My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.
  • Stories About Beautiful Papua

    Every Single Place In Papua Have Its Stories To Be Shared To Build Other People Understanding About This Island

  • The Last Frotier Primary Forests

    With 42 Million ha of forests, Papua play crucial rules in Indonensia forests development targets.

  • Women and Natural Resources

    Forests or land right are not only about Man. So understanding the roles women and the impact of forests changes to women are also crucial

  • Our Traditional Value

    Papuan Community Have Been Living for Centuries with Their Knowledge and Wisdom in Managing Natural Resources and Practice Best Conservation

  • For Papuan Generation

    Every Works We Do Now Must Be Dedicated To The Future Papuan Generation

  • Dependency to Forests Resources

    Practicing Good Forests Governance in Papus About Understing the Right of Indigenous People and Their Dependency to Natural Resources

  • All Are Wonderful

    You Will Get Good Scene That You May Not Able Somewhere Else - Only In PAPUA

  • Bitter Nut Is Papuan Favorit Gums

    Bitter Nut or In Papua We Call 'Pinang' Is The Local Gum You Can See In Every Corner of the Cities. Papuan People Love To Chewing It. Sometime People Consider It As Contact Material When You Travel to The Village

  • Papuan Traditional Conservation Practices

    For Centuries, Papuan Has Practicing Local Wisdom to Sustainaible Use of Natural Resources. They Have Traditional Education System to Teaching Them How To Interact With Human, Spiritual Power and Understanding The Words Of Nature

Kamis, 01 Desember 2011

Tata Ruang Sebagai Instrument Spatial Penegasan Kesiapan Implementasi REDD+ di Papua


Boomingnya isu REDD dalam konteks kesempatan legal untuk akses benefit sebagai upaya dari satu wilayah hutan primer berkontribusi terhadap upaya perlindungan dan pengamanan karbon disambut baik secara global termasuk di Papua. Phase persiapan dan inisiasi awal kemudian dilakukan baik melalui mekanisme voluntary, join partnership agreement antar pemerintah maupun pilot action melalui NGO. Sebagai wilayah dengan tutupan hutan primer yang masih baik di Indonesia, Papua kemudian merespon isu ini dengan aksi-aksi persiapan termasuk didalammnya membangun tata ruang untuk memberikan kepastian legal kawasan dimana skema REDD atau REDD+ ini bisa diimplementasikan dan maupun dimonitor, diukur dan evaluasi performa penyelematan karbon hutannya dalam cakupan spasial tertentu yang disepakati. Posisi penting Tata Ruang juga dipandang penting sebagai kerangka hukum ruang bagi setiap initiative skema REDD atau pembangunan rencana emisi yang ingin dilaksanakan. 

Srategi dan rencana aski untuk implementasi REDD+ kemudian digagas dibawah koordinasi Papua Low Carbon Development Task Force yang dibentuk oleh Gubernur Barnabas Suebu dengan Bapak Agus Rumansara sebagai ketua harian pelaksana tim kerja ini. Pada diskusi awal dengan Bappeda Papua dihighlight bahwa "Penataan ruang mengambil peran penting dalam sektor LULUCF di Daerah. Kepastian ruang merupakan dasar penting dalam mengontor aktifitas penggunaan ruang didalamnya. Pemerintah dalam peranturannyannya No 26 tahun 2007 memberikan aturan dalam penyusunan tata ruang di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Untuk konteks REDD+, kepastian ruang untuk mengimplementasikan REDD+ menjadi satu faktor kunci yang perlu dipastikan diawal sebelum melakan persiapan teknis lain untuk mendukung implementasi proyek. Pemerintah daerah sebagai “provider” perlu secara jelas merencakan ruang untuk setiap aktifitas pembangunan rendah karbon termasuk REDD+. Status dan fungsi ruang, alokasi peruntukannya  dan jaminan pengeloaannya dengan sebuah regulasi juga merupakan instrument-instrument  prasyarat kelayakan pemanfaatan ruang". Dalam perkembanganya kemudian Task Force secara aktif ikut mendukung penyelesaian dokumen RTRW Provinsi dengan beberapa asistensi teknis terutama untuk mempertegas delineasi dan prinsip-prinsip dasar yang harus dimuat dalam tata ruang terkait dengan pembangunan Rendah Emisi. 

Karena dipandang sebagai kerang legal spasial dan acuan juridis arah pemanfaatan kawasan serta untuk menjadi REDD+ bisa berjalan efektif di Papua, dipertegas bahwa "Tata ruang disyaratkat disusun dengan proses partisipatif dan integratif dengan mengakomodir ruang pembangunan nasional, daerah dan masyarakat didalamnya. Aspek sosial-budaya menjadi bagian penting lain yang harus diperhatikan dan diakomodir dalam tata ruang. Tata ruang juga mengakomodir kesepakatan batas antar wilayah administrasi kabupaten/kota". 


Keadaan saat ini

Sampai dengan saat ini masih berlaku Peraturan Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 2 Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Irian Jaya, yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan perkembangan wilayah yang terjadi dan pemekaran daerah yang terjadi di Provinsi Papua maka RTRW Propinsi Irian Jaya sudah tidak mampu lagi mengakomodasi dinamika pengembangan wilayah yang terjadi serta pengembangan wilayah ke depan dalam rangka perwujudan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan bagi RTRW Provinsi berjangka 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang Penataan Ruang ditetapkan. Implikasi dari UUPR yang baru tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua. Penyusunan RTRW Provinsi Papua dilakukan semenjak Tahun 2008 dengan memaksimalkan keterlibatan pemangku kepentingan di Provinsi Papua. Sampai dengan saat ini RAPERDA RTRW Provinsi Papua telah mendapatkan Persetujuan Substansi dari Menteri Pekerjaan Umum yaitu dengan SK Menteri Pekerjaan Umum Nomor Nomor: HK.01/03-Mn/115 Tanggal 30 Maret 2011. Evaluasi RAPERDA RTRW Provinsi Papua dilakukan setelah RAPERDA RTRW Provinsi Papua mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum dan persetujuan substansi kehutanan dari Menteri Kehutanan.

Persetujuan substansi kehutanan harus didapatkan oleh RAPERDA RTRW Provinsi Papua karena di dalam rencana pola ruang mensyaratkan adanya perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua, baik perubahan peruntukan maupun perubahan fungsi kawasan hutan. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan proses perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua melalui mekanisme penelitian terpadu. Sampai dengan saat ini, dimulai dengan Kegiatan Harmonisasi dan Sinkronisasi Kawasan Hutan dan Perairan yang dilaksanakan pada Agustus 2009 maka pada proses perubahan kawasan hutan telah melalui 9 (sembilan) kali pertemuan tim terpadu, peninjauan lapangan dan uji konsisten. Terakhir pada Kamis, 21 Juli 2011 dilakukan paparan hasil penelitian terpadu oleh Tim Terpadu kepada Menteri Kehutanan. Dari hasil penelitian terpadu maka direkomendasikan luas kawasan hutan di Provinsi Papua adalah 30.917.673 Ha (atau 94,34% dari luas wilayah Provinsi Papua) serta usulan perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua tidak memiliki dampak penting, dampak cakupan luas dan dampak strategis sehingga perubahan kawasan hutan di Provinsi Papua tidak memerlukan persetujuan DPR RI. Implikasi dari Paparan Tim Terpadu kepada Menteri Kehutanan tersebut maka usulan perubahan kawasan hutan Provinsi Papua akan mendapatkan Surat Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan yang baru, setelah syarat administrasi penandatanganan peta perubahan kawasan hutan ditandatangani oleh Gubernur dan Bupati/Walikota se Provinsi Papua.

