My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.

Sabtu, 21 Januari 2017

Opini: Menguji Visi dan Komitmen Politik Isu Lingkungan dan Masyarakat Adat yang Kongkrit Pada CAGUB-CAWAGUB Papua Barat


Kemarin, 20 January 2017 jam 18.00 live di Metro TV dilaksanakan debat publik pertama Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Provinsi Papua Barat periode 2017 - 2022. Debat yang difasilitasi oleh KPUD Provinsi Papua Barat ini dimaksudkan untuk merangsang partisipasi pemilih aktif di Provinsi Papua Barat, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua KPUD Provinsi Papua Barat Amos Atkana dalam sambutan pembukaannya bahwa "debat ini bukan merupakan proses rangkaian kampanye semata, tetapi memberikan makna dalam melihat dan mencermati untuk menentukan pilihan di tanggal 15 Februari mendatang". Menekankan pesan ketua KPU, ketua tim Pakar Bapak Agus Sumule, yang juga adalah Akademisi UNIPA sebagaimana dikutip didalam situs resmi KPUD Provinsi Papua Barat mengatakan bahwa "Kalau bisa mereka (cagub-cawagub) lebih bisa muncul dengan program-program yang tajam dan kongkrit lagi. Sehingga masyarakat bisa lebih bergairah memilih calon pemimpin yang diharapkan".

Salah satu bagian penting yang perlu diukur dari visi, komitment politik serta rancangn program konkrit kedepan adalah pada isu pengelolaan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan keberpihak terhadap pengamanan hak adat dan penguatan kapasitass masyarakat adat di Papua. Karena salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat terpilih adalah menjalankan tata kelola sumber daya alam yang bermanfaat dan beripihak kepada masyarakat serta mewujudkan perlindungan kualitas lingkungan dan daya saing masyarakat ditengah perubahan pembangunan sekarang. Apabila saya hadir dan diberikan kesempatan bertanya pada debat ini, beberapa point diatas akan saya tanyakan. Bagaimana para Cagub dan Cawagub melihat issues ini? Dan apa program konkrit yang sudah atau akan mereka lakukan untuk menjawab "paradoks of Papua - miskin diatas tanah yang kaya"?.

Mengikuti secara live siaran debat ini, belum ditemukan program konkrit yang disampaikan pada aspek lingkungan dan masyarakat adat ini. Sekalipun ketiga pasangan menyebutkan isu keberpihakan dan perlindungan dilakukan dengan menekankan pada implementasi UU Otonomi Khusus (otsus). Sekalipun beberapa pasangan pada visinya menyebutkan aspek-aspek ini. Pasangan nomor 2 dan 3 menyebutkan dalam visinya tetapi menurut saya belum konkrit; pasangan No 2 menyebutkan misi untuk menajaga keberpihakan dan pengelolaan linkungan berkelanjutan sedangkan pasangan no 3 menyebutkan bahwa misi ke-5 mereka ditekankan bahwa terpeliharannnya linngkungan hidup yang serasi dan berkelanjutan. Hanya kemudian apa program konkrit-nya, belum kelihatan didalam gambaran kerangka program yang akan dilakukan apabila mereka terpilih.

Apa sebenarnya titik krusial persoalan lingkungan dan masyarakat adat yang harus dijawab di Papua Barat? Tentunya pertanyaan ini perlu menjadi refleksi dan bahan diskusi internal di setiap pasangan Cagub-Cawagub untuk merumuskan misi dan program konkrit menjawab persoalan ini. Me-refer pada beberapa dokumen assessment yang sudah pernah disusun oleh pemerintah maupun NGO yang bergerak di bidang lingkungan dan masyarakat adat, sebenarnya para Cagub-Cawagub sudah bisa menemukan "the bundles of problems" yang harus diselesaikan. Saya mencoba meringkas beberapa point dalam tulisan ini dalam beberapa kacamata perspective:
  1. Persoalan politik, regulasi dan tata aturan 
    Penegasan pada politik dan regulasi pengaturan sumber daya alam di Papua secara keseluruhan masih mengadopsi kerangka nasional yang pada beberapa fakta tidak sejalan dengan kondisi sosial dan kepasitas mayarakat di Papua. Otsus sebagai sebuah kerangka kebijakan yang berpihak kepada Orang Papua masih diperangkap pada ruang berpikir "akses uang yang besar" tetapi belum secara kuat memberikan ruang dan kepastian hukum bagi orang asli Papua untuk terlibat aktif sebagai pemilik, pengelola dan penerima manfaat terbesar dari sumber daya alam yang kaya ini. Sejak berdirinya atau selama kurang lebih 13 tahun Provinsi Papua Barat, belum ada 1 regulasi berupa PERDASUS maupun PERDASI yang dikeluarkan oleh DPRD yang didalamnya memuat Norma, Standar, Prosedur dan kriteria dari pengaturan dan tata laksana pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, perlindungan hak masyarakat adat dan penegasan tentang pembagian manfaat yang adil dan seimbang sebagai wujud dari pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya.

