My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Senin, 11 Agustus 2014

Pintu Terbuka Untuk Perjuangan Panjang Implementasi IUPHHK-MHA di Papua



Penetapan PERMENHUT P.43 Tahun 2014 tentang tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak dan Perdirjen BUK Nomor P.5 Tahun 2014 telah membuka ruang legal pengelolaan hutan oleh Masyarakat Adat di Papua. Boleh dikatakan satu kaki sudah berada dalam pengakuan legal tata usaha kayu untuk ijin masyarakat adat yang keluarkan oleh Gubernur dengan dasar PERDASUS Papua no 21 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan.

Sejak ditetapkannya PERDASUS 21 Tahun 2008 dan Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaanya, (lihat posting sebelumnya: http://tapakbatas.blogspot.com/2014/08/urgensi-penerapan-svlk-terhadap.html) masyarakat di 14 koperasi model belum bisa melakukan aktifitas produksi sebab kayu-kayu yang dikeluarkan dari kawasan hutan dengan dasar ijin gubernur Papua ini dianggap ilegal karena tata usaha kayu yang secara aturan mengacu pada UU 41/1999 tentang Kehutanan tidak mengakui skema IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA sebagai bagian dari skema pengelolaan hutan oleh masyarakat di Indonesia. Pada saat bersamaan di tingkat nasional Kementerian kehutanan mengeluarkan 3 Peraturan Menteri Kehutanan yang memberikan ruang legal kepada masyarakat dalam konteks 'desa administratif' untuk mengelola sumber daya hutannya. Perangkat legal tersebut adalah Permenhut 37/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Permenhutn 49/2008 Tentang Hutan Desa (HD) dan Permenhut 26/2009 Tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Ironisnya adalah pemerintah nasional dan Pemerintah Provinsi seakan membangun sebuah persaingan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dimana satu skema lainnya dibatasi untuk tidak diakui tetapi skema yang lainnya pun tidak dilihat secara serius. 

Amanat PERDASUS Papua No 21/2008 adalah memberikan ruang kelola dan kesempatan bagi masyarakat adat Papua untuk dapat mengelola sumber daya hutannya secara profesional dan lestari dan pada saat bersamaan memberikan nilai manfaat dan nilai tambah yang besar bagi kesejarhteraan masyarakat adat di Papua. Peraturan ini sekaligus didesign untuk menjawab tantangan pengelolaan hutan di Papua yang kecenderungan dikuasai oleh pemodal besar dan menempatkan masyarakat sebagai object yang dibatasi hak dan ruang kelola-nya melalui pembayaran kompensasi. 

Diskusi, komunikasi, konsultasi dan koordinasi terus dilakukan pemerintah Papua sejak 2010 untuk mendapatkan legalitas kayu yang dikelola oleh masyarakat adat Papua dengan dasar PERDASUS 21/2008 ini. Diskusi ini pun melibatkan banyak pihak mulai dari tingkat nasional s/d lokal termasuk para praktisi-praktisi kehutanana di Daerah. Tercatat sekitar 3 kementerian (Kehutanan, Dalam Negeri dan Ekonomi Perdagangan) dilibatkan dalam diskusi yang tidak juga menemukan titik terang sampai saat dimana Kementerian mendiskusikan pemantapan PHPL dan SVLK di Indonesia. Flash back kembali selama separuh tahun 2014 ini, tercatat ada sekitar 5 kali diskusi baik di tingkat nasional dan provinsi untuk membahas pengakuan legal skama IUPHHK-MHA di Papua: 
  1. Tanggal 4 dan 5 Maret 2014, konsultasi regional SVLK di Bali. Dimana salah satu penekanan disitu bahwa SVLK akan dianggap cacat untuk dimplementasikan di Indonesia apabila tidak mengakui skema pengelolaan hutan yang diatur dalam PERDASUS 21/2008 di Papua. Rekomendasinya adalah melakukan kajian dan diskusi lebih dalam di Papua untuk disampaikan dalam diskusi nasional tanggal 19 Maret di Jakarta. 
  2. Tanggal 14 dan 15 Maret 2014, sebagai tindaklanjut dari Pertemuan di Bali, pertemuan internal tim Papua dengan menghadirkan pakar PHPL/SVLK Pa Jansen Tangketasik dan Pakar Hukum Kehutanan Pak Sulaiman Sembiring dilakukan di Jayapura. Pertemuan ini difasilitasi aktif oleh The Samdhana Institute dan WWF indonesia bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Bahan yang disajikan dalam (http://tapakbatas.blogspot.com/2014/08/urgensi-penerapan-svlk-terhadap.html) adalah hasil dari diskusi ini. 
  3. Tanggal 19 Maret 2014, Konsultasi Nasional SVLK dilakukan di Hotel Ciputra. Konsultasi ini secara dalam mendikusikan semua ide-ide yang berkembang dalam diskusi regional. Tim Papua membawa hasil diskusi 14 dan 15 Maret untuk disampikan kepada semua peserta dari Direktur BPPHH Kemenhut. 
  4. Tanggal 21 dan 22 Maret rapat lanjutan dilakukan di Kementerian Kehutanan untuk membahas semua masukan yang didapat dalam diskusi tanggal 19 Maret 2014 yang membahas revisi PP 6/2007 dimana dalam diskusi ini dari Papua mengusulkan agar MHA dimasukan dalam revisi tersebut. 
  5. Tanggal 26 Maret, rapat dilanjutkan kembali dan membahas juga point-point legal yang akan dimasukan dalam revisi PP 6/2007 Tentang Penataan Hutan.
  6. Tanggal 04 April 2014, sebagai tindaklanjut dari diskusi tanggal 26 Maret Pak Jansen melakukan kunjungan ke Papua untuk bertemu para pihak di Papua untuk melakukan desk study dan analisis harmonisasi Peraturan IUPHHK-MHA. Rapat ini juga menghadirkan Biro Hukum Provinsi Papua. 
  7. Tanggal 06 dan 07 Mei 2014, dilakukan kembali konsultasi draft Permenhut tentang SVLK, dimana peserta dari Papua juga diundang. 
  8. Tangal 23 Mei, Rapat dilakukan di Bogor dan juga membahas NSPK MHA Papua. 
  9. Tanggal 2 Juni 2014 dilakukan pembahasan khusus tentang NSPK IUPHHK-MHA Papua di Hotel Horison Bogor. Dimana diskusi ini terlibat aktif Dinas Kehutanan Provinsi Papua, WWF - Papua, UNIPA dan Samdhana Insitutut. 
  10. Tanggal 16 - 18 Juni dilakukan FGD Kedua Pembahasan NSP IUPHHK-MHA Papua dan FGD Ke-4 Draft Peraturan teknis SVLK di Jakarta. 
  11. Tanggal 27 Juni, Permenhut 43/2014 tentang PHPL dan VLK pada Pemegang Ijin dan Hutan hak ditetapkan. 
  12. Tanggal 14 Juli 2014 Perdirjen BUK No.5/2014 tentang perutan teknis Pelaksanaan VLK/PHPL dikeluarkan. 