Ruang hijau 94% di kawasan hutan Papua merupakan peluang untuk implementasi kegiatan-kegiatan ekonomi rendah emisi. Untuk melengkapi RTRWP juga Papua menyiapkan visi pembangunan berkelanjutan yang dijadikan dasar dalam mengawal dan mengawasi pemanfaatan ruang di Papua. Ruang-ruang strategis yang menjadi ruang hidup masyarakat dan sumber biodiversity Papua akan dipertahankan. Visi 100 tahun kedepan adalah membangun kualitas manusia Papua dengan tetap mempertahankan kekayaan sumber daya alam-nya. Visi Papua 2100 juga menekankan Papua akan menjadi perhatian dunia karena mampu mempertahankan hutan untuk penyelamatan lingkungan.

Untuk kegiatan-kegiatan pembangunan rendah karbon termasuk REDD+ belum disebutkan secara jelas dalam RTRWP yang ada. Namun dalal rencana strategis pola dan struktur ruang RTRWP telah mendaptkan perhatian untuk menunjuk beberapa kawasan strategis propinsi untuk pengembangan pembangunan ekonomi rendah karbon.

Dimasukannya ruang kampung dalam RTRW menjadi salah satu kekhususan RTRWP Papua sebagian kampung didalamnya juga diberikan ruang APL untuk pembangunan kampung. Raperdasi RTRWP papua juga menekankan pemetaan ruang masyarakat sebagai bagian yang harus dilakukan pada tingkatan kabupaten. Karena di Papua, ruang adat sebagai tempat hidup masyarakat adat di Kampung-Kampung di Papua menjadi salah satu isi kunci dalam tata ruang. Gubernur Papua menginstruksikan “I want to put my people on the plan” sebagai bagian dari komitmen dan konsep pembangunan daerah berbasis masyarakat. Kebijakan ruang kampung juga didukung dengan kebijakan daerah tentang program RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung).

Apa yang harus dilakukan/oleh siapa?

Pertanyaan penting tentunya harus dijawab di Papua adalah apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukan aksi tersebut untuk memastikan tata ruang terselesaikan dan mengakomodir kepenting kepastian legal spasial kawasan utuk imlementasi REDD+ di Papua? 

Dalam beberapa diskusi lanjutan kemudian didaftarkan beberapa aksi dan tanggung jawab yang urgent dan penting dilakukan untuk percepatan persiapan spasial dan tata ruang untuk implementasi REDD+ di Papua. Beberapa aksi tersebut diantaranya: 
  • Pemerintah daerah propinsi dan kabupaten akan mengambil peran penting di fase awal kegiatan proyek. PEMDA memastikan bahwa ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung implementasi proyek REDD+. Dengan mengacu pada aturan daerah dan nasional yang ada wilayah ditentukan secara partisipatif. Pada fase ini Dinas Kehutana, BAPPEDA, BPSDALH dan PU akan berperan
  • Menyiapkan unit registrasi ruang adat masyarakat Papua untuk mendukung kejelasan status ruang masyarakat. Unit ini merupakan bagian dari lembaga REDD+/Pembangunan Ekonomi Rendah Carbon Papua. Selanjutnya perlu memastikan bahwa ruang yang dialokasikan untuk pengembangan program ekonomi rendah karbon sudah terdaftar. Menyiapkan instrument abitrase dan penyelesaian konflik ruang masyarakat
  • Investor agar tetap memperhatikan UU penanaman modal dan pemanfaatan ruang di Daerah, termasuk menghormati alokasi dan pola ruang yang ada. Membangun koordinasi dan komunikasi
  • Delineasi dan digitasi batas-batas wilayah yang akan diusulkan untuk REDD+. Selanjutnya peta hasil delineasi dan digitasi tersebut di overlay dengan peta tutupan kawasan dan RTRW yang ada didaerah untuk memastikan bahwa ruang yang diusulkan tidak dibebani ijin pemanfaatan lahan lain dan sesuai dengan peruntukannya.
  • Menetapakan criteria dan indicator yang akan digunakan sebagai bahan evaluasi dan monoting perkembangan proyek di Lapangan. Pemertintah daerah lewat kelembagaan yang dibentuk menetapkan sistem MRV – terutama untuk pemanfaatan ruang yang ada untuk mengontrol dan menjamin aktifitas dijalankan sesuai dengan perencanaannya.
Secara keseluruhan kepastian tata ruang dalam hal dasar legal kawasan untuk implementasi REDD+ adalah krusial untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan REDD dan memberikan kepastian hukum terhadap law enforcement, reward dan punishment yang kemudian bisa diatur dalam kesepakatan kerjasama REDD+. 

Rabu, 02 November 2011

Pelatihan Teknis di Kampung Asai; Menyiapkan Kader-Kader PHBM Pulau Yapen.


Area Konsesi IUPHHK-MHA Yera Asai - Hutan Di Sekitar Kampung Asai Distrik Windesi, Yapen

Tanggal 5 - 9 Oktober 2011 di Kampung Asai, Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen satu paket pelatihan dan pendidikan dasar calon-calon pengelola hutan dilakukan atas kerjasama Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Telapak dan The Samdhana Insititute. Kegiatan yang digagas merespon dikeluarkannya SK Gubernur kepada beberapa koperasi masyarakat di Papua untuk mengelelola sumber daya hutannya mengikuti Amanat Perdasus 21 Tahun 2008 Tentang pengelolaan Hutan Lestari di Provinsi Papua. Skema yang kemudian lebih dikenal dengan nama IUPHHK-MHA (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat) ini sejak pelatihan ini digagas sudah dikeluarkan 7 ijin konsesi oleh Gubernur Papua termasuk didalamnya Koperasi Yera Asai dan Koperasi Papuma di Kabupaten Kepulauan Yapen.


