My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.

Selasa, 21 Februari 2017

Opini: Membangun Ekonomi Papua - Dimana Saja Gap-nya?

Selasa 21 February 2017 Jam 22.05 WIT (20.05 WIB) Live di Metro TV http://video.metrotvnews.com/economic-challenges, disajikan diskusi menarik tentang "Mendongkrak Ekonomi Papua" di acara Economic Challenges yang dipimpin oleh Suryopranoto dan Leonard Samosir. Diskusi ini menampilkan 3 Narasumber kunci yaitu. (1) Bapak Michael Manufandu - Senior adviser untuk Pembangunan di Papua, (2) Ibu Adriana Elisabeth - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI dan (3) Bapak Satya Widya Yudha - Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI. Arahan pembukan yang mengangka relita pertumbuhan ekonomi di Papua yang belum menunjukan kualitas-nya terkait pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan ini dikemas secara padat dengan serial topik yang mengupas: pendapatan asli daerah, pengeloaan dana otsus untuk pembangun infrastruktur dan sosial, investasi dan ketimpangan sosial serta pengentasan kemiskinan dalam target pertumbuhan ekonomi.

Paradoks of Papua "Miskin diatas Tanah yang kaya" harusnya dihighlight diawal tentang ukuran pertumbuhan ekonomi pada level micro untuk melihat apakah angka pertumbuhan yang tunjukan dengan fakta income per household bersifat merata atau mungkin ada pencilan pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Leonard Samosir dalam pengantarnya memasuki sesi kedua diskusi menunjukan data statistik dimana angka pertumbuhan ekonomi di Papua cenderung meningkat tetapi kontribusi sektor extraksi sumber daya alam masih sangat significant tehradap GDP dan PDRB. Dimana pada tahun 2016, tanpa tambang pertumbuhan ekonomi Papua hanya 6.52 % sedangkan sedangkan dengan ditambahkannya Tambang pertumbuhan ekonomi Papua meningkat 2.7% menjadi 9.21%. Hanya kemudian angka ini sebenarnya harus dilihat kritis karena sektor Tambang hanya menyerap tidak lebih 10% tenaga kerja Papua yang lebih banyak menumpuk pada sektor ekonomi "primitif" seperti perikanan/kelautan, perburuan, pertanian tradisional dan kehutanan yang nilainya mencapai 1.1 jt orang atau sekitar 70% dari total tenaga kerja pada usia produktif di Papua. Freeport dan British Petroleum sebagai perusahaan multinasional skala besar mendapatkan perhatian tersendiri dalam diskusi ini tentang kontribusinya-nya terhadap penerimaan negara dan bagaimana juga kontribusi-nya dalam pembangunan pada wilayah dimana dia bekerja menujukan bagaimana serapan tenaga kerja yang ada.

Semua pertanyaan yang diangkat adalah pertanyaan kritis seperti pertanyaan Kepada Ibu Adriana dari pak Suryo "sebetulnya arah pembangunan kita di Papua itu, apakah mengandalkan sumber daya alam sebagai berkah atau sebagai kutukan?". Ibu Adriana memberikan penjelasan yang baik tentang bagaimana semua master plan pembangunan ekonomi di Papua lebih banyak bicara fisik dan infrastruktur dari pada pembangunan Manusia. Tentu pernyataan ibu Adriana adalah valid dengan fakta-fakta sosial saat ini dan juga percepatan pembangunan infrastruktur dan fisik yang tidak berimbang dengan pembangunan manusia. Implikasinya adalah ketimpangan dan kecemburuan sosial karena sebagian besar dari mereka yang mampu mengakses pekerjaan-pekerjaan fisik dan profesional adalah bukan orang asli Papua. Ditambah lagi arus dagang dan pengendali barang dan jasa untuk kebutuhan konsumber primer dan rutin adalah pengusaha-pengusaha non Papua yang pada beberapa fakta juga mendorong pertumbuhan penduduk akibat migrasi yang meningkat orang-orang non Papua untuk datang mencari nafkah dan hidup dan tingginya peredaran uang di Papua. Timika dan Bintuni hanya gambaran kecil dari keterpurukan ekonomi masyarakat local ditengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pertumbuhan fisik infrastruktur yang pesar.