Sebagai tindaklanjut dari dikeluarkannya PERMENHUT 43/2014 dan Perdirjen BUK No.5/2014 desk analysis dilakukan tanggal 08 Agusuts 2014 bersama dengan Ketua Koperasi Sup Mase - Biak dan Ketua Koperasi Yera-Asai, Yapen sebagai contoh dari IUPHHK-MHA yang ijin-nya sudah ada dan ditemukan dan disimpulkan bahwa VLK yang diatur dalam Permenhut 43/2014 dan PERDIRJEN BUK 5/2014 compatible dan applicable untuk diimplementasikan di Papua. Selanjutnya, untuk implementasinya IUPHHK-MHA di Papua masih menunggu Permenhut Tentang NSP-Papua yang mana didalamnnya akan memuat Pelimpahan kewenangan dari Menhut kepada Gubernur Papua dalam hal perijinan Pemanfaatan dan pengesahan rencana pengelolaan hutan IUPHHK-MHA di Papua.
  

Sabtu, 09 Agustus 2014

Urgensi Penerapan SVLK terhadap Impementasi IUPHHK-MHA

Tim Dinas Kehutanan Provinsi Papua, UNIPA, WWF dan Samdhana Institut
Jayapura, Maret 2014


URGENSI PENERAPAN SVLK
ATAS IMPLEMENTASI IUPHHK-MHA 


A. Kerangka Masalah

Papua dengan luas hutan mencapai 31 juta ha, secara national memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan kehutanan.  Praktek pengelolaan hutan yang berjalan sampai saat ini di Papua diakui telah memberikan nilai tambah yang besar baik  terhadap peningkatan pendapatan daerah maupun pembangunan ekonomi local sampai keterbukaan akses masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Hutan Papua dengan kekayaan alamnya yang besar, masih memberikan tantangan besar bari para aktor kehutanan dan lingkungan dalam pengelolaannya. Secara social (1) pengelolaan hutan di Papua belum secara signifikan memberikan pengaruh pada penuntasan kemiskinan masyarakat, (2) masih tinggi konflik antara masyarakat adat dengan pengakuan de facto sebagai pemilik hak adat atas sumber daya hutan dengan pemerintah sebaga pengatur dan perusahaan sebagai pengelola, (3) pembagian manfaat yang tidak adil yang juga mengakibatkan kesenjangan dan ketidakadilan dan (4) minimnya partisipasi masyarakat dalam praktek pengelolaan hutan secara legal. Pada aspek ekonomi-pembangunan, diakui bahwa nilai manfaat pengelolaan hutan bagi daerah/negara masih belum dipungut secara optimal akibat praktek-praktek pemanfaatan hutan di masyarakat yang belum memiliki izin legal. Hal ini terjadi sebagai implikasi dari kesenjangan ekonomi di tingkat masyarakat dan ruang akses legal yang masih sulit diperoleh   masyarakat adat terutama dibidang legalitas produksi kayu masyarakat adat.

Persoal-persoalan di atas tentu menjadi “boomerang” terhadap citra pembangunan kehutanan nasional yang bertemakan ‘hutan untuk kesejahteraan masyarakat’.  Secara local, memberikan kritik terhadap Papua dengan UU Otonomi Khusus yang merupakan lex specialist bagi pembangunan di Papua yang belum mampu menjawab kebutuhan pembangunan.

Merespon permasalah d iatas dengan belajar dari pengalaman IPKMA pada periode 2002 – 2003 yang memberikan penekanan pada lemahnya aspek kebijakan teknis, control dan monitoring serta mekanisme verifikasi yang tersistem, beberapa langkah maju telah digagas di Papua.. Pemerintah Daerah provinsi dengan mengacu pada UU 21 Tahun 2001 tentang Otsus dan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan membentuk Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua (PERDASUS) No 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua. Perdasus dengan menekankan pada harmonisasi kepentingan nasional dan Papua, telah memberikan ruang legal bagi masyarakat adat asli papua untuk berkesempatan mengelola sumber daya hutannya – dengan kayu sebagai salah satu  hasil hutan yang dikelola. Dibawah PERDASUS 21 Tahun 2008, 3 skema pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dikembangkan yaitu: (1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA), (2) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (IUPHHHTR-MHA) dan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHH).