Dalam diskusi persiapan training camp, Pak Marthen Kayoi selaku pengarah kegiatan menegaskan bahwa "penyiapan orang-orang kunci untuk mampu melakukan tata kelola, menyusun perencanaan sampai pengaturan produksi hasil hutan kayu menjadi kebutuhan saat ini. Karena dinas kehutanan sudah memfasilitasi perijinan, akan memberikan bantuan alat dan kemudian modal awal untuk operasional mereka". Lebih lanjut dalam pengkerangkaan kegiatan Lindon Pangkaly selaku senior menambahkan "penguatan kelembagaan koperasi dan tata usaha bisnis kayu yang akan dilakukan oleh masyarakat sehingga pembobotan materi diskusi harus bisa diperpadat pada bagian tersebut". Merangkum kesemuan perhatian ini, tim Telapak dibawah koordinasi Pak Ambrosius Ruwindrijarto atau lebih akrab Mas Ruwi mengemas paket training ini dalam beberapa wilayah pengetahuan dan ketrampilan berikut yang dinilai relefan dengan kebutuhan pengembangan kerja-kerja koperasi IUPHHK-MHA di Papua:
  • Kerangka hukum dan kebijakan: pemahaman dan pengembangan strategi berdasarkan pada situasi terkini hukum dan kebijakan di Papua. Terutama dalam hubungannya dengan Instrument Otsus dan UU Kehutanan seperti: Perdasus, Pergub, SK Kepala Dinas Kehutanan, Pengembangan KPH, Penetapan RTRWP, Peraturan menyangkut kelembagaan masyarakat adat, aturan tata usaha kayu dan aturan-aturan lain yang terkait dengan pengembangan pemanfaatan hasil hutan kayu dan pembangunan ijin industri kayu rakyat. 
  • Pengorganisasi dan pengembangan kewirausahaan masyarakat: pendidikan atau training pada bagian ini di tegaskan pada pengembangan pemahaman dan kemampuan pembangunan kapasitas dalam hal pengorganisasian komunitas, lansekap sosial - budaya, kewirausahaan dan koperasi masyarakat adat. 
  • Kehutanan dan Indistri Kayu Rakyat. Bagian ini perlu diangkat khusus pada pengembangan kepasitas dan pengetahuan semua tanggung jawab teknis terkait community logging mulai dari perencanaan, pemetaan dan penyiapan areal kerja, inventarisasi potensi, penghitungan produksi sampai dengan produksi dan pemasaran hasil. Serta lebih lanjut memahami pembangunan industri perkayuan dan sertifikasi pengelolaan hasih hutan kayu. 
Secara keseluruhan point-point diatas yang kemudian menjadi titik pijak pengembangan paket belajar dan alur proses belajar bersama masyarakat adat dan kopermas di Kampung Asai. 

Training dipadatkan Materinya

Sekalipun banyak berubah dari skenario awal terutama karena beberapa pemateri kunci misalnya Pak Marthen Kayoi dan Silverius Oskar Unggul, Bani Susilo dan Nawa Iriantor tidak bisa terlibat training kemudian tetap berjalan dengan optimal. Ada 6 fasilitator yang secara aktif mengambil peran fasilitasi ini yaitu: (1) Mas Ruwi sendiri yang memberikan pengantar tentang Telapak, Samdhana dan pembangunan community logging. (2) Khusnul dari Telapak yang memberikan materi tentang kelembagaan koperasi pengelola sumber daya hutan. (3) Sandika Ariansyah dari Telapak yang memberikan materi tentang perkenalan dasar-dasar konsep, prosedur dan standar pemetaan partisipatif, (4) Abdul Maal dari Koperasi KHJL Konawe memberikan materi tentang pengalaman pengelolaan hutan bersertifikasi oleh masyarakat. (5) Pak Sungat dari Koperasi KWLM di Kulon Progo yang juga memberikan materi yang sama dengan Pak Maal. Dan (6) Yunus Yumte dari Samdhana institute yang memberikan materi tentang pengukuran pohon dan kayu dasar-dasar inventarisasi hutan. Lebih jauh praktek dilakukan disekitar kampung dengan mengambil beberapa contoh kasus yang ada dan bisa dijadikan media praktek.

Mereka yang terlibat sebagian besar adalah dari Kampung Asai, Papuma, Windesi dan Aisau dimana secara administrasi ada yang tergabung dalam koperasi Yera Asai dan Koperasi di Papuma ada juga yang bukan anggota tetapi ingin mempelajari urusan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Total ada sekitar 33 peserta yang terlibat. Pak Terianus Ayomi misalnya beliau adalah ketua koperasi Yera Asai bersama personilnya secara aktif mengikuti keseluruhan proses training.

Dalam sambutan pembukaannya ya Mas Ruwi mengatakan bahwa "kegiatan ini dirancang untuk terus membantu perluasan cerita sukses tentang bagaimana masyarakat mengelola sumber daya hutannya dengan Baik. Telapak adalah salah satu lembaga yang sejauh ini secara serius menggarap urusan community logging sehingga tetap terus terpanggil untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada semua masyarakat". Sambutan ini sekaligus membuka acara kegiatan bersama dengan kepala Distrik Windesi yang hadir dalam kegiatan ini. Mas Ruwi kemudian melanjutkan dengan memberikan gambaran dan cerita singkat bagaimana selama ini comlog dibangun serta tantangan yang dihadapi serta bagaimana kerja-kerja seperti NGO telapak dan Samdhana mengambil peran. Sebagai mantan Direktur Samdhana dan sekarang masih aktif sebagai board di Samdhana, Mas Ruwi juga sekaligus memperkenalkan dan menceritakan siapa itu Samdhana dan bagaimana Samdhana itu bekerja. Dua koperasi yang mana aktor kunci terlibat yaitu itu KWLM (koperasi Wana Lestari Menoreh) dan KHJL (Koperasi Jaya Hutan Lestari) adalah contoh bagaimana inisiatif community logging yang dibangun bersama dengan masyarakat secara mampu bersaing dengan konsesi kehutanan lain dan menunjukan performa pengelolaan hutan lestari. Bagaimana tidak KHJL misalnya Pada tahun 2005 - 2011 telah mendapatkan sertifikasi FSC atas kemampung menata usaha hasil hutan kayu dari total 33 units yang dikelola lebih dari 1000 anggota koperasinya.

Pendalaman tentang perkoperasian sebagaimana dibawakan oleh Pak Khusnul dari telapak dan dilengkapi oleh Abdul Maal dan Supangat menitik beratkan pada membangun pemahaman dan pengetahuan dasar-dasar perkoperasian. Materi yang dipadatkan pada aspek sejarah, definisi dan prisip perkoresian dan aturan main didalam koperasi ini di sampaikan untuk membantu masyarakat terutama pengurus koperasi IUPHHK-MHA seperti Pak Terianus Ayomi di Kampung Asai untuk mengerti dan melihat kembali kepada kesiapan lembaga yang sudah dibangun dan sudah juga diberikan dukungan oleh pemerintah. Materi Pak Khusnul kemudian di tutup dengan melihat bagaimana tata cara perhitungan sisa hasil usaha dalam koperasi dengan contoh perhitungn usaha yang disusun sebagai simulasi bersama. Menambahkan point Pak Khusnul, Pak Abdul Maal mengangkat pengalaman bahwa "kerja-kerja comlog akan berjalan efektif apabila koperasi tertata baik dan semua anggota aktif menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagaimana tata aturan main didalam perkoperasian".

