My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.

Minggu, 14 September 2014

Penegakan Hukum Dan Arbitrase Dalam Pengelolaan Hutan Rendah Karbon

Sebuah Tulisan yang saya kembangkan dan kontribusikan ke SRAP REDD+ Papua Barat. Tulisan diangkat dari realita bahwa aspek penegakan hukum dan penyelesaian sengketa secara baik merupkan sebuah pra kondisi yang harus dibangun dalam rangka mewujudkan tata kelola hutan yang baik dan memberikan manfaat yang seimbang kepada semua pihak terutama masyarakat adat. Penegakan hukum erat kaitannya dengan pengakuan terhadap hak dan kewajiban dalam suata ikatan sistem dan aturan tertentu, begitu juga pada skema-skema pembangunan dengan pendekatan rendah emisi. Apapun bentuk pilihan pembangunannya, kepastian dan keamanan hukum menjadi hal yang krusial dan perlu di jamin.

A.    Konflik Kehutanan di Indonesia dan Papua

Salah satu masalah dalam pengelolaan hutan di Papua adalah tingginya konflik pengelolaan hutan di lapangan. Konflik baik yang bersifat perdata sampai yang berujung pada tindakan pidana masih menjadi bayang-bayang buruk yang memberikan teguran kritis pada usaha-usaha pengelolaan hutan lestari. Analisis nasiaonal tentang konflik di sector kehutanan tahun 1997 – 2003 ditemukan bahwa ada 359 kasus konflik yang berhasil dicatat, 39% diantaranya terjadi di areal HTI, 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung dan taman nasional) dan 27% di areal HPH. Catatan ini juga memberikan informasi bahwa bagian-bagian dengan tingginya konflik kehutanan ini antara lain tata batas hutan yang tidak jelas, alih fungsi kawasan hutan yang tidak rasional, konflik hak-hak tanah ulayat yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai perambahan hutan oleh masyarakat, pencurian kayu dan lemah kontrol serta kerusakan lingkungan akibat eksplotasi hutan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan usaha rehabilitasi atau reklamasi[1].  Salah satu penyebab dari munculnya konflik-konflik ini adalah karena lemahnya penegakan hukum dan ketidakkosistenan aturan lintas sektoral. UU kehutanan 41/99 dan turunannya belum mampu menjawab dinamika pengelolaan hutan di Daerah[2].
Untuk konteks Papua, kurangnya usaha-usaha klarifikasi dan pengakuan legalitas kepemilikan wilayah adat masyarakat yang berimplikasi pada lemahnya posisi tawar masyarakt secara hukum. Ketidakpastiaan hukum positif tersebut secara sadar tidak harmonis dengan hokum adat yang pegang oleh sebagian besar masyarakat di Papua[3]. International Crisis Group[4] dalam penitiaannya menyebutkan bahwa perebutan tanah dan hak atas sumberdaya alam merupakan aspek kunci dalam konflik di Papua. Ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan peraturan pemerintah Nasional telah berperan sangat besar dalam konflik tersebut. Negara kerap memberi konsesi kepada perusahaan pengelola sumberdaya dengan mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua pribumi.

B.     Analisis Penyebab Konflik kehutanan

Akar masalah dalam pengelolaan lahan dan hutan di Papua adalah:[5]
  1. Tidak adanya kepastian hukum penguasaan (tenurial security) tanah-tanah adat /SDA/wilayah kelola masyarakat
  2. UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mendudukan masyarakat sebagai objek hutan dan tidak secara tegas memberikan ruang pengakuan keberdaa masyarakat dan haknya atas sumber daya alam. Serta cenderung memposisikan masyarakat sebagai perambah hutan yang menggangung batas dan investasi pengelolaan hutan.
  3. Pemberian izin/hak oleh pejabat publik(menteri kehutanan, menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan masyarakat adat/lokal ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
  4. Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan, usaha-usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi.
  5. Lemahnya penegakan hukum terhadap perusahan-perusahaan dan okum-oknum pemerintah yang tidak disiplin di Papua dalam membangun system yang tidak