    Disaat Masyarakat adat Papua terus bersuara untuk menuntut perhatian atas Hak-nya terhadap pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam, mereka sulit menemukan kerangka hukum keberpihakan yang kuat. Tidak adanya produk politik dan regulasi yang mengatur dan mengadministrasikan perlindungan dan pengamanan hak dan aset masyarakat adat Papua Barat dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan bermanfaat adalah titik kritis dimana persoalan kekinian masih trus dibiarkan.
  2. Persoalan kelembagaan dan tata kelola layanan 
    Layanan pada program-program yang terkait dengan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam di Papua Barat perlu ditunjang dengan kelembagaan dan layanan publik kepada masyarakat di Papua Barat. OMBUDSMAN Papua Barat di situs resminya bahkan mengingatkan agar Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Kabupaten untuk serius meningkatkan kualitas Layanan Publik, karena menurutnya tidak ada itikad baik dan cenderung melakukan pembiaran dengan tidak melaksanakan tugas sesuai SOP. Dalam hal keberpihakan kepada orang Asli Papua dan juga pembangunan lingkungan berkelanjutan terlihat nyata bagaimana persoalan-persoalan seperti konflik tenurial antara masyarakat adat dengan konsesi, konflik dalam penggunaan lahan untuk infrastruktur dan pengaturan alokasi sumber daya alam kepada pihak ketiga tanpa pelibatan masyarakat adat yang sering menimbulkan penolakan dan konflik sebagai satu contoh nyata. Selain itu di perkotaan tata kelola sampah yang buruk telah menimbulkan pencemaran lingkungan seperti jalan dan sungai yang tidak terkontrol bahwa kualitas udara yang tidak diukur baik sebenarnya sudah tercemar akibat aktifitas pembakaran sampah yang tinggi didaerah-daerah seperti Sorong, Fak-fak dan Manokwari.
  3. Persoalan kapasitas, mekanisme fasilitasi dan sistem kerja 
    Kualitas sumber manusia, pendekatan/mekanisme fasilitasi dan sistem kerja yang efektif dan efisien dengan etos yang baik adalah komponen penunjang penting dalam sebuah layanan yang optimal. Kualitas capaian program yang baik akan dicapai apabila sumber daya manusia tersedia dengan kemampuan yang baik, mekanis kerja yang terukur dan sistem layanan yang tepat kepada masyarakat dan masalah yang dihadapi. Dan Papua Barat masih terus berjuang dengan hal ini, sekalipun ada peningkatan dari IPM, tetapi Papua Barat masih masuk dalam kategori rendah karena IPM-nya secara nasional diangka 61.7% dibawah NTT dan Maluku. Fakta ditunjang dengan bagaimana ketergantungan tenaga dari pekerja luar Papua atau jasa konsultan untuk pekerjaan-pekerjaan teknis dan fasilitasi dilapangan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya, lingkungan dan fasilitasi masyarakat. Program kehutanan Masyarakat saja misalnya yang harus-nya menjadi kekuatan Provinsi Papua Barat masih didominasi oleh pekerja-pekerjaan luar.
  4. Persoalan keberpihakan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 
    Dokumen SRAP REDD+ Papua Barat yang disusun pada tahun 2012 - 2014 apabila dibaca oleh Para Cagub dan Cawagub pasti mendapatkan banyak point kritis tentang persoalan pengelolaan SDA di Papua Barat yang berpihak kepada masyarakat. Analisis spasial yang dilakukan tim penulis menunjukan bahwa ada sekitar 4 juta ha overlaping lahan konsesi yang luasnya lebih dari luas provinsi Papua Barat dimana total semua perijinan terkait pemanfaatan dan penggunaan SDA di Papua Barat secara spasial luasnya mencapai 14jt ha sedangkan Luas Provinsi Papua Barat berdasarkan RTRWP Hanya 10.7 Juta Ha. Apabila ditrace lebih jauh semua pemilik konsesi besar ini bukan orang asli Papua. Kondisi ini tentu ironis apabila dibanding dengan beberapa insiatif legal pengelolaan hutan yang diisiniasi beberapa kelompok masyarakat tetapi tidak optimal mendapatkan perhatian seperti Hutan Desa di Kaimana dan Sorong Selatan yang luasnya baru mencapai 15,000 ha. Atau hanya 0.1% dari total wilayah Papua Barat. Penguasaan sektor sumber daya alam oleh pihak ketiga dan lemahnya kontrol pemerintah serta birokrasi yang buruk dalam layanan kelihatan menjadi faktor utama penyebab ketidakberpihakan ini.