Contoh Hitungan
KAYU BALOK ATAU KAYU OLAHAN CHAINSAW
Rumus standar = panjang (p) x Lebar (l) x Tinggi (t)

Panjang balok : 4 m, Lebar balok, 10 cm, tinggi balok 10 cm. Untuk menghitung volume balok tersebut: (1) Satuan lebar dan tinggi dijadikan satuan meter dgn cara : 10/100=0,1. (2) volume kayu balok tersebut dapat dihitung dengan cara: Vol = 4 x 0,1 x 0,1 = 0,04 m³ per batang. (3) Untuk memperoleh 1 meter kubik dibutuhkan balok sebanyak := 1 di bagi 0,04 = 25 batang  ( balok ukuran 10 cm x10 cm x 4 m )

Materi lanjutan yang lebih teknis kemudian berlanjut dengan: teknis dan metode pengukuran pohon dalam inventarisasi hutan, penghitungan kubikasi sampai dengan pencatatan stock dan potensi kayu yang ingin ditebang. Yunus Yumte kemudian mencoba untuk berbagi ilmu-ilmu kehutanan dasar seperti penentuan diameter setinggi data (Dbh), tinggi total (Tt), tinggi bebas cabang (Tbc) serta angka bentuk yang menjadi dasar utama dalam penghitungan volume pohon (Vp). Bersama-sama belajar melakukan pengukuran lapangan dan menghidup volume pohon dengan rumus Vp = 1/4.Ï€ .D2.T.f . Serta dilanjutkan dengan penghitungan bersama sortimen pembagian batang dan bagaimana mengetahui jumlah kayu ketika ada pesanan dari pembeli. Misalnya pembeli pesan kayu 2 m3  bagaimana masyarakat bisa menghitungnya dan berapa jumlah batang/kayu gergajian yang sebenarnya harus diberikan masyarakat apabila satuan kayu gergajian yang dihasilkan adalah 10 cm x 5 cm? Hal-hal teknis ini yang kemudian dipadatkan dalam training singkat dan pengenalan tata cara pengukuran dan pencatatan pohon. 

Pekerjaan Rumah Menanti di Koperasi Yera Asai dan Koperasi Papuma

Secara keseluruhan kegiatan berjalan lancar sekalipun sekalipun kita sebagai fasilitator sadar bahwa dengan waktu yang relative singkat, tentu belum mampu menjawab keseluruhan kebutuhan pembangunan pemahaman dan kemampuan masyarakat yang apabila dilihat lebih jauh semua tidak memiliki pendidikan kehutanan dan sebagian besar adalah para orang tua. Terlepas dari itu, fakta bahwa hutan di wilayah koperasi Yera Asai dengan konsesi 3800 ha masih sangat potensial dengan padatnya tegakan Merbau, Mator, Benuang dan beberapa jenis rimba campuran lainnya. Selain dari pada persoalan kemampuan, persoalan sosial mengenai batas wilayah adat, keterlibatan masyarakat dan pengaturan pengelolaan mengikuti kepentingan komunitas kelihatan menjadi PR dasar yang perlu diselesaikan. Pak Terianus Ayomi pada saat refleksi internal dengan tim Samdhana - Telapak mengatakan bahwa "sebagia besar areal kerja koperasi Yera Asai masuk pada wilayah adat orang windesi seperti Marga Abubar dan Marga Puari, sehingga harus diselesaikan dulu urusan adat dengan mereka. Diskusi harus dibangun dulu dengan tua-tua adatnya terutama bagaimana mekanisme bagi hasil nanti supaya saya tidak dituntut bayar hak ulayat adat". Tantangan lain yang dihadapi juga adalah bagaimana pendampingan yang minim dan pekerjaan teknis serta pengaturan legal yang lebih banyak langsung dikerjakan oleh pemerintah dan diserahkan kepada pengurus koperasi sehingga ada kekhawatiran bahwa sebenarnya pengurus koperasi sendiri belum memahami bagaimana kondisi rill hutannya dan bagaimana tanggung jawab legal administrasi yang harus mereka penuhi. 

Sadar bahwa dukungan dari pihak luar dibutuhkan, masyarakat Asai mengusulkan agar ada pendampingan dan fasilitasi lebih dekat dari LSM seperti telapak. Rumusan tindaklanjut disusun sebagai upaya melanjutkan kerja-kerja mengisi gap legal, teknis dan sosial yang bisa menjadi penghambat kerja-kerja koperasi di Asai dan Papua.   

Sabtu, 01 Oktober 2011

Executive summary Eco-Forestry Program in Kaimana Working with PERDU Foundation and the Community in Esania


Background

Community based forest management (CBFM) or the eco-forestry is one way to involving forest depending community in the forest management on the legal frame with good capacity. Making sure that they are able to manage the forest sustainably was the task of the supervisor. The acknowledgment and legalization of area which would be manages under good support and control is the good first step.

The participatory livelihood research that conducted by IUNC-Perdu in this area shown that forest products provide significant source to the community live. Timber, rattan, sago, medicine, fruits and vegetable are the important products that people can get from the forests. As a tradition they had managed the forest – it was their home and their kitchen. Time after time forests give significant impact to the community income. Whether cash or non-cash income. Participatory livelihood research mentioned that some community who live nearest to the market or urban area will have significant cash income from forest. They will easy to collect or gather forests products then sold it to the town. While those who live far from urban area will spending more of what they get from forests for their daily needs.
                                             
Esania, the village where PERDU[1] work with supporting by Samdhana, to fulfill their cash income they are spends more time to take the timber from the forest and sell it to the town. Compared with Kensi the other village that researched which is lie on the highland Kaimana and far enough to reached from town – need about 6 hours by boat to be there - people in Kensi spends more time to manage their cropland, collect and gather from the forest. Almost all products that they produce are mainly for daily consumption. For cash they are usually go to collect masohi or lawang[2]. In current time some of them especially young and adult people are involve in Government project for their cash income.

As a new regency in West Papua Province the development in Kaimana is increase. They face new challenge to manage their natural resources for regional development. Building materials is one of the most important needs to the infrastructure development. Each year a lot of new house and building is built. Road is opened and logistic is need. This need stock for reserves in supporting the development in Kaimana. Timber it’s self is one of which is import. The annual need of timber for housing and building in Kaimana is more than 500 m3. It was taken from the forest around the city of Kaimana. government don’t forbid them even though there is no legal permission that they have to manage the timber forest product. Some of the area from which the timber is takeout to town is the protected area – mainly the area nearest to town and can be reached by truck. The others is taken away using long-boat – such as Esania.

Such dilemma is also faced by people in Esania. They are more depending in timber as their cash income. On the hand regulatory the timber that they were took from forest is not legal. Based on the forest cover map the Esaian is on state forest and covered several forest types – production, conversion and protection. Currently in some eastern part is log over area. 5 years ago there is logging concession in this area they took the timber from the forest. For the community they gave the compensation as the reward towards land right acknowledgment.

PERDU-Samdhana Program in Kaimana

In 2007 the IUCN program called LLS (Landscape and Livelihood Strategy) is implemented. They got grant from Dutch Government to ran the program on 24 sites in the world- two of which are in Indonesia – 3 years grant. In Indonesia IUCN worked with Samdhana Institute and CIFOR. The basic idea of this project is to give an input to the decision maker in the site in how to manage their landscape and the livelihood insides. We chose Baliem Valley in high land and Bomberay Peninsula in lowland and coastal area as sites for study. On those two sites several tools and methodology to see the livelihood and landscape management is conducted. Stella dynamic model, forest poverty toolkits and non-timber forest product assessment are amount of tools that been applied in those two landscape. They are helped to see how rich the natural resources that people have, how they depend on them and how the landscape changes over time in several choices of development scenario.  