Apabila diijinkan untuk menambahkan pertanyaan saya akan mengajukan dua pertanyaan berikut kepada ketiga narasumber : (1) "dari kerangka  kebijakan nasional untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, kira-kira keuntungan dan pertumbuhan siapa yang menjadi orientasi utama?" (2) "Dengan fakta bahwa 70% orang Papua mengerjakan sektor 'Ekonomi Primitif' apa langkah konstruktive yang harus dibangun untuk mastikan bahwa sektor-sektor ekonomi primitif ini dalam secara bertahap bertransformasi menjadi sektor utama penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi di Papua?". Kedua pertanyaan ini sebenarnya yang menjadi akar gejolak ekonomi dan gerakan sosial di Papua yang melihat pemerintah Indonesia belum Mampu membangun Papua karena cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro yang berpihak pada pemodal besar ketimbang memprioritaskan kemandirian dan perkembangan ekonomi lokal. Mungkin kalau dilihat dari jangka pendek dengan target pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah mengandalkan sektor ekonomi extractive besar adalah langkah cerdik secara cepat mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi secara massive tetapi secara jangka panjang belajar dari kasus Freeport, PT PN Kepala Sawit di Prafi dan Beberapa perusahaan Kayu akan berdampak negatif pada tata nilai sosial dan lingkungan. Dan pemerintah masih terkoptasi dengan melihat ekonomi primitif tidak punya peluang untuk berkembang menjadi ekonomi profesional yang mampu memberikan pertumbuhan yang optimal bagi negara. Ketimpangan prioritas dan arah pembangunan ekonomi yang juga mempengaruhi cara pemerintah melihat percepatan pembangunan economi secara makro inilah yang sepertinya menjadi faktor kunci kenapa kemudian banyak pihak yang masih menggang sepele aktifitas-aktifitas ekonomi di Sektor 'primitif' seperti perikanan/kelautan, pertanian tradisional, perburuan dan kehutanan. Ironis tentu-nya.

Argumentasi bahwa sektor ekonomi primitif yang jelas-jelas adalah ketahanan ekonomi micro masyarakat tidak menjadi perhatian dan cenderung dipandang sebelah mata adalah beranjak dari pengalaman Dinas Kehutanan Provinsi Papua memperjuangkan implementasi dari PERDASUS 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Sejak 2008 ditetapkan dan secara efektif 2011 berjalan semua konsesi masyarakat adat tidak bisa beroperasi karena tidak dikeluarkannya persetujuan tata usaha kayu yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. Alasan yang disampaikan adalah nomenklatur Hutan Masyarakat Adat yang tidak ditemukan dalam UU 41 Tentang Kehutanan Tahun 1999. NSPK kemudian diperjuangkan sejak 2013  untuk pengakuan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat Papua tetapi pertimbangan politis dan nampaknya untuk keraguan bahwa masyarakat adat Papua belum bisa menjalankan praktek pengelolaan hutan lestari mempengaruhi KLHK untuk mengeluarkan Permenhut NSPK ini. Ini adalah salah satu contoh, tentu masih ada contoh lainnya seperti bagaimana lambatnya implementasi pengakuan hak atas Tanah Adat Masyarakat di Papua sebelum HGU-HGU diberikan kepada konsesi besar. Kosong-nya regulasi-regulasi teknis pada sektor-sektor primitif dimana masyarakat adat bergantung untuk mengerjakan aktifitas ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat adat pemilik Sagu di Sorong Selatan. Pilihan pemerintah untuk menghadirkan perusahaan Nasional besar seperti ANJ dan Perhutani untuk mengembangkan "Big Modern Sago Factory in Indonesia" untuk memenuhi jutaan ton target export sagu nasional adalah bagaimana upaya perusakan ketahanan ekonomi lokal dan perubahan tata konsumsi sosial komunitas.

Sampai pada titik pertanyaan kritis baru: desain dan teori pembangunan ekonomi seperti apa yang tepat didesain untuk Papua dengan kondisi saat ini? Apakah kita masih tetap ngotot untuk mengukur pertumbuhan, pemertaan dan keadilan sosial ekoomi kepada orang Papua dari data PDRG, GDP dan Pertumbuhan ekonomi lainnya yang umumnya menampilkan angka Makro dimana pengaruh sektor-sektor tertentu yang bukan milik orang Papua lebih dominan? Sorotan ini tentu tidak bisa hanya dijawab dengan meningkatkan atau mengurangi uang otsus Papua. Argumentasi Pak Satya tentang nilai uang Otsus yang menjadi 5 triliun Rupiah di Tahun 2016 ditambahkan pembiayaan Infrastruktur mencapai 2 Triliun Rupiah adalah sah-sah saja untuk mengklaim perhatian negara dari kacamata Legislatif tetapi sebenarnya belum sejalan tentang bagaimana executive terutama bagian teknis yang terkait dengan 70% sumber penghidupan orang Papua bertindak. Setidaknya ada 5 hal yang perlu dilengkapi pemerintah selain dari pada pemberian uang dalam jumlah yang besar yaitu:

  • Menghadirkan pengakuan, perlindungan dan pengamanan hukum hak atas tanah dan sumber daya alam milik orang Asli Papua. Kasus freeport, BP, Wasior Berdarah, PT. Nabire Baru (Sawit), PT PN Prafi dan Arso (Sawit) dan beberapa kasus lain dimana perjuangan masyarakat adat selalu mentok di pengadilan karena minimnya regulasi yang berpihak adalah contoh yang baik bagi pemerintah untuk mewujudkan ini. Reforma agragria sebagaimana amanat Presiden JOKOWI dalam NAWACITAnya sedianya harus diwujudkan juga secara bertahap di Papua untuk menjaga ketimpangan sosial yang mungkin terjadi. 
  • Membangun dan menyediakan regulasi teknis terkait pengelolaan berkelanjutan dari sektor-sektor ekonomi primitif milik masyarakat adat harus disediakan. Dimana dalam pengembangan Norma, Standar, Kriteria dan Prosesnya, regulasi ini diakui secara nasional yang mempertimbangkan karakter sosial dan kemampuan kelola dari masyarakat adat Papua dan memberikan jaminan usaha ekonomi yang aman bagi orang Papua. 
  • Membangun protokol investasi yang benar dan berpihak kepada masyarakat. Fakta bahwa masyarakat selalu tahu dan berhadap dengan satu investasi yang masuk ke wilayah setelah proses antara investor dan pemerintah selesai pada prakteknya menyisakan persoalan panjang dengan penolakan sosial dan konflik dilapangan. Selain itu juga pada saat investasi berjalan dan berdampak pada masyarakat, sebagai korban masyarakat lebih dominan disalahkan karena pengaturan prioritas investasi yang lebih berpihak kepada pemilik modal. Sehingga membangun iklim dan kerangka investasi yang ramah sosial di Papua adalah ketika protokol investasi secara tegas mengatur dan memberikan jaminan partisipasi dan negosiasi masyarakat dalam phase inisiasi investasi sampai implemetasinya termasuk pengawasan. 
  • Paradigma dan budaya kerja di level executive. Perubahan budaya dan qualitas layanan pekerjaan yang baik dengan mengutamakan quality based on outcome for change dibandingkan tetap pada kondisi saat ini dimana output based on quantitative achievement adalah bentuk yang harus terus dicoba. Orientasi dan cara kerja proyek fisik pemerintah perlu dirubah dengan penekanan pada bagaimana implikasi ketahanan dan kemandirian ekonomi dari masyarakat Papua dari proyek yang dikerjakan. 
  • Inovasi dan pengembangan terus paket-paket pendidikan, pelatihan dan penguatan kapasitas lainnya baik formal maupun informal untuk mempersiapkan orang Papua mengakses pekerjaan-pekerjaan saat ini. Pertumbuhan pembangunan fisik, pengembangan ekonomi, bisnis keuangan dan ruang kerja baru yang semuanya membutuhkan tenaga terdidik dan terlatih faktanya didominasi oleh non Papua.
Akhirnya tidak hanya untuk Papua sebenarnya tetapi untuk semua wilayah-wilayah dengan SDA melimpah di Indonesia yang juga masyarakatnya terpuruk secara ekonomi Pemerintah perlu lebih dalam melihat fakta ekonomi mikro yang banyak menjadi tumpuan masyarakat untuk dikelola, dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi daerahnya. Orang Papua tentu akan sangat bangga apabila BPS pada satu ketika tidak kaku dengan sistem pencatatan statistik pertumbuhan ekonomi makro saat ini, tetapi menunjukan bagaimana masyarakat adat Papua dengan kepastian hukum hak atas ruang adatnya dan dengan pola pemanfaatan SDA secara legal dan berkelanjutan mampu mengubah sektor ekonomi primitif menjadi ekonomi profesional yang berkontribusi pada nilai PDRB dan GDP secara keseluruhan dari daerah dan Nasional. 

Anak-anak dengan rumah di pegunungan di Tambrauw Papua Bara


0 komentar:

Posting Komentar