Merespon kebutuhan pengaturan legal teknis pengelolaan dan pemanfaatan di dalam skema IUPHHK-MHA, IUPHHK-HTRMHA dan IUIPHH, sebanyak 9 Peraturan Gubernur (PERGUB) dan  4 SK Kepala Dinas kehutanan dan Konservasi untuk mengatur tentang control dan monitoring peredaraan hasil hutan Izin usaha masyarakat hukum adat. Semangat dari PERDASUS dan  Peraturan Gubernur tersebut adalah menata pengelolaan hutan di Provinsi Papua untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua khususnya masyarakat hukum adat, menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, memberikan kesempatan kepada masyarakat adat Papua untuk berperan aktif   dalam pengelolaan hutan lestari untuk peningkatan kesejahteraan hidupnya sekaligus mendukung optimalisasi nilai manfaat hutan Papua bagi Negara melalui izin-izin pengelolaan kayu rakyat yang legal.

B. Tujuan
Kebijakan pemberian ruang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutannya melalui IUPHHK-MHA, IUPHHH-TRMHA dan IUIPHH adalah:
·         Akses legal: Memberikan akses legal kepada MHA untuk mengelola hutan dengan menggunakan prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan legalitas produksinnya
·         Peluang usaha: Memberikan  peluang  usaha bagi masyarkat adat Papua untuk mampu secara professional membangun bisnis  produktif serta berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah.
·         Nilai Tambah: Meningkatkan nilai tambah hutan dan hasil hutan yang berdampak langsung kepada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan tunai  masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
·         Pertumbuhan Ekonomi: Menertibkan dan mengendalikan kegiatan pemanfaatan hutan dan hasil hutan di Provinsi Papua, sehingga  hak-hak negara (Pajak dan PNBP)  dapat terealisasi dengan baik.
·         Sertifikasi:  mengupayakan agar IUPHHK-MHA mendapatkan sertifikat legal  dengan standar SVLK

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup  tulisan ini adalah pengaturan mekanisme pemanfaatan hutan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi lestari bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan standar legal  SVLK.

D. Manfaat
  • Terjaminnya kepastian hukum dan kepastian berusaha, baik kepada masyarakat hukum adat selaku pemegang IUPHHK-MHA, maupun bagi para investor  di bidang kehutanan yang bermitra dengan IUPHHK-MHA
  • Meningkatnya kesejahteraan dan keberdayaan MHA yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
  •  Meningkatnya pertumbuhan ekonomi lokal yang berpengaruh terhadap meningkatnya kekuatan fiskal daerah.
  • Meningkatnya stabilitas sosial, politik dan ekonomi untuk meminimalisir konflik dan  bibit disintegrasi   bangsa di Tanah Papua.
  • Pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dapat dilaksanakan secara legal,  terkendali dan menggunakan prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari 
  • Mengurangi praktek-praktek  “Illegal Logging” yang dilakukan oleh masyarakat  maupun oleh mitra kerja
E. Konsep Legal IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHH di Papua

Matriks berikut secara rinci  menampilkan konsep legal IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHH di Papua:
Table. 1. Konsep IUPHHK-MHA dan IUPHHHTR-MHA
IUPHHK-MHA
IUPHHK HTR-MHA
Lokasi
·    Berada dalam hak ulayat masyarakat di kampung yang diusulkan
·    Kawasan hutan produksi tetap,
·    Hutan produksi yang dapat dikonversi,
·    Kawasan Budidaya Non Kehutanan/Areal Penggunaan Lain
·    Apabila areal telah dibebani perizinan usaha pemanfaatan hutan kayu dilakukan pola kerjasama kemitraan
·  Tanah hak ulayat yang merupakan lahan kritis, tidak produktif, baik yang berada di dalam kawasan hutan produksi atau kawasan budidaya non kehutanan
·  Tidak dibebani izin/hak lain
·    Letaknya diutamakan dekat dengan lokasi industri hasil hutan.
Pemohon
Untuk IUPHHK-MHA
·    Koperasi masyarakat pemilik hak ulayat
·    Badan usaha milik masyarakat hukum adat

Pemohon IUPHHK HTR-MHA
·  Kelompok tani atau koperasi atau badan usaha yang dibentuk oleh pemilik hak ulayat yang telah memperoleh pengesahan dari lembaga adat, kepala kampung dan diketahui oleh kepala distrik
Kelompok tani/ koperasi/ badan usaha yang dibentuk masyarakat suku lain selain pemilik hak ulayat yang diberi izin oleh pemilik hak ulayat dan disahkan oleh lembaga adat, ketua kampung dan diketahui oleh kepala distrik
Perijinan
Gubernur Papua dengan rekomendasi dari Bupati/Walikota dan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua
·   Pencadangan lokasi oleh Gubernur
·   Perijinan diterbitkan oleh Bupati/Walikota
Luas Areal
2000 – 5000 ha
Maksimal 5000 ha untuk setiap ijin
Lama Ijin
10 Tahun dan dapat diperpanjang
30 tahun dan dapat diperpanjang
Kewajiban pemegang Ijin
Pemegang ijin wajib memiliki IUIPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur.
IUIPHHK dengan peralatan berupa portable sawmill berada di dalam areal kerja IUPHHK
·  Membayar iuran kehutanan
·  Menyusun rencana kerja PHHK yang terdiri dari rencana umum dan rencana operasional
·  Melaksanakan kegiatan selambat-lambatnya 3 bulan sejak ijin terbit
·  Melaksanakan PUHH sesuai ketentuan
·  Menyampaikan laporan kegiatan pada pemberi izin

Tabel 2. Konsep IUIPHHK Rakyat

IUIPHHK Rakyat
Pemohon ijin
Untuk IUIPHHK Rakyat, pemohon adalah: perorangan, koperasi dan badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Hanya mengatur pemberian ijin dengan kapasitas dibawah 6000 m3