In Kaimana, process is began with preliminary assessment is conducted by Yalihimo[3]. Some assessment are also been done by UNIPA – Biodiversity, livelihood and GIS analysis to the land cover. On the early of 2008 PERDU been asked to joined this program as facilitator. As a part of the supporting to capacity building PERDU asked the PEMALI[4] to joined in the program. They started to facilitate the multi stakeholder meeting in Kaimana involving community, government and NGO. This going to the recommendation that the intervention program would be ran in two sites in Kaimana – Esania in coastal and lowland and Kensi in highland of Kaimana. This recommendation then been followed up in the 2nd meeting at the end of 2008 in Kaimana. The LLS leaders from IUCN are took part.

As part of the program landscape dynamic modeling been applied. This involved the representative from Government Agency in Kaimana. Together with the CIFOR team the Kaimana landscape model were built. Then the Forest Poverty Toolkit or participatory livelihood research is applied. Team is trained by Mrs. Gill Shepherd from IUCN about how to use the toolkit. The application is conducted in 3 village; first in Esania together with Mrs. Gill, in Kensi and Gaka. This toolkit is used to help program seen how community livelihood and their dependency to the natural resources – how the distance to market or urban area influence their cash and non-cash income. This tools is helped program to provide the general pictures about land right; decision to natural resources manage – who has high authority to make the decision towards their NRM. Also provided us the list of natural resources that been usage by the community – included list of potential timber that been sold so far.

On the participatory livelihood assessment it’s founded that a lot of Esania community cash income is from timber. On the other hand there is no legal permission that the people have to get the timber from the forest. All people in Esania even said that they don’t know the forestry regulation or other regulation that they should know to manage their natural resources. And the forestry officials are never come to the village to socialized those regulation. They are in the position as a victim when there is an operation by Police or forestry ranger. As a recommendation we know that they need to be facilitated to manage their natural resource which beneficiary for them on the legal frame.

Answer that recommendation the team try to find the legal frame to help community solve their problem. The PERMENHUT 49/2008 about “Hutan Desa” is been chosen and used as the way to get the legal permission in community based forest management. Team agreed to learned more over this PERMENHUT. Communication and discussion is conducted with several stakeholder – included department of forestry in Jakarta, to find the detail steps to push this HD in Esania. Program also facilitated the establishment of the cooperative in this area



“Hutan Desa” a Choice for Esania

The condition where people are depending to their timber for cash income; but the timber they take from forest is regulatory not legal and on the hand the local government in the position of doubting to allowed or forbid community to cut their trees makes community in un-comforts position to manage their forest – timber forest product. The long distance transportation, low prices of timber in town, limited capacity of boat to load the timber, the weakness of the bargaining position are others non-legal factors that influences the timber management of the community in Esania.
Beside this condition, the other issues that would influence the livelihood and landscape in buruway was the high demand of land to oil palm in Kaimana. One part which based on the land suitability map is appropriate is Buruway – include Esania. There are several oil palm companies that had sent their proposal to the government to this area[5]. The last is by PT. Rajawali which is asking 20,000 ha to oil palm expansion. Some village leader had been invited to visited several places in Sumatra and Borneo which the company has. From the model that been provided by CIFOR team and The Government officials it can be seen that in scenario business as usual there would have a lot of changes in the landscape. Model also shown that the increasing of migrant in this area will have positive correlation with the expansion of oil palm – because most of people around this area don’t have good skill and knowledge to fulfill the company needs. 

Team agreed to put PERMENHUT 49/2008 as a legal frame that will be pushed to make sure the acknowledgment of community base forest management in Esania. Communication and facilitation to the community is realized. Team started to introduce and trained the technical skill in forest mapping and measurement. This training is continued with the boundary mapping. Clarity of the area is the precondition of preparation to propose “hutan desa”. People and their facilitator need to make sure that the area is on the state forest with in production and protection function. Then they must make sure that it is out of concession – no other land usage permission. Mapping and overlaying with the existing land cover maps in Forestry department is the step to complete this precondition. During this process socialization to all stakeholders is conducted. Working with Forestry Department West Papua Province the “hutan desa” workshop is under taken. Then it continued with the work shop in Kaimana. The elders from Esania are taken part on those two workshops.

This regulation is considered as a window to catch the chance for the community to get legal permission in managing their natural resources/forest. Consultation with Indonesian Forestry Department in Jakarta is been undertook. They are in position of support this program, they hoped that this would be one best practice for Papua. Some worried are comes during the consultation – whether people can manage their forest sustainably or not? To make sure that the stake holder related to this program is understand the “hutan desa” concepts based on the PERMENHUT the representative from forestry Department is take part as a facilitator on both workshops.

The documents to propose ‘hutan desa’ to Ministry of Forestry is prepared. Village profile, boundary map, cooperative and letter by village leader is gotten. The letter and requirement documents had been given to the Bupati then it will be sent to the ministry of forestry to get it verification and recognition as “hutan desa”.

Cooperative

Villager capacity preparedness is the main key theme in the 1st phase of program. Recommendation to establish a cooperative in this area is comes out. People had have willingness to manage their natural resources with good management system. They are hoped to get more benefit from the forest, land and river.

Cooperative is established, training for their capacity building is facilitated, administration requirement is completed and their office in village is constructed. Cooperative structure and personal is fulfilled and ready to work. Capacity building in cooperative and natural resources management is the vital needs currently to make sure that they are understand who to run and manage this institution.

Stakeholders Response

Monitoring and evaluation (monev) towards the program in Kaimana had been undertaken by Mr. Restu Achmadiadi (The Pusaka Staff)[6]. This monev is aimed to see how the program achievement, communities and government body responses. It also want to know how the facilitation and supervision by facilitator in the village – the weakness and the advantages.    

Basically the community in Esania is happy and welcome to any community development program coming in village. Indeed they have a willingness to support such program as far as it’s comes to help them increase their livelihood. So far some of the villager is taken part on the activities that conducted by program. They had heard and knew the previous activities. The hoped cooperative could run properly so it can help them in marketing their natural resources products.

District Government is also feels that this was a chance for the community to get legal access to manage their natural resources. They had an experience before when the vice Bupati gave the saw-mill to the community but because they don’t have legal permission by government to manage the timber so it’s not work anymore. On the other side community empowerment to increase their social-economic welfare is one pole program of district government. They see this program as a new chance for the community to manage their forest in the legal frame.

Provincial and central forestry department are in line with what been though. They put their position in supporting this program. Continues communication among stakeholder is undertaken to make sure that program is known by those who are concerned on this subject.