    Sebuah fakta yang Ironis tentunya dan memunculkan pertanyaan. Apabila target pertumbuhan ekonomi di Papua Barat dicapai melalui pemerataan exploitasi sumber daya alam sebagai tulang punggu ekonomi, siapakah yang akan mendapatkan keuntungan dan semakin kaya? Sudah pasti bukan masyarakat apabila regulasi, tata kelola lembaga, layanan publik dan prioritas keberpihakan tidak kepada mereka.
  5. Persoalan awareness dan perubahan paradigma
    Kunci berikutnya dalam point ini persoalan kesadtahuan dan paradigma. Beberapa kritik terhadap buruknya layanan dan berjalannya program pembangunan yang buruk termasuk layanan ke masyarakat adat dan program lingkungan yang timpang karena persoalan ketidakpedulian dan paradigma kerja. Membangun Manusia yang berkualitas adalah bukan sekedar mencapai gelar-gelar akademis tetapi memiliki kesadatahuan, kepekaan dan paradigma bekerja yang baik terkait asas-asas pembangunan berbasis kondisi sosial budaya lokal. Adat di Papua Barat hubungan kultur yang kuat antara Manusia dengan alam harus dipandang sebagai sebuah kekuatan untuk dikemas dan ditransformasikan menjadi satu pilar pembangunan ekonomi daerah dimana Masyarakat adalah pemilik sekaligus aktor utama. Mungkin ini mimpi tinggi ditengah fakta kondisi saat ini. Tetapi karena tidak adanya mimpi yang dibangun khusus untuk mewujudkan Otsus yang benar sehingga keterpurukan pada dimensi sosial masyarakat adat Papua dan lingkungan terus masih terjadi. 
5 point diatas adalah beberapa rangkuman singkat dari sekian banyak persoalan terkait masyarakat adat dan lingkungan yang dihadapi di Provinsi Papua Barat. Bahwa upaya mewujudkan Provinsi Konservasi sebagaiman komitmen politik saat ini dan juga disebutkan oleh Pasangan No.2 perlu secara konkrit diterjemahkan dari perspektif keberpihakan. Merefleksi dari bagaimana Pemerintah daerah Tambrauw membangun Kabupaten Konservasi tentu mengemas strategi pembangunan yang berpihak kepada lingkungan dan masyarakat adat bisa diuji tidak pada tataran konsep dengan janji Manis tetapi soal konkrit dan realistis tidaknya konsep tersebut berjalan menjawab persoalan yang urgent saat ini. Refleksi diskusi yang berkembang di Tambrauw memunculkan juga 5 hal yang perlu kemas dan dilaksanakan secara terangkai untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan masyarakat adat. 5 Hal tersebut adalah: 
  1. Terus membangun kesadartahuan, pemahaman dan mainstreaming nilai-nilai pembangunan berkelanjutan, bermanfaat sosial dan lingkungan. Ini menjadi fondasi dasar berpijak. Program-program konkrit seperti training, workshop, field implementation village development dan pendidikan lainnya yang dikemas dengan tujuan yang terukur dengan berbagai media adalah cara yang bisa dilakukan. 
  2. Regulasi kelembagaan yang berjalan optimal. Membangun dan menyediakan regulasi-regulasi daerah berupa PERDA atau sejenisnya seperti (a) pengakuan, perlindungan dan penataan hak-hak masyarakat adat, (b) pembagian manfaat sumber daya alam kepada masyarkat adat, (c) pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan oleh masyarakat adat Papua, (d) management sampah dan indsutry pengolahan terpadu oleh masyarakat, (e) perlindungan dan pengelolaan daerah aliran sungai di Papua dan (f) mekanisme penyelesaian sengketa pengelolaan sumber daya alam adalah penting diwujudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat adat dan lingkungan. 