RPBBI sebagai syarat teknis dalam permohonan ijin
Sumber Bahan Baku
·  IUPHHK/IUPHHK-MHA/IPK
·  Limbah Pembalakan
·  IPHHK
·  Kayu Lelang
·  Hutan Tanaman Rakyat
·  ISL
Jenis Produk
·  Kayu Gergajian
·  Moulding
·  Flooring
Tujuan Pemasaran
·  Pemasaran lokal, regional, nasional dan eksport
·  Khusus bahan baku dari IPHHK hanya untuk pemasaran lokal
Permohonan Diajukan Pada
·  Bupati/walikota untuk kapasitas dibawah 2000 m3/tahun
·  Gubernur untuk kapasitas 2000 – 6000
·  Dapat diberikan bersamaan dengan IUPHHK MHA
Persyaratan Administrasi
·  Rekomendasi Kepala Dinas Kabupaten/Kota
·  Fotocopy KTP untuk pemohon perorangan dan akte pendirian beserta perubahannya untuk Koperasi
·  SIUP
·  SITU
Persyaratan Teknis
·  RPBBI
·  Daftar nama, tipe dan jenis peralatan
·  Perjanjian kerjasama suplai bahan baku dengan pemegang ijin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu
·  Rencana pengelolaan lingkundan dan rencana pemantauan lingkungan
Penerbit Ijin
·  Gubernur/Bupati/Walikota
·  Dapat dilimpahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Lama Ijin
·  10 tahun bagi yang tidak memiliki jaminan suplai bahan baku
·  Selama jangka waktu perijinan  IUPHHK-MHA bagi yang memiliki jaminan suplai bahan baku

Note
: Mekanisme peredaran hasil hutan disajikan di gambar berikut:


F. Aturan Legal IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHHK-MHA di Papua

Sebagaimana disebutkan di pendahuluan bahwa IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHHK-MHA di Papua dibangun dengan semangat mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan yang memberikan manfaat kepada masyarakat adat dan Negara. Sehingga dalam rancang bangunnya, perangkat hukum nasional dan local dipakai sebagai konsideran utama, beberapa perangkat legal yang menjadi konsideran adalah:
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat
  • Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 
  • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua 
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi
  • Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;


Sebagai turunan dari PERDASUS 21/2008, berikut adalah PERGUB-PERGUB yang dikembangkan sebagai peraturan pelaksana IUPHHK-MHA, IUPHHHTR-MHA dan IUIPHH di Papua :
  • Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat;
  • Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu
  • Peraturan Gubernur Nomor: 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA)28
  • Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakkan
  • Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang Tata Cara Industri Primer Hasil Hutan kayu Rakyat
  • Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemetaan Hutan Masyarakat Hukum Adat
  • Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
  • Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Provinsi PapuaPeraturan Gubernur Nomor: 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemberian izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan.

G. Perkembangan Perizinan

Sejak tahun 2010 PERGUB-PERGUB pelaksana PERDASUS 21/2008, 14 Izin telah diterbitkan oleh Gubernur Provinsi Papua, 5 diantaranya adalah IUPHHK MHA model.   Model-model tersebut dan informasi kesiapan pengelolaannya disajikan dalam table berikut:

Tabel 3. Perkembangan dan kesiapan implementasi 5 model IUPHHK-MHA di Papua

No
Lokasi Model
Kesiapan Implementasi
Lembaga
Areal Kerja
Ijin
Persiapan Pengelolaan
Sarana/ Prasaran
Pendamping
1
KSU Mo Make Unaf di Kabupaten Merauke
·  SK Koperasi
·  AD/ART
·  Modal kerja 100 juta
Luas: 4500 ha
Jangka Waktu: 10 tahun  (dapat diperpanjang)
Kelas Perusahaan : Rimba Campuran
AAC : 6000m3/thn
IUPHHK-MHA: No. 91 Tahun 2011
IUIPHHK-MHA No. 99 Tahun 2011
RKU, RKT  sudah disahkan
·         Chain saw
·         Portable sawmill
WWF Regio Sahul dan Dinas Kehutanan Kab.
2
Koperasi Year Esai di Kabupaten Kepulaun Yapen
·  SK Koperasi
·  AD/ART
·  Modal kerja 100 juta
Luas: 3000 ha.
jangka Waktu : 10 Than (Dapat diperpanjang)
Kelas Perusahaan: Merbau, Rimba Campuran
AAC = 6000 m3/thn
IUPHHK-MHA No. 98 Thn 2011
IUIPHHK-MHA No. 92  Thn 2011
RKU, RKT  sudah disahkan
·         Chain saw
·         Portable sawmill
WWF – Regio Sahul dan Dinas Kehutanan Kab. Kepulauan Yapen
3
KSU Tetom Jaya di Kabupaten Sarmi
·  SK Koperasi
·  AD/ART
·  Modal kerja 100 juta
Luas:  4800 ha
Jangka Waktu: 10 Tahun (Dapat Diperpanjang)
Kelas Perusahaan : Merbau, Rimba Campuran
AAC = 6000 m3/Thn
IUPHHK-MHA No. 93 Thn 2011
IUIPHHK-MHA No. 100 Thn 2011
RKU, RKT  sudah disahkan
·         Chain saw
·         Portable sawmill
Pt PPMA – Papua dan Dinas Kehutanan Kab. SARMI
4
Koperasi Jibogol di Kabupaten Jayapura
·  SK Koperasi
·  AD/ART
·  Modal kerja 100 juta
Luas:  5000 ha
Jangka Waktu:  10 Tahun (Dapat Diperpanjang
Kelas Perusahaan: Merbau, Rimba Campuran
AAC = 6000 m3/tahun
Sk : 97 Thn 2011 IUPHHK-MHA; No. 94 Thn 2011, IUIPHHK-MHA
RKU, RKT  sudah disahkan
·         Chain saw
·         Portable sawmill
WWF – Regio Sahul dan Dinas Kehutanan Kab Jayapura
5
KSU Lwagubin Srem di Kabupaten Jayapura
·  SK Koperasi
·  AD/ART
·  Modal kerja 100 juta
Luas: 2500 ha
Jangka Waktu: 10 Thn (dapat diperpanjang)
Kelas Perusahaan: Merbau dan Rimba Campuran
AAC = 6000 m3/tahun
IUPHHK-MHA No. 96 Thn 2011
IUIPHHK-MHA No. 95 Thn 2011
RKU, RKT  sudah disahkan
·         Chain saw
·         Portable sawmill
Pt PPMA – Papua dan Dinas Kehutanan Kab. Jayapura