Lesson by This Program

1.      Multi stakeholder engagement: since the program was started until now a number of stake holder are being involved – such as Central Government (Ministry of Forestry), Provincial Government, Papua University, Kaimana Government, NGOs and the community. All parties are provides significant inputs to the program. New approach in multi stakeholder engagement is been proved as one effective way to livelihood and landscape management. Support for this program is come from the head of the district, the head of forestry department, community even the forestry department in Jakarta.
2.      Community Empowerment: experience in Papua when there is a Kopermas Program that allowed local community to get their timber without any supports and control has caused big problem in illegal logging. Most of those that get kopermas permission are joined with the company or investor to cut down the tree in large number. Even some of them should be jailed because be claimed not respect to the forestry and criminal regulation. In kaimana since it become new disctrict the increasing on timber demand to support the district development be a driven variable to the increasing community activity on forests to take the timber. On the other side government is doubt to forbid or support the community – worried to legal deviation. This situation going to several conclusions that the community is need to be supported and controlled to manage their natural resources. They are needs to understand the legalization and acknowledgement through government permission.  They are needs to be more secure in manage it.
3.      Capacity building: along with program capacity building process is one of the goal to achieved. Local partners and the community have gets additional knowledge and skill during activities. Mapping, modeling, cooperative and livelihood assessment are all kind of activities for the capacity building process. Several workshop and training are also conducted during program in order to increase partner capacity in support the program. Community are also took part on several training and workshop.
4.      Customary boundary mapping: this was one activity that been implemented in Kaimana during the program. This aimed to provide evidence document about area which was claimed belong to some tribe, clan or family. In Kaimana, Esania was the first village that been mapped it boundary. After mapped it be recognized by neighbor village. People happy to welcome this process, and they hope that this would be best document for their next generation. After Esania, this activity is being continued in Tairi – the next village after Esania which lay on the other branch of the Buruway river. After those two villages be mapped, the other village is requested to the program to help them in mapping their boundary.




[1] PERDU: Local NGO based in Manokwari working on the issues of natural resources management and conservation. Focusing also in community empowering facilitation.
[2] Masohi : kind of wood that grow in highland (200 – 500 m.asl) around bomberay peninsula. It is used for parfum. People are always take it barks, dried then sell to the town.
Lawang : Kind of local wood grow in highland. People take it bark and distillated the produced become an oil.
[3] Yalihimo: The local NGO based in Manokwari, working on the issues of community empowering, cooperative, organizing and natural resource management.
[4] PEMALI: Kaiman based NGO, working in community empowering and natural resources management. 
[5] Information got from Pak SEKDA (District Secretary)
[6] Acmaliadi, R. 2011. LAPORAN PENGAMATAN PERKEMBANGAN KEGIATAN KAIMANA. Jakarta



Senin, 28 Maret 2011

Analisis Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi Permenhut 46 Tahun 2009

Persoalan ijin usaha pemungutan hasil hutan terus menjadi diskusi yang panjang di daerah. Dalam rapat koordinasi dalam rangka mensinergikan program kerja kehutanan di Provinsi Papua Barat, isu ini kembali diangkat. Bahkan Bapak Agus Wamafma - kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan secara tegas mengatakan bahwa persoalan ijin pemungutan atau yang sering di singkat dengan IPHHK ini harus segera didiskusikan, diputuskan dan disepakati mekanisme legalnya. Sejauh ini kelompok masyarakat adat yang mengambil kayu di wilayah adatnya untuk keperluan ekonomi keluarga, cenderung menjadi korban akibat menggantung-nya aturan ini.

Gambar kayu bantalah yang diolah dari penebangn dengan menggunakan IPHHK di Sorong
Photo by Yunus Yumte 

Dalam beberapa diskusi dengan pihak pemerintah tentang IPHHK informasi yang selalu keluar adalah skema ini hanya untuk kebutuhan lokal masyarakat dan tidak diperdagangkan. Yang artinya ketika masyarakat melakukan transaksi penjualan kayu baik dalam kuota yang diperbolehkan mereka untuk memungut atau melebihi kuota tersebut, maka penegakan hukum harus tetap berlaku. Namun fakta yang ada di Papua Barat berkata lain bahkan praktek ini secara terang-terangan dilakukan secara masif dan terorganisir di beberapa lokasi. Contoh paling nyata adalah di Daerah Sorong terutama di Jalan raya Sorong-Sausapor KM 45 - 48. Secara jelas terlibat bahwa kayu yang dihasilkan adalah untuk kebutuhan export keluar kota dimana ukurannya dalah Panjang 1 meter, lebar 10 cm dan tinggi 10 cm atau yang umum disebut dengan kayu bantalan. Lantas pertanyaannya kemudian adalah bagaimana semua ini bisa berjalan? Apakah ada celah hukum yang dioptimalkan untuk meraup keuntungan yang besar? Kemudian dalam konteks konteks kontrol terhadap manfaat sumber daya hutan bagi daerah, apakah skema ini menguntungkan negara dan masyarakat?

Saya coba untuk menelusuri dan menjawab pertanyaan pertama dan kedua dengan menganalisis kebijakan hukum yang memayungi opersionalisasi skema pemungutan kayu ini. PERMENHUT yang oleh sebagian besar aparat kehutanan diketahui tetapi cenderung ditutup-tutupi dan tidak ingin dibahas baik. Permenhut 46 tahun 2009. Berikut adalah catatan singkat analisis yang coba saya explore: 

Permenhut 46 Tahun 2009 merupakan peraturan teknis pelaksanaan dari PP 6 2007 terutama mengatur tentang tata cara pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu secara legal. Berikut beberapa hal yang saya dapatkan dan memperkuat argumentasi bahwa 20 m3 per individu dan 50 m3 lembaga desa ini bisa diperdagangkan:

  • Dalam PP 6 2007 pasal 1 ayat 16 Defenisi Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu adalah “Izin pemungutan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu”. Disitu ada kata pemasaran yang cukup kontradiktif dengan pasal selanjutnya yang mengatakan tidak untuk diperdagangkan. Peraturan ini sebenarnya memberikan arahan tentang batasan dalam waktu dan volume
  • Nyambung dengan point diatas, Peraturan Pelaksanaannya PERMNEHUT 46 2009, menggunakan defenisi Pasal 1 ayat 16 ini dengan menekankan pada kata Pemasaran. Dimana BAB I – Ketentuan Umum pasal satu PERMENHUT 46/2009 memperkuat batasan defenisi ijin pemungutan hasil hutan kayu sebagai berikut: Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. Artinya PEMASARAN dilegalkan disini.
  • Masih di PP 6 2007 Pasal 77 dan 80 juga memperkuat argumentasi kayu yang dipungut ini bisa diperdagangkan yaitu selama membayar PR0VISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH). Argumentasi ini diperkuat dalam PERMENHUT 46/2009 BAB V Pasal 8 Ayat 1 point d “Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku"
  • Menariknya pada PERMENHUT 46/2009 pasal BAB IV Pasal 7 tidak muncul kalimat “tidak dipergangangkan”, tetapi di gantikan dengan kata “tidak dapat diperpanjang”. Bahasa lengkapnya:  (a)  “IPHHK-HA untuk keperluan individu yang berasal dari penebangan diberikan paling banyak 20 (dua puluh) meter kubik untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun dan tidak dapat diperpanjang. (YY: keperluan individu, mengandung arit luas - termasuk kebutuhan uang). (b) IPHHK-HA untuk keperluan pembangunan fasilitas umum diberikan paling banyak 50 (lima puluh) meter kubik untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun dan tidak dapat diperpanjang. (c)  IPHHBK-HA, IPHHBK-HT atau IPHHBK-HTHR paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap Kepala Keluarga dan dapat diperdagangkan untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.