  3. Kepastian hak, klarifikasi kepemilikan lahan dan tata kawasan hutan dan kawasan perairan. Banyak masyarakat yang menjadi korban hukum karena overlapping penggunaan ruang dan sumber daya yang berlawan dengan hukum. Kehutanan menjadi sektor yang paling banyak membawa masyarakat adat Papua ke Meja Hijau terutama masalah pelanggaran didalam kawasan hutan "NEGARA". Sehingga memastikan semua masyarakat adat memiliki peta wilayah adat yang teroverlay dengan peta kawasan hutan-perairan dan pemanfaatan sumber daya alam yang disusun pemerintah menjadi penting diwujudkan. Peta wilayah adat dan visi pemanfaatan ruang oleh komunitas adalah alat diskusi untuk mencegah persoalan hukum oleh masyarakat adat sekalian tata regulasi perijinan pemanfaatan SDA yang mana masyarakat diberikan porsi yang sama dalam mengambil keputusan perijinan. 
  4. Kerangka pembangunan/pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat adat. Fakta bahwa tingkat ketergantungan masyarakat adat di Papua Barat sangat tinggi terhadap sumber daya alam perlu direspon dengan trus membangun konsep, model dan fasiltasi inisiasi pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Penegasan target politis dan konkrit luasan atau unit kelola sumber daya alam berbasis masyarakat adat perlu dimunculkan agar masyarakat bersama-sama ikut mngawalnya. Selain penegasan tentang target, sistem dan mekanisme layanan dan fasilitasi untuk mencapai target tersebut juga perlu disiapkan secara baik. 
  5. Pendanaan berkelanjutan. Pastinya dengan kondisi yang ada semua program dan misi politis yang ada harus ditunjang dengan penggaran yang cukup anggaran bisa dalam bentuk apapun. Misalnya untuk program pembangunan model pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas fasilitasi, bantuan modal, pembangunan fisik prasarana dan pengaturan arus barang adalah fasilitasi yang bisa disediakan pemerintah dengan pengangaran yang ada. Dalam hal ini, perdebatan soal dana Otsus esensinya tidak pada proporsi (%) yang harus dibagi antara Provinsi dan Kabupaten, tetapi pada komponen pembangunan manusia dan kekuatan daya saing ekonomi masyarakat adat Papua yang sementara secara tidak sadar terus termajinalkan akibat ketidaksiapannya menghadapi perubahan pembungunan yang ada. 
Secara statistik, menurut saya ada 4 ukuran sederhana yang bisa dikemas untuk kita mengukur keberhasilkan pembangunan dari aspek lingkungan dan masyarakat adat yaitu:

  • Nilai kontribusi pembangunan SDA oleh Masyarakat adat didalam PDRB Provinsi. 
  • IPM Masyarakat adat yang berinteraksi dengan kerja-kerja lingkungan berkelanjutan dan industry berbasis potensi lokal didalam wilayah adatnya. 
  • Indeks pembangunan lingkungan, angka pencemaran dan pengelolaan limbah terpadu dari lingkungan. 
  • Prestasi layanan publik pada kerja-kerja lingkungn dan keberpihakan kepada masyarakat adat - dimana OMBUDSMAN bisa mengambil peran disini untuk membangun pemerintah mengukur keberhasilanya.  
Point-point ini bisa publik pakai untuk menguji kesiapan pada kandidat sekarang dan bagaimana selanjutnya mereka menjalankan pembangunan ketika terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Periode 2017 - 2022.


0 komentar:

Posting Komentar