikit dibuat rumah sebagai tutupnya. "Kami hanya fokus mencari tuna saja, sedangkan yang lain ada yang mencari ikan kakap, kerapu atau jenis ikan lema yang kecil-kecil" terang la jumat sambil menunjukan ke arah perahu yang lain yang kebetulan sedang membongkar muatannya. Di atas pelabuhan tempat parkir perahunya tampak para penadah dan penjual sudah menunggu dengan memegang uang untuk langsung dibeli secara tunai hasil tangkapan dari perahu bapak La Jumat. Secara total dengan hitungan kasar, hari ini La Jumat memegang uang cash sekitar 10 juta rupiah karena ikan yang didapat-nya kali ini dijual dengan harga 35 - 50 ribu rupiah per ekor tergantung ukuran besar kecilnya. Ikan yang ditangkapnya pun antara 700 gram sampai berat > 10 kg untuk tuna yang besar. La Jumat adalah satu dari puluhan nelayan yang setiap harinya mengantarkan ikan untuk di jual ke pasar sanggeng.

Di dalam Gedung utama tempat penjualan ikan suasana pasar yang riuh dan ramai dengan proses tawar-menawar dan transaksi ekonomi yang terjadi. "ekor-kuning.... ikan merah.... gurapu... julung.... cumi-cumi.... " terdengar suara para penjual berusaha memikat para pembeli yang sore ini, karena cuaca cukup cerah jumlahnya banyak dan mebuat padat pasar. Luther seorang pedagang asli Papua adalah salah satu dari pedagang di pasar induk sanggeng. Lelaki muda yang umurnya masih sekitar 30 tahun ini keseharian/pekerjaan utamanya adalah pedagang ikan. "ikan jenis kerapu, lalosi ekor kuning atau kakap merah kalau mau cari yang segar, harus datang hari jumat atau sabtu, kerena ketong pu nelayan baru datang dari laut" jelasnya. "Ikan banyak, tetapi pembeli kurang, makannya kita siapkan box-box es dan tempat penyimpanan seperti dibelakang sana untuk tetap memastikan ikan tidak rusak dan bisa dijual lagi besok paginya. Tapi tidak tahan lama dan harus segera dijual atau dimakan karena kita tidak mau tahan ikan lama-lama" Luther kembali menjelaskan bagaimana mereka berjualan. Hampir semua pedagang di pasar induk sanggeng memiliki freezer atau box es untuk tetap menjaga kualitas ikan dan box-box ini berjejer rapi memadati gudang penampungan yang sudah dibangun oleh pemerintah. Luther setiap harinya menjual jenis-jenis ikan seperti kakap, kerapuh dan bubara yang memiliki kandungan protein tinggi dan nilai pasar yang tinggi pula. Sampai sore menjelang malam pasar mulai sepi tampak sebagian pedagang yang tidak habis dagangan ikannya mengemas ikan untuk segera disimpan di dalam pendingin. Kira-kira hampir 30% dari total ikan yang dijual dibawa kembali untuk disimpan dan dijual pada hari berikutnya. Ada beberapa yang beruntung dagangannya habis tentunya.

Bapak Rumadas dari Dinas perikanan Kabupaten Manokwari pada saat ditemui mengatakan bahwa prospek usaha perikanan di Manokwari khususnya dan Papua Barat secara keseluruhan masih sangat tinggi tetapi pemasaran masih menjadi kendala utama mengapa belum signifikan kontribusi sektor perikanan terhadap pendapatan daerah. "Kalau ada pasar yang menguntungkan dan mendekat langsung dengan masyarakat pastinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat" terangnya. Pilihan pasar yang dominan hanya didalam Manokwari sejauh ini atau pasar lokal sebenarnya tidak seimbang dengan jumlah tangkapan yang dilakukan masyarakat. Sehingga faktor ini mempengaruhi masyarakat untuk tidak mengumpulkan dalam jumlah yang banyak karena kekhawatiran tidak terjual semua. Menghitung bagaimana jumlah hasil tangkapan dari puluhan nelayan di Kabupaten Manokwari setiap harinya sudah pasti akan membawa kita pada pertanyaan bagaimana seharusnya penatausahaan hasil perikanan laut dilakukan? Penyediaan pilihan pasar seperti apa yang harus dihadirkan untuk memastikan orang-orang seperti La Jumat dan Luther mendapatkan manfaat lebih dari usahanya sekaligus bagaimana mereka bisa berkontirbusi pada pertumbuhan ekonomi daerah?