Namun begitu untuk memperkuat argumentasi bahwa pemungutan hasil hutan kayu ini tidak dilakukan secara ambur adul, tetapi dilakukan secara tertata mengikuti prinsip-prinsip kelestarian hutan, setiap Pemegang Ijin Pemungutan hasil hutan Kayu (IPHHK) diwajibkan untuk:
  • Berdasarkan pasal 71 – Pasal 78 PP 6 2007, melakukan : (a) Menata areal kerja, melakukan identifikasi potensi dan menyusun rencana kerja sesuai dengan ijin yang berlaku. Dalam konteks IPHHK, awal tahun harus menyusun rencana tahunan pemungutan hasil hasil hutan kayu untuk diajukan ke Bupati. Pada bagian penjelasan dari Pasal 71 huruf a sebutkan bahwa Dalam rencana kerja, antara lain, memuat pula aspek kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan, dan aspek sosial dan ekonomi. Sehingga analisis-analisis ini dibutuhkan untuk memperkuat usulan IPHHK. (b) Menata system keuangan sesuai standart kehutanan – disini penekanannya pada pembukuan yang rapi tentang produksi dan pemasaran hasil hutan sebagai dasar hitung-hitungan PSDH yang pas untuk diberikan ke Pemerintah. Dalam hal ini koperasi bias menjadi lembaga yang menerima IPHHK, atau anggota koperasinya menerima ijin dan dikelola dibawah koperasi. (c) Melakukan aktifitas nyata paling lambat 1 bulan sejak ijin diberikan. (d) Melakukan perlindungan hutan. (e) Meyiapkan tenaga teknis kehutanan dengan kapasitas yang cukup untuk pengelolaan hutan. (f)  Membayar PSDH seperti yang sebutkan diatas. (g) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap peredaran hasil hutan 
  • PERMENHUT 46/2009 untuk memperkuat prasyarat diatas dimana pada BAB V Kewajiban dan Larangan Pasal 8 menyebutkan secara jelas hal-hal yang harus menjadi perhatian pemegang ijin:

  1. Pemegang IPHHK-HA atau IPHHBK-HA atau IPHHBK-HT atau IPHHBK-HTHR wajib:(a) Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan IPHH secara periodik setiap bulan kepada pemberi izin. (b) Pemberi izin sebagaimana dimaksud huruf a melaporkan kepada Bupati dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi dan Direktur Jenderal. (c) Melindungi hutan dari kerusakan akibat illegal logging dan perambahan hutan, ternak dan kebakaran; (d) Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (e) Menanam kembali minimal 5 (lima) pohon untuk setiap pohon yang ditebang dengan jenis yang sama.
  2. Pemegang IPHHK-HA wajib melakukan pencacahan/penandaan terhadap hasil hutan kayu yang akan ditebang/dipungut
  3. Pemegang IPHHK-HA atau IPHHBK-HT atau IPHHBK-HTHR dilarang menebang Pohon yang dilindungi
  4. Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk kegiatan pemungutan hasil hutan dilarang menggunakan alat mekanik/berat seperti traktor, bulldozer, loader, skider, grader, wheel loader, excavator dan truck
  5. Dalam hal mengangkut hasil hutan dapat mengggunakan truck
Sampai pada keseluruhan analisis awal ini, artinya secara legal Pemerintah memberikan ruang kepada Ijin pemungutan ini untuk memperdagangkan kayunya. Tinggal sekarang bagaimana Daerah secara serius menertibkan dan mengtur agar nilai manfaat itu terasa di pemerintah masyarakat dan pihak-pihak lain yang memanfaatkan peluang IPHHK ini. Kontrool juga menjadi penting untuk mencegah kebocoran yang lebih besar lagi.



Senin, 28 Februari 2011

6 Customary Community Groups In Baliem Valley Finalized and Agreed on Their Boundary Maps


YBAW Director (Right) gave the customary boundary maps the chief of Omarekma Customary Groups.
Photo: Martin Hardino

After a long process of customary boundary mapping facilitated by Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW) with supported by Samdhana Institute and Forestry Department of Jayawijaya District, 6 customary community groups received and agreed upon their boundary maps. In front of the head of Planning Agency and representative of a parliament member the elders from Wusilimo, Hubulama, Musalfak, Omarekma, Asudogima and Muliama confirm and request for legal recognition over their land rights. They were then asked for the government to put the pole as a sign of ownership over the land.

In his opening remarks, Mr. John Way (the Head of Dorestry Department Jayawijaya District) said that the main objective of the customary boundary mapping is to solve the land right conflict and document the rights that currently lives in the mind of the elders. The maps will also helps the government to appropriately identifying and planning the program in each region based on specific community needs and inline with the land uses wisdom they have for centuries. For forestry program they were often found a problem with right either on different actor claiming one piece of land until the zoning conflict between the way how community acknowledge the function of land uses and the legal delineation the government made. Most of the rehabilitation program for instance are often ended without a continuity guaranty from the community because it comes note based on their needs and not in the rights places. So he expected that during mapping community can then thinking on what would they do with their customary land and how it connects to the currents forests and land use development needs.

While the Head of Planning Agency in his speech expressed the efforts that YBAW, Forestry Department and Communities did. Government is positively welcoming the maps and expects to see how the maps could then help them to re-governing the border of sub-districts. Particularly because the history of confederation war in the valley are remain influence the development - they're often find this now in the sub-districts that administratively covers two different groups with a war history in the past. He is also requested all the leader to take an advance steps to control the land trading that increasing in the valley. Community should able to keeps their land and trying to find a best and benefits option to manage it.

As addition YBAW presented the progress and plan they will do to finalize the rests customary boundary maps in Baliem Valley. There are about 27 groups of customary confederation in Balliem valley and 15 of them have mapped their boundary while 6 of which are now be agreed. YBAW with supports from Samdhana Institute and Forestry Department is planning to finalize all the groups boundary maps then push them for legal recognition, land uses planning and administratively re-justifying the sub-district and district boundary based on customary rights.  