 Beberapa peta areal kerja Koperasi yang disebutkan disajikan dibawah ini:

Gambar1. Peta Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Koperasi Jibogol di Kabupaten Jayapura

Gambar 2. Peta Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Koperasi Mo Make Unaf di Kabupaten Merauke

Gambar1. Peta Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Koperasi Totem Jaya di Kabupaten Sarmi


 H. Kesesuaian Regulasi Indikator dan Verifier PHPL-SVLK dengan Regulasi Kehutanan Papua

Kriteria dan Verifier PHPL dan SVLK Nasional dan Papua pada prinsipnya sama atau sesuai sehingga dapat diimplementasikan (Lihat Tabel 3, 4, 5 dan 6).   Justifikasi kesesuaian Indikator &Verifier PHPL –SVLK menggunakan norma yang diatur oleh perdasus, pergub Provinsi Papua dan Petunjuk Teknis Dinas Kehutanan Provinsi yang disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 3. Kesesuaian Kriteria & Verifier SVLK Nasional dan IUPHHK-MHA Papua
No.
SVLK Nasional (IUPHHK-HA)
Kesesuaian
IUPHHK-MHA
Keterangan
Prinsip
Kriteria
Indikator
1.
Prinsip 1
Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan
Kriteria 1.1
Areal unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi
Indikator 1.1
Pemegang izin mampu menunjukkan keabsahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Sesuai
Verifier, Perdasus 21 Thn 208, Pergub 13 tahun 2010,
2.
Prinsip 2
Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang Sah
Kriteria 2.1.
Pemegang izin memiliki rencana penebangan pada areal tebangan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
Indikator 2.1.1
RKUPHHK/RPKH dan RKT disahkan oleh pejabat yang berwenang
Sesuai
-
Kriteria 2.2
Adanya rencana kerja yang sah
Indikator 2.2.1
Pemegang izin mempunyai rencana kerja yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku
Sesuai
-
Indikator 2.2.2
Seluruh peralatan kerja yang dipergunakan dalam kegiatan pemanenan telah memiliki izin penggunaan peralatan dan dapat dibuktikan kesesuaian fisik di lapangan



Sesuai
Verifier Pergub 19 Thn 2010
3
Prinsip 3:
Keabsahan Perdagangan atau Pemindahtanganan Kayu Bulat
Kriteria 3.1
Pemegang Ijin menjamin bahwa semua kayu yang diangkut dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan ke TPK Antara dan dari TPK antara ke Industri Primer Hasil Hutan (IPHH)/pasar mempunyai identitas fisik dan dokumen yang sah
Indikator 3.1.1
Seluruh kayu bulat yang ditebang/dipanen atau dimanfaatkan telah di LHPkan.
Sesuai
Verifier Pergub. 12 Thn 2010



Indikator 3.1.2
Seluruh kayu yang diangkut keluar areal izin dilindungi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
Sesuai
idem



Indikator 3.1.3
Pembuktian asal usul kayu bulat dari pemegang IUPHHK-HA/IUPHHK-HTI/RE/ Pemegang hak pengelolaan
Sesuai
Pergub 13 Than 2010  dam Pergub 12 Thn 2010



Indikator 3.1.4
Pemegang izin mampu membuktikan adanya catatan angkutan kayu ke luar TPK
Sesuai
idem


Kriteria 3.2
Pemegang izin telah melunasi kewajiban pungutan pemerintah yang terkait dengan kayu
Indikator 3.2.1
Pemegang izin menunjukkan bukti pelunasan DR dan atau PSDH
Sesuai
-


Kriteria 3.3
Pengangkutan dan perdagangan antar pulau
Indikator 3.3.1
Pemegang izin yang mengirim kayu bulat antar pulau memiliki pengakuan sebagai pedagang kayu antar pulau terdaftar


Sesuai
-



Indikator 3.3.2
Pengangkutan kayu bulat yang menggunakan kapal harus kapal yang berbendera Indonesia dan memiliki izin yang sah

Sesuai
-
4.
Prinsip 4:
Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang Terkait dengan Penebangan
Kriteria 4.1
Pemegang izin telah memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)/ Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (DPPL)/ Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) & melaksanakan kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen lingkungan tersebut
Indikator 4.1.1
Pemegang izin telah memiliki Dokumen AMDAL/DPPL/UKL-UPL meliputi Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Kelola Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah disahkan sesuai peraturan yang berlaku meliputi seluruh areal kerjanya.
Sesuai
-



Indikator 4.1.2
Pemegang izin memiliki laporan pelaksanaan RKL dan RPL yang menunjukkan penerapan tindakan untuk mengatasi dampak lingkungan dan menyediakan manfaat sosial.