Potensi Tinggi, Belum Optimal dikelola, Minim Pasar

Papua dengan laut yang luas dan belum banyak terkontaminasi sudah pasti menjadi rumah ternyaman bagi berbagai jenis ikan. Raja Ampat misalnya sebagai salah satu yang terkenal parairan dan pulaunya berdasarkan hasil riset CI dan TNC tercatan > 450 jenis ikan karang, semua tipe jenis ikan tuna dan ribuan biota laut yang nilai ekonomi tinggi bisa ditemukan ini. Sebagai bagian dari coral triangle area, sekitar 70% dari total spesies ikan dunia ada disini. Inilah kenapa kemudian kepulauan Raja Ampat saat ini mendunia dan menjadi satu pilihan destinasi wisata exclusive bagi para pencinta laut. Kebanggan laut Papua Barat masih terus harum dengan nama-nama besar seperti PT. Usaha Mina di Kota Sorong dengan hasil tuna-nya serta PT. Wimbrow di Kabupaten Teluk Bintuni dan PT. Avona di Kaimana dengan produksi udangnya. Tidak tangung-tanggung; PT Usaha Mina misalnya menangkap dan mengirimkan > 400 ton ikan tuna pada tahun 2013 dengan laba bersih mencapai Rp. 17 miliar.

Pengembangan sektor perikanan laut pada berbagai pilihan kelas produksi dan pasar belum dilakukan secara baik. Kecenderungan untuk tetap memberikan pasar dikontrol bebas dan urusan outreach market diluar daerah menjadi tanggung jawab masing-masing orang atau kepada siapa yang membaca peluang tanpa campur tangan serius pemerintah kelihatan menjebak progress pembangunan industri perikanan yang maju. Cerita bagaimana nelayan dan para pedagang di pasar sanggeng harus menyimpan ikannya kembali karena tidak habis terjual adalah persoalan krusial di sektor perikanan yang harus direspon. Mendapatkan nilai tambah ekonomi, pendapatan daerah dan penigkatan penghasilan masyarakat adalah ketika pertumbuhan pasar dan intensitas jual beli/transaksi pasar terjadi bukan hanya inter wilayah atau lokal tetapi juga intra wilayah. Mendekatkan pasar dan menghadirkan pilihan pasar produk perikanan kepada masyarakat adalah langkah yang perlu dilakukan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi kerakyatan Papua dari sektor perikanan. Bagaimana kemudian ikan Kakap, Kerapu, Bubara dan Tuna yang di pasar-pasar di Jakarta, Surabaya bahkan pasar luar adalah ikan-ikan yang mahal tetapi masih menjadi buruan konsummen perlu dicermati dan ditindaklanjuti serius untuk meningkatkan pemanfaatan hasil laut yang lebih besar dan bermanfaat bagi masyarakat dan daerah.

Perikanan menjadi bagaian dari satu sektor ekonomi "primitif" yang mana lebih dari 30% penduduk asli Papua bergantung pada-nya. Potret pasar sanggeng Manokwari sebagai satu contoh dimana jumlah pedagang dan nelayan Papua yang melebihi 50% dan bagaimana pertukaran dan transaksi ekonomi yang terjadi bisa mencapai puluhan juta rupiah dalam sehari adalah titik penting membangun ekonomi Papua dari sektor perikanan dengan melihat pada kekuatan dan persoalan yang harus respon.


Jumat, 10 Maret 2017

Sira and Manggroholo Villages Received Forests Management Licenses


Official Awarding by the Provincial Government 

Historical moment just happened in Teminabuan the capital of South Sorong District when the West Papua Province Secretary Assistant Mr. Nicolas Uttung Tike officially awarded the forests management licenses/right to the elders of Sira and Manggroholo. Standing on the bench, Alfred Kladit, Yoel Sremere and Markus Kladit representing big groups of community in the village received the Governor Decree. Traditional dancing such as Tihor, Sayo and Salawa were performed by the community to welcome the news path of responsibilities in protection and properly manage the resources in their territories. As shared by phone, Arkilaus Kladit who is the focal point and key facilitator of this groups shows his happiness of this momentum and said "we are now in good track to make sure we can manage our own resources. Because we worry and don't want oil palm expansion coming and destructing our forests". Adding to him Fredrik Sagisolo the Chief of Knasoimos Customary Community Council (Dewan Perwakilan Masyarakat Adat Knasoimos) raised his grateful by emphasizing, "this a new victory of customary community here in South Sorong. And we hope this inspiring other community to build their spirit to secure and manage their own forest resources".