The elders reviewed the maps for clarification and final approval in the Forestry office. Photo: Martin Hardiono

Jumat, 21 Januari 2011

Versi Bahasa Indonesia: Forests Poverty Toolkit Profor World Bank


Secara global diakui bahwa kunci pengentasan kemiskinan didalam hutan adalah melalui pengelolaan hutan berkelanjutan secara baik. Dimana akses terhadap sumber daya dan pusat-pusat ekonomi menjadi kebutuhan didalamnya yang harus difasilitasi untuk membantu masyarakat mendapatkan nilai ekonomi sumber daya hutannya sekaligus berusaha menjaga keberlanjutan dari sumber daya hutan tersebut. Merespon pada kebutuhan ini, dimulai tahun 1997 Program Hutan (Program On Forests/PROFOR) dikembangkan oleh beberapa negara donor seperti UK, Swiss, Prancis, Jerman dan Belanda dibawah koordinasi Bank Dunia untuk mendukung analisis mendalam, stategi inovasi dalam berbagi pengetahuan dan diskusi, mengemas warta-warta kebijakan. Dimana Profor bekerja khusus pada issue yang seputar penghidupan dan pendanaan, pemanfaatan hasil hutan tak berijin, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Beberapa tools dan assessment dikembangkan oleh profor untuk membantu semua aktor kehutanan multilevel memahami kondisi dari hutan, penghidupan didalamnya dan pilihan pengelolaan berkelanjutan baik yang berbasis masyarakat maupun comersial. Salah satu tools yang dikembangkan oleh Profor adalah: Forests Poverty Linkages Toolkit atau Alat Bantu Analisis Hubungan antara Kemiskinan dengan Hutan. Tools ini dilengkapi 8 alat bantu yang kemudian membantu para fasilitator lapangan, pemerintah, NGO/CSO atau akamdemisi untuk mendapatkan informasi cepat tentang kondisi sosial dan hubungan ketergantungan komunitas dengan sumber daya hutan didalam dan sekitar wilayahnya. Keseluruhan tools bisa diakses di www.profor.info dan sudah ditranslate dalam beberapa bahasa dan bisa diakses. Untuk versi bahasa indonesia pada tahun 2009 - 2010 yang lalu saya coba mentranslate-nya untuk diakses oleh para aktor yang membutuhkannya. Konten dari tools ini ada 8 yaitu:

  1. Tool 1. Wealth Ranking atau Rangking kesejahteraan. Dimana kita diawal perlu secara keseluruhan melakukan pendataan terhadap jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga dan kepemilikannya termasuk detail penghasilan yang mereka miliki. Berdasarkan data tersebut bersama dengan tokoh di kampung/wilayah melakukan pengelompokan kesejahteraan dari semua masyarakat/kepala keluarga yang ada di kampung.
  2. Tool 2. Jalan-jalan di hutan. Pendekatan observasi landscape dan pemanfaatan lahan dilakukan. Pada tools ini bobot perhatian pengumpulan data lebih dalam ke pemanfaatan hutan dan sumber dalama lainnya termasuk didalam bagaimana aturan pemanfaatan dan detail produk yang dimanfaatan. 
  3. Tool 3. Timeline and trend atau perubahan waktu dan kecenderungan kedepan. Tools ini membantu kita untuk melihat bagaimana perubahan yang telah terjadi pada satu wilayah atau kampung atau dusun tertentu dalam beberapa tahun terakhir dan melakukan proyeksi kedepan apa yang mungkin terjadi dengan history yang adat. Pendekatan history dan forward looking adalah core dari tools ini. 
  4. Tool 4. Livelihood analysis atau analisis penghidupan masyarakat. Ini tools penting yang membantu komunitas dan fasilitasi menemukan data ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan dengan detail proporsi per produk hutan yang dimanfaatkan. Pembobotan kontribusi didapatkan dengan penekanan pada jumlah yang dimanfaat dan memberikan kontribusi cash dan non cash kepada keluarga. 
  5. Tool 5. Analisis lanjutan detail pemanfaatan produk hutan. Tool ini adalah tindaklanjut dari tool 4, dimana hasil identifikasi dan pendataan yang diperoleh di tools 4 kemudian dianalisis lebih jauh untuk melihat detail produk apa yang sebenarnya secara dominan mempengaruhi penghidupan satu kelompok masyarakat. 
  6. Tool 6. Problem dan solution atau masalah dan solusi pemecahannya. Tool  ini secara baik membantu masyarakat untuk mendaftarkan sedetail mungkin masalah-masalah terkait pemenfaatan sumber daya hutan dan sumber daya alam lainnya yang di hadapi masyarakat. Selanjutnya pembobotan dilakukan untuk melihat priorititas masyarakat yang penting dan urgent diselesesaikan. Hasil identifikasi masalah ini kemudian didiskusikan bagaimana solusi pemecahannya dan siapa yang bisa membantu. 
  7. Tool 7. Linking to MDGs dan SDGs, menghubungkan data yang dihadapi dengan strategi SDGs yang ditetapkan PBB. Dimana dasar hasil yang diperoleh dari tools 1 - 6 dianalisis lebih makro di tingkat regional untuk melihat bagaimana implementasi SDGs bisa dilakukan. 
  8. Tool 8. Monetary assessment atau pengkajian pendanaan. Tools ini membantu mengalisis lebih jauh bagaimana kontribusi sektor kehutanan secara makro berdasarkan hasil applikasi di beberapa wilayah. 
Sejak tahun 2006, tools ini mulai diperkenalkan dan diaplikasikan di Indonesia. Beberapa penerapan diantaranya yang dilakukan di Kaimana pada tahun 2009 - 2010 untuk membantu Samdhana Institute, Perdu Manokwari, IUCN dan Dinas Kehutanan Kaimana melibat pilihan pengembangan pilot pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat. Dari 8 tools yang dikembangkan yang diterapkan adalah 6 tools karena itu yang membutuhkan field exercies sedangkan 2 tools berikutnya adalah pengembangan lanjutan. Salah satu contoh laporan penerapan alat bantu ini disajikan didalam link berikut ini: https://drive.google.com/file/d/0BygScToA2HKFd3BHTTdRVDZHY2M/view?usp=sharing

Untuk membantu para praktisi, pemerintah, kelompok masyarakat dan akademisi di Indonesia mengaplikasikan tools ini, versi bahasa indonesia dari toolkits ini sudah disediakan setelah kita menerimannya dari Ibu Gillian Shepherd yang merupakan senior social, livelihood and forests scientist di IUCN . Applikasi toolkit yang dilakukan di Indonesia seperti di Kaimana, Jambi, Jayapura dan Kalimantan difasilitasi langsung oleh Ibu Gillian Shepherd. Didalam booklet lapangannya Ibu Gill membagi tools ini dalam 4 bagian yaitu: (a) buklet 1. pengantar kemiskinan dan hutan, (b) buklet 2. persiapan sebelum ke lapangan, (c) buklet 3. ringkasan panduan lapangan dan (d) buklet 4. setelah kembali dari lapangan. Penggunaan bahasa sederhana dengan detail panduan yang mudah dimengerti sedianya akan sangat membantu fasilitator untuk cepat mengaplikasi alat bantu ini. Secara detail masing-masing buklet diatas bisa di akses di link berikut:

Buklet 1: https://drive.google.com/file/d/0BygScToA2HKFY3M3LVNUa05uc2s/view?usp=sharing
Buklet 2: https://drive.google.com/file/d/0BygScToA2HKFNGRYWkNINmZNOVU/view?usp=sharing
Buklet 3: https://drive.google.com/file/d/0BygScToA2HKFdGhiVmxNTVRET3M/view?usp=sharing
Buklet 4: https://drive.google.com/file/d/0BygScToA2HKFd2NxbGR0OV8zYW8/view?usp=sharing 

Selanjutnya tentu kami berharap tools ini membantu siapa saya yang membutuhkannya terutama untuk mendukung upaya-upaya pengentasan kemiskinan didalam kawasan hutan dan kemandirian sosial ekonomi masyarakat yang berkontribusi pada perlindungan hutan.