Sesuai
-
5.
Prinsip 5
Pemenuhan terhadap Peraturan Ketenagakerjaan
Kriteria 5.1
Pemenuhan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3)


Indikator 5.1.1
Prosedur dan implementasi K3
Sesuai
-


Kriteria 5.2
Pemenuhan hak-hak tenaga kerja
Indikator 5.2.1
Kebebasan berserikat bagi pekerja
Sesuai
Verifier AD/ART -



Indikator 5.2.2
Adanya kesepakatan kerja bersama atau peraturan perusahaan

Sesuai
idem



Indikator 5.2.3
Perusahaan tidak mempekerjakan anak di bawah umur
Sesuai
idem
Tabel 4.  Kesesuaian Indikator & Verifier  SVLK Nasional dan IUPHHK-HTR Papua
No.
SVLK Nasional (HTR,HKm, HD)
Kesesuaian
HTR-MHA
Keterangan
Prinsip
Kriteria
Indikator
1
Prinsip 1
Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan
Kriteria 1.
Areal unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi
Indikator 1.1
Pemegang izin mampu menunjukkan keabsahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Sesuai
Perdasus 21 thn 2008, Pergub 11 Thn 2010
2.
Prinsip 2
Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang Sah
Kriteria 2.1
Pemegang izin memiliki rencana penebangan pada areal tebangan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
Indikator 2.1.1
RKUPHHK/RPKH dan RKT disahkan oleh pejabat yang berwenang
Sesuai
idem


Kriteria 2.2
Adanya rencana kerja yang sah
Indikator 2.2.1
Pemegang izin mempunyai rencana kerja yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku
Sesuai
Idem



Indikator 2.2.2
Seluruh peralatan kerja yang dipergunakan dalam kegiatan pemanenan telah memiliki izin penggunaan peralatan dan dapat dibuktikan kesesuaian fisik di lapangan (tidak berlaku bagi pemegang hak pengelolaan)
Sesuai
Pergub 19 Thn 2010


Kriteria 2.3
Pemegang Ijin menjamin bahwa semua kayu yang diangkut dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan ke TPK Antara dan dari TPK antara ke Industri Primer hasil hutan (IPHH)/pasar mempunyai identitas fisik dan dokumen yang sah
Indikator 2.3.1
Seluruh kayu bulat yang ditebang/dipanen atau dimanfaatkan telah di LHPkan.
Sesuai
Pergub 12 thn 2010



Indikator 2.3.2
seluruh kayu yang diangkut keluar areal izin dilindungi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
Sesuai
idem



Indikator 2.3.3
Pembuktian asal usul kayu bulat dari pemegang IUPHHK-HA/IUPHHK-HTI/RE/ Pemegang hak pengelolaan
Sesuai
idem



Indikator 2.3.4
Pemegang izin mampu membuktikan adanya catatan angkutan kayu ke luar TPK
Sesuai
idem


Kriteria 2.4
Pemegang izin telah melunasi kewajiban pungutan pemerintah yang terkait dengan kayu
Indikator 2.4.1
Pemegang izin menunjukkan bukti pelunasan DR dan atau PSDH
Sesuai
Verifier Pergub. 13 Than 2010
3
Prinsip 3:
Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang Terkait Dengan Penebangan
Kriteria 3.1
Pemegang izin telah memiliki dokumen lingkungan sesuai peraturan yang berlaku
Indikator 3.1.1
Pemegang izin telah memiliki dokumen lingkungan yang telah disahkan sesuai peraturan yang berlaku meliputi seluruh areal kerjanya
Sesuai
Verifier Pergub 13 2010




Indikator 3.1.2
Pemegang izin memiliki laporan  pengelolaan dan pemantauan lingkungan
Sesuai
idem
Tabel 5.  Kesesuaian Indikator & Verifier  SVLK Nasional dan IUIPHHK_MHAPapua
No.
SVLK Nasional (IUIPHH,IUI dan TDI)
Kesesuaian
IUIPHHKR
Keterangan

Prinsip
Kriteria
Indikator

1.
Prinsip 1.
Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu mendukung terselenggaranya perdagangan kayu sah.

Kriteria 1.1.
Unit usaha dalam bentuk :
a)       Industri pengolahan, dan
b)       Eksportir produk olahan memiliki izin yang sah
Indikator 1.1.
Unit usaha pengolahan adalah produsen yang memiliki izin yang sah

Sesuai
Verivier Pergub 15 tahun 2010



Indikator1.2.
Eksportir produk kayu olahan adalah eksportir yang memiliki izin sah, berupa eksportir produsen.
Sesuai
idem


Kriteria 1.2.
Unit usaha dalam bentuk kelompok pengrajin/industri rumah tangga

Indikator 1.2.1.
Akte pembentukan kelompok (koperasi/ CV/ kelompok usaha lainnya)

Sesuai
idem
2.
Prinsip 2.
Unit usaha mempunyai dan menerapkan sistem penelusuran kayu yang menjamin
Kriteria 2.1.
Keberadaan dan penerapan sistem penelusuran bahan baku dan hasil olahannya

Indikator 2.1.1q
2.1.1 Unit usaha mampu membuktikan bahwa bahan baku yang diterima berasal
Sesuai
idem



Indikator 2.1.2
Unit usaha menerapkan sistem penelusuran kayu

Sesuai
idem



Indikator 2.1.3
Proses pengolahan produk melalui jasa atau kerjasama dengan pihak lain (industri lain atau pengrajin/industri rumah tangga)

Sesuai
idem
3.
Prinsip 3
Keabsahan perdagangan atau pemindah tanganan kayu olahan

Kriteria 3.1.
Pengangkutan dan perdagangan antar pulau

Indikator 3.1.1.
Pelaku usaha yang mengirim kayu olahan antar pulau memiliki pengakuan sebagai Pedagang Kayu Antar Pulau Terdaftar (PKAPT).

Sesuai
idem



Indikator 3.1.2
Pengangkutan kayu olahan yang menggunakan kapal harus kapal yang berbendera Indonesia dan memiliki izin yang sah.


Sesuai
idem



Indikator 3.1.3.
PKAPT mampu membuktikan bahwa kayu yang dipindahtangankan berasal dari sumber yang sah
Sesuai



Kriteria 3.2.
Pengapalan kayu olahan untuk ekspor.