Officially this is the 1st forests management license awarded to customary community in West Papua. The decree is the next legal steps the community need to be able to manage their forests products after Ministry Of Forestry approved and granted village forests concession in 2014. Total areas of the concession in both village are 3,545 ha and dominated by swamp, dry land and mangrove forests. Resin and sago are the chosen products that the community facilitated by Bentara Papua, Green Peace and Samdhana Institute has identifying will be the potential products to be managed by this villages forests. As confirmed by the Mr. Herman Remetwa, the head of community development division in Forestry Department of West Papua province that these Governor Decree No 181 and 182 of 2016 are part of provincial active supports to the initiative emerging in the areas since social forestry is putting as one of the key strategic issues in forests development agenda of the province in the 5 years.

Social forestry with its 12,7 million ha target are an opportunities for community those who living inside and around forests areas to gets an access to manage their resources. This is part of the current president Mr. Jokowi's regime priority program to provide more clarity and legal security for people to be able to step out from poverty by managing the resources in their territories. As reported by Mr. Sahala Simanjuntak, the head of Maluku Papua Social Forestry Unit (technical unit of Forestry and Environmental ministry) indicatively there are 254,581 ha areal that potentially facilitated as social forestry sites in West Papua Province. Beside South Sorong, there was also a concession granted to customary community in Esania - Kaimana for about 11,005 ha but it has expired last year since there is no facilitation to apply for management licenses two years after awarded.

Next Step: Packaging the detail Management Plan

Overall outcomes or dream we catches from communities in these two villages are "securing their land rights and increasing of welfare by self managing forests resources". Village forests licenses is the tools and scheme they used to meets this targeted changes by trying applying legal and sustainable forests product management at community based level. Since 2014 resin gathered from Agathis and Fatica trees been introducing by Greepeace and Bentara Papua as one of the priority product of these two village forests and its been mainstreaming as one of the core forest product to expand the business that village forests management body will manage eventhough there is no clear record or specific assessment that confirming about the potency of resin.


Sago is another product emerging as priority. It is one of the cash and non cash income for the community. It growing robustly in around villages and has gradually harvesting by the community with the traditional technique the adapting for generations. Papua State University of their 2015 assessment report mentioned that there are about 40 ha of sago plots that spread in Sira and Manggroholo, of which 8 trunk per ha can be harvested and produce up to 350 kg of wet starch. At the same event of lincese Awarding, the sago production and procession machine was granted to the two communities by the social forestry units. Sahala Simanjuntak said "this is the way how ministry of forestry and environment is commitment to help community whose initiating social forestry in their region". Looking at the facts that Sago is the best option this grant has be another positive momentum for community to be more equipped with technical requirement on managing the resources.

Creating a proper management plans with accurate data potency and markets assessment are needed after the license is secured to help community in Sira and Manggrholo taking an advance steps on small scale enterprises. To effectively implement the new awarded governor license, the management body must have a solid and valid management plans for 20 - 35 years and break down detail of annual plans with simple detail business calculation of benefit costs and marketing plan that become reference for community to gets in to the real production of their forests products. On the other sides these documents are also required by the government to make sure the management licenses are applied according to the norms, procedure and standard been regulating by the law. Both Markus Kladit and Alfred Kladit as the head of village forests  management body aware that the robust requirement of forests products production and marketing should be well understood by them to secure their management practices after the governor decree received. Both keep emphasizing the needs of continue facilitation by the NGOs whose has working with them to provisioning concrete benefits and changes they can gets from this village forests.

Rabu, 08 Maret 2017

Menanti Penetapan Kelembagaan Kehutanan di Papua Barat Pasca Penerapan UU 23/2014



Wajah penasaran dan suasana berbeda terasa pada Rapat Koordasi Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua Barat yang dilaksanakan di Hotel Aston Nui Manokwari tanggal 7 - 8 Maret 2017. Kenapa tidak, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang lebih banyak membedah program kerja dan sinkronisasi agenda antara kabupaten/kota, agenda Dishut Provinsi dan agenda kerja lembaga-lembaga UPT kementerian kehutanan di daerah, rapat koordinasi kali ini lebih padat mendiskusikan bentuk, komposisi, struktur dan pengaturan kelembagaan serta distribusi sumber daya manusia ke setiap unit yang sudah didesain oleh Pemerintah Daerah. Rasa penasaran tersebut adalah terkait dengan pengaturan tata kelembagaan yang harus diambil untuk menyesuaikan dengan amanat UU 23 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa urusan kehutanan bukanlah urusan wajib dengan implikasi langsung pada penghapusan dinas Kehutanan di Kabupaten/kota dan penyerahan aset termasuk personil dari Kabupaten/kota kepada Provinsi. Pemerintah harus memangkas birokrasi dan menata overlapping struktur yang sejauh ini dinilai sebagai pemborosan biaya rutin pegawai. Atau dengan kata singkat sekarang ini semua urusan kehutanan di daerah menjadi tanggung jawab provinsi, dimana kondisi ini sudah efektif diterapkan sejak oktober 2016 Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota sudah tidak lagi diakui dan tidak berjalan. "jadi bagaimana status kita? Jabatan dan tanggung jawab apa yang melekat? Kapan CDK atau KPH akan efektif dijalankan? Siapa yang akan dilantik dan pada posisi apa?" Kira-kira ini beberapa pertanyaan dominan yang muncul dari peserta terutama mereka yang berasal dari kabupaten/kota. "Ade kita juga belum tau pasti, semua lagi mengikuti dan menunggu keputusan dan arahan dari provinsi" Kata seorang perwakilan dari Kabupaten orang yang saya kenal ketika saya bertanya bagaimana status-nya?

Implikasi besar tentunya pada delay pekerjaan yang panjang. Pak Erens Ngabalin, Mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari misalnya secara lugas kembali menyampaikan keberatannya terhadap implementasi UU 23/2014 yang dianggap tidak secara holistic dan tidak manusiawi melihat kepentingan daerah dan staff-nya dalam memberikan pertimbangan terhadap efektifan layanan kehutanan di daerah. "Hutan di Papua ini Luas dan butuh orang di Kabupaten/Kota untuk bekerja, bisa dibayangkan sekarang kosong unit-unit dan petugas-petugas di lapangan karena perubahan yang terjadi - apa yang diharapkan dari cita-cita dan target pengamanan hutan?" terangnya. Penegasan ini merespon presentasi Bapak Ir Bachril Bakhi, M. App dari Kementerian Dalam Negeri yang hadir memenuhi undangan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat memberikan materi tentang kelembagaan kehutanan berdasar UU 23/2014 dan PP 18 2016. Dalam penjelasannya Pak Bachril mengatakan "point penting dari perumusan dan persetujuan UU 23/2014 adalah efisiensi anggaran belanja negara. Kajian yang dilakukan oleh Depdagri menemukan bahwa ada rasio belanja yang tidak seimbang dimana >50 % anggaran dipakai untuk belanja pegawai ketimbang belaja modal yang dibutuhkan untuk pemerataan dan percepatan pertumbuhan ekonomi terutama di level masyarakat. Implikasi penerapan kebijakan Otonomi Daerah sebelumnya adalah alokasi anggaran untuk mendukung program-program produktif dan bentuk lain pemberian manfaat ke masyarakat kurang terasa". Selain itu di Tambahkannya "pengaturan kelembagaan mempertimbangan aspek teknis layanan langsung kepada masyarakat, untuk Cabang Dinas Kehutanan dan UPTD misalnya dia mengambil peran operasional teknis mendukung kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh dinas dan bersentuhan langsung dengan masyarakat". Pak Bachril kembali menekankan bahwa ada proses penilaian dan kajian berdasarkan skoring sebagaimana regulasi mengatur-nya untuk menentukan pembentukan unit-unit kerja untuk layanan kepada masyarakat yang lebih optimal sebagaimana amanat Presiden untuk memastikan bahwa ada penghematan antara 10 - 15% dari belanja pegawai untuk dialokasikan kepada program-program langsung kepada masyarakat.