Indikator 3.2.1.
Pengapalan kayu olahan untuk ekspor harus memenuhi kesesuaian dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
Sesuai
idem
4.
Prinsip 4
Pemenuhan terhadap peraturan ketenaga kerjaan

Kriteria 4.1.
Pemenuhan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan

Indikator 4.1.1.
Prosedur dan implementasi K3

Sesuai
-


Kriteria 4.2.
Pemenuhan hak-hak tenaga kerja

Indikator 4.2..1.
Kebebasan berserikat bagi pekerja

Sesuai
-



Indikator 4.2.2
Adanya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau Peraturan Perusahaan (PP )

Sesuai
-



Indikator 4.2.3.
Tidak mempekerja-kan anak di bawah umur

Sesuai

  
Tabel 6. Kesesuaian Indikator & PHPL Nasional dengan IUIPHHK_MHAPapua
No.
K&I PHPL Unit Manajemen
Kesesuaian
IUIPHHK-MHA
Keterangan
Kriteria
Indikator
1.
Kriteria 1.
Prasyarat
Indikator 1.1. 
Kepastian kawasan unit pengelolaan hutan alam produksi lestari
Sesuai
Verifier Perdasus 23 thn 2008, Pergub 13 2010


Indikator 1.2. 
Komitmen Pemegang Izin
Sesuai


Indikator1.3. 
Jumlah dan Kecukupan Tenaga Profesional Bidang Kehutanan pada Seluruh Tingkatan Untuk Mendukung Pemanfaatan Implementasi Penelitian, Pendidikan dan Latihan
Sesuai
-


Indikator1.4. 
Kapasitas dan Mekanisme untuk Perencanaan Pelaksanaan
Pemantauan Periodik, Evaluasi dan Penyajian Umpan Balik Mengenai Kemajuan Pencapaian (Kegiatan) IUPHHK – HA/RE/HT/Peme gang Hak Pengelolaan
Sesuai
-


Indikator1.5
Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA)
Sesuai
-
2
Kriteria 2. 
Produksi
Indikator 2.1.
Penataan areal kerja jangka panjang dalam pengelolaan hutan lestari
Sesuai
-


Indikator 2.2.
Tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem
Sesuai
-


Indikator 2.3.
Pelaksanaan penerapan tahapan sistem silvikultur untuk menjamin regenerasi hutan
Sesuai
-


Indikator 2.4.
Ketersediaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan untuk pemanfaatan hutan

Sesuai
-


Indikator2.5
Realisasi penebangan sesuai dengan rencana kerja penebangan/ pemanenan/ pemanfaatan pada areal kerjanya
Sesuai
-


Indikator 2.6
Tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai dan memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan hutan, administrasi, penelitian dan pengembangan, serta pening-katan kemampuan sumber daya manusia
Sesuai
-
3.
Kritedria 3.
Ekologi
Indikator 3.1.
Keberadaan, kemantapan dan kondisi kawasan dilindungi pada setiap tipe hutan
Sesuai
-


Indikator 3.2. 
Perrlindungan dan pengamanan hutan
Sesuai
-


Indikator 3.3.
Pengelolaan dan pemantauan
dampak terhadap tanah dan air akibat pemanfaatan hutan
Sesuai
-


Indikator 3.4.
Identifikasi spesies flora dan
fauna yang dilindungi dan/ atau langka (endangered), jarang (rare), terancam punah (threatened) dan endemik.
Sesuai
-


Indikator3.5.
Pengelolaan flora untuk :
3.5.1.Luasanan tertentu dari hutan produksi yang tidak terganggu, dan bagian yang tidak rusak.
3.5.1. Perlindungan terhadap species flora dilindungi dan/ atau jarang, langka dan terancam punah dan endem
Sesuai
-


Indikator 3.6.
Pengelolaan  fauna untuk:
5.6.1. Luasan tertentu dari hutan produksi yang tidak terganggu, dan bagian yang tidak rusak.
5.6.1. Perlindungan terhadap species fauna dilidungi dan/ atau jarang, langka, terancam punah dan endemik
Sesuai
-
4
Kriteria 4.
 Sosial
Indikator 4.1.
Kejelasan deliniasi kawasan operasional perusahaan/ pemegang izin dengan kawasan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat setempat
Sesuai
-


Indikator 4.2.
Implementasi tanggungjawab sosial perusahaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Sesuai
-


Indikator 4.3.
Ketersediaan mekanisme dan
implementasi distribusi manfaat yang adil antar para pihak
Sesuai
-


Indikator 4.4.
Keberadaan  mekanisme resolusi konflik yang handal
Sesuai
-


Indikator 4.5.
Perlindungan, Pengembangan dan Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Kerja



I. Kebutuhan Penyiapan Kerangka Pengaturan Implementasi SVLK IUPHHK-MHA

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Papua

1.    Pada Tingkat Undang-undang

Peraturan “Induk” Kehutanan Indonesia adalah UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan beserta perubahannya. Sementara itu penyelenggaraan Pemerintahan secara umum diatur berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (yang mencabut dan  menggantikan UU No. 22 Tahun 1999). Kedua UU tersebut merupakan turunan dari Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 18 UUD 1945.

Pada tahun 2001, Pemerintah dan DPR RI menyetujui diberlakukannya otonomi khusus untuk Papua, melalui persetujuan dan pengundangan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemerintahan Papua selanjutnya mengacu kepada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai lex specialist dari UU Pemerintahan Daerah. Untuk pengelolaan hutan, Mutatis mutandis – maka dengan sendirinya menurut hukum, juga mengacu dan didasarkan pada ketentuan  pengelolaan hutan yang terdapat di dalam UU Otsus Papua.