Secara legal pasca UU 23/2014 ditetapkan pemerintah telah mengemas dan menyiapkan perangkat regulasi dan arahan teknis untuk bisa dipedomani oleh daerah melakukan penataan kelembagaan dan birokrasi tanggung jawab di daerah dengan penekanan pada urusan administrasi dan fungsional yang efisien dan efektif. Untuk urusan kehutanan misalnya ada 2 rujukan aturan utama yaitu PP 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah dan Peraturan Menteri Kehutanan Dan Lingkungan Hidup No 74 Tahun 2016 Tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Urusan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagai tindaklanjut, pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat bersama dengan DPRD Provinsi telah juga mendorong dan menetapkan PERDA No 7 Tahun 2016 Perangkat Daerah di Provinsi Papua Barat yang menyebutkan juga tentang pengaturan kelembagaan urusan kehutanan dan lingkungan hidup di Provinsi Papua Barat. "Diskusi tentang kekhususan Papua sudah juga dibangun di Jakarta, sehingga saat ini Permendagri Tentang Kelembagaan Papua tinggal menunggu pencatatan Nomor di Kemenhumham" Kata Pak Bachril. Permendagri yang dimaksudkan No 12 Tahun 2017 ini adalah bentuk komunikasi politik dan teknis dari provinsi untuk memastikan kepentingan tata layanan kehutanan di Papua dan Papua Barat yang luas hutannya mencapai 40 juta ha dengan prosentasi tutupan >90% bisa terlaksana dengan Baik. Lebih lanjut, menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Ir. F.H Runaweri,MM peraturan Gubernur mengenai kelembagaan kehutanan di Papua Barat yang menyebutkan jumlah dan struktur CDK, UPTD dan KPH di Provinsi Papua Barat sedang disusun. "Dokumennya sudah ada dan sudah dibawa untuk didiskusikan di Kemendagri, tetapi kemendagri masih meminta kajian Akademis. Sehingga saat ini kita meminta UNIPA untuk membuat kajian teknis tersebut" tegas Pak Kadis menegaskan sesi sebelumnya dimana 3 Dosen Fakultas Kehutanan UNIPA memaparkan kerangka kajian yang akan dilakukan terhadap kelembagaan urusan kehutanan di Provinsi Papua Barat.


Layanan Kehutanan yang Terhambat 

Implikasi langsung dari pelimpahan aset dari kabupaten/kota ke provinsi, penghapus dinas kehutanan di kabupaten dan perombakan birokrasi didaerah adalah fakum-nya aktifitas pelayanan kehutanan di daerah. Kepala KPHP Sorong misalnya menghighlight berkurangnya kontrol terhadap aktifitas penebangan dan pemuatan kayu dengan dasar ijin pemungutan yang terjadi selama proses delay pengaturan kelembagaan ini. "melihat efisiensi anggaran sah-sah saja, tetapi tetap harus memperhatikan produktifitas pengelolaan dan pengamanan hutan didaerah. Jangan sampai hutan dan masyarakat yang menjadi korban" pesan Kepala KPHP Sorong D.Lumbangoal kepada Perwakilan Depdagri. Senada dengan Kepala KPHP Sorong, Perwakilan dari Kabupaten Maybrat bapak Wafom juga mengangkat isu kritis tersebut tentang pentingnya percepatan penataan kelembagaan, struktur dan tanggung jawab sampai kedaerah sehingga pekerjaan bisa segera dijalankan. Sorotan terhadap aspek layanan pastinya menjadi titik penting Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat untuk bersama dengan pihak pemerintah terkait mengatur secara baik dan cepat kelembagaan ini. Tentu dengan pengaturan tentang komposisi, jumlah dan bentuk layanan operasional yang tepat. Pada sesi tanya jawab tentang naskah akademis saya mengusulkan agar "(1) apa saja UPTD Teknis yang harus dibangun dan yang mana tugas dan fungsinya belum melekat pada desain besar yang diatur dalam kebijakan PP 18 maupun PermenLHK 74/2016? (2) berdasarkan kriteria dan indikator sesuai aturan dan dasar yuridis/akademis berpijak tentang kondisi hutan Papua, para pakar kehutanan di dareah perlu membantu pemerintah untuk merumuskan jumlah dan komposisi kompetensi bidang operasional disetiap unit yang akan dibentuk sebagai pelaksana program-program yang disusun Dinas Kehutanan Provinsi.

Informasi tentang proses yang sedang ditapaki oleh pemerintah Provinsi Papua Barat terutama Dinas Kehutanan untuk memperjuangkan bentuk kelembagan, komposisi struktur organisasi termasuk pengganggaran nampaknya belum membuat mereka yang hadir lega terutama karena semua proses yang berjalan masih memakan waktu panjang untuk proses review, bedah sampai penetapan. Apakah tendensius untuk menunjukan antipati terhadap kebijakan pusat dan pengaturan kebijakan terkait UU 23/2014 yang dinilai merugikan Papua menambah daftar pemicu konflik psikis antara daerah dan pusat yang kemudian harus mengorbankan pelayanan kehutanan di daerah. KPH dibahas khusus tetapi belum mendapatkan perhatian serius. Dalam pemaparannya Kepala Dinas Kehutanan menampilkan 8 kerangka isu strategis kehutanan yang akan dikonkritkan dalam program detail oleh Dinas Kehutanan dimana pembangunan dan support operasionalisasi layanan KPH belum masuk khusus sebagai isu utama, tetapi diarahkan untuk menjadi bagian didalam 8 isu ini. 8 Isu tersebut adalah: (a) pemberantasan illegal logging, (b) optimalisasi penerimaan PNBP, (c) perambahan hutan, (d) pemberdayaan masyarakat, (e) pemantapan kawasan hutan, (f) pengaturan tata industri kehutanan, (g) peran serta masyarakat adat dan (h) perhutanan sosial. Sekalipun begitu, apabila dilihat masih banyak overlapping isu yang sebenarnya hanya menjadi satu isu kunci, tetapi tentu point kritisnya adalah semua ini akan bisa di programkan baik sampai dilaksanakan dengan capaian yang diharapkan apabila struktur, kelembagaan dan distribusi sumber daya manusia di laksankan dengan tepat.

Minggu, 05 Maret 2017

Solar Panel To Powering the Provincial Office Building in Arfai - Manokwari


The West Papua Government has stating to applying low emission development approaches by installing the solar panel to generate the electricity and powering all the entire Provincial government building that now built in Arfak hill Manokwari, West Papua. Eventhough not effectively operating but the panels is claimed to reduce the current dependency in fossil fuel diesel machine in electricity company. This should come as an innovative action to catch the potency of sun energy in Manokwari that enormously high. When in sunny day the hot sunny shine can reach 35 degree Celsius. There is no confirmation yet how much electricity energy can be produced from this plant.

Rabu, 01 Maret 2017

'Koba-Koba' Is Still Alive

What would you image to have one product that can be used for more than 5 purposes? Like keep your body warm, become umbrella when the rains come, become a mattress for sleep, become a temporary foods bags for commutes and the bags to keeps your money or any material while you are traveling.  I don't thinks it easy for us to find it. We always bring many things for over travelling needs. Each material based its function as mentioned above are different I think and we should puts them in out big travel bag to do travelling. And if you ask me I will says it is "Koba-Koba' from the bird head of Papua Island.

Koba-koba is the local words describing this multipurpose material that form by the sawing Pandan leaf and be used by people in the Papua particularly those in the bird head of Papua for travelling. I'm happy to remain see this product are still alive until now even though its rarely found. Because I do remember the story my father told me about the importance of "koba-koba" in their childhood times with it uses for different purposes. One of the fantastic story when he said before Papuan people touching modern mattress, koba-koba is always likes a treasure particularly for the new birth women to lays their baby while sleeping. It is also the playing areas for  the baby while her mother cultivating their traditional garden and when the baby was sleeping it is used to cover the baby. When the rains come people will use this as umbrella. Another inspiring story he told me was when he went out from the village to access better education about 43 years ago his mother only gave him two piece of yams and 1 small slices of roasted wild pigs that putted in the Koba-Koba while advised him with words "Namo Tuan/become a success man" with this small things.


Happy to see this traditional hand made multipurpose koba-koba is still alive. In September 2016 during the trip preparation to Waibem Village, I found this in Sausapor of Tambrauw when two people wearing it to cover their body from rain. I know it is rarely to find it now and the purposes might has changes much since the new modern material and facilities are easily to access by community in town. Number of woman with the ability to sawing this koba-koba has also decrease by their ages and no class for handy craft to transfer knowledge and value to the next generation. To confirm this fact, I met Mama Baru - she was told me that "the new coming synthetics umbrella, sponge mattress, plastic bags and plastic box to package food for traveling has changing much their willingness to keep produce koba-koba". She also express her sadness by saying "I sad because most of the recent generation are not longer aware of this big cultural knowledge and mostly chose the synthetics material for the needs". 

Since is made from natural material i've learned from my family that this material can be used until 2 years and then you needs to sawing the new one because after two years its mostly broken by its ages and used especially when people using it as umbrella. Question are again appeared in my hear - how long this local knowledge and handy craft will still alive? What action do we need to take to secure the tradition and this valuable wisdom and tradition of having ecological friendly multipurpose material?  

Sometime Koba-Koba Is Used In the Traditional Ceremony