Pasal 4 ayat (1-3) UU OTSUS PAPUA menyebutkan bahwa “Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain kewenangan tersebut, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini. Pelaksanaan kewenangan tersebut diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi.
Berdasarkan ketentuan di atas maka kewenangan pengelolaan bidang kehutanan termasuk yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Papua, yang pengaturannya harus ditindaklanjuti dan diatur berdasarkan Perdasus dan Perdasi.
Di dalam suatu Pemerintahan yang tengah berjalan maupun dalam proses transisi, harus dihindari terjadinya kekosongan hukum (recht vacuum). Dalam konteks Papua, sebelum adanya peraturan yang diturunkan berdasarkan UU OTSUS Papua maka yang berlaku adalah seluruh peraturan yang ada. Sebaliknya, apabila peraturan pelaksanaan OTSUS atas hal-hal yang sebelumnya diatur berdasarkan ketentuan nasional perse telah dibuat dan diundangkan, maka peraturan tersebut dapat dijalankan. Pembahasan dan penyusunan pengaturan mengenai SVLK haruslah dijadikan sekaligus sebagai momentum bagi harmonisasi peraturan perundang-undangan yang akan dijalankan.
Prinsip hokum tersebut termuat di dalam ketentuan peralihan khususnya Pasal 71 ayat (2) UU OTSUS Papua yang menyebutkan bahwa, Semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota berdasarkan peraturanperundang-undangan tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan Undang-undangini. Selain itu juga perlu juga diperhatikan ketentuan di dalam Pasal 74 yang menyebutkan bahwa “Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini”.
2.    UU OTSUS sebagai Konsideran Pengaturan SVLK

Pengaturan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) harus dipahami sebagai penjabaran dari prinsip-prinsip pengelolaan yang termaktub di dalam UU Kehutanan dan oleh karenanya harus tunduk pada undang-undang tersebut dan kepada UU OTSUS Papua sebagai lex specialist. Oleh karena itu meletakkan UU OTSUS dan turunannya di dalam “konsideran mengingat” merupakan wujud dari harmonisasi dalam pemberlakuan aturan SVLK yang bersifat nasional dengan kekhususan di dalamnya.

Lebih lanjut pengaturan bidang kehutanan harus diharmoniskan dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan tersebut, baik pada tingkat PP No. 6 Tahun 2007 sebagai salah satu peraturan organik UU Kehutanan, maupun peraturan di bawahnya yang berkaitan dengan prinsip, standar dan indicator pengelolaan hutan lestari yang dapat diberlakukan secara umum maupun yang harus diberlakukan secara khusus.

3.    Harmonisasi di tingkat Peraturan Pemerintah
Penyempurnaan atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan hutan serta Pemanfaatan Hutan dalam kaitannya dengan OTSUS Papua (dan juga NAD) perlu dilakukan pada beberapa bagian yaitu dalam :

a.    Konsideran MenimbangPerlu ditambahkan substansi dengan contoh kalimat “bahwa dengan ditetapkannya OTSUS Papua dan NAD yang kewenangannya juga mencakup bidang kehutanan maka hal tersebut perlu diharmonisasikan dan diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini”.

b. Konsideran Mengingat
Perlu ditambahkan:
(1)   UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
(2)   Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

c. Batang tubuh
Perlu ditambahkan (terkait SVLK) Pada Bab I, Pasal 1:
-          Penambahan istilah IUPHHK MHA pada definisi
-          Penambahan istilah IUPHHK MHA Bab dan Pasal yang relevan.

4.    Harmonisasi di tingkat Peraturan Menteri Kehutanan

Penyempurnaan atas Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.38/MENHUT-II/2009 sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan ….dalam kaitannya dengan OTSUS Papua (dan juga NAD) perlu dilakukan pada beberapa bagian yaitu dalam:

a. Menimbang,
bahwa sambil menunggu dilakukannya perubahan terhadap PP No. 6 tahun 2007, terkait dengan OTSUS Papua  dst…maka perlu diatur standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu oleh MHA.

b. Mengingat
Ditambahkan,
1. UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
2. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

c. Batang Tubuh
Mengikuti atau melengkapi penambahan dan/atau perubahan yang akan dilakukan sesuai konsultasi regional dan konsultasi nasional atas Peraturan Menteri Tentang PHPL dan SVLK atas rumusan atau ketentuan yang ada (existing), perlu ditambahkan ketentuan mengenai MHA.

5.    Pada Tingkat Peraturan Dirjen BUK
Disingkronkan dengan rumusan pada hasil Konsultasi regional dan nasional.

J. Adopsi IUPHHK-MA dalam Permenhut SVLK (P38 Jo Permenhut 42)

Dengan melihat pada jastifikasi yang ada dan pertimbangan bahwa kebijakan IUPHHK-MHA, IUHHHTR-MHA d dan IUIPHHKR menggunakan UU 41 Tahun 1999 sebagai konsideran maka, rekomendasi penting dari Papua adalah PP No. 6/2007 perlu direvisi untuk memasukkan peraturan perundangan tentang otonomi khusus Papua. Pedoman dan standar untuk IUPHHK-MHA disamakan dengan pedoman dan standar untuk IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, dan IUPPHK-HD dengan mengacu pada UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, Perdasus No. 23/2008 tentang  Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Perdasus  21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Propinsi Papua, dan Pergub No. 13/2010 tentang IUPHHK-MHA.
Dengan penekanan bahwa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat (IUPHHK-MHA) adalah izin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penggunaan, pengolahan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan kayu yang diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat pemilik hutan ulayat pada hutan milik adatnya. Sehingga pada revisi PP 06/2007, P38 Jo Permenhut 42 perlu cicantukan Verifier, Metode verifikasi dan Norma Penilaian ditambah IUPHHK-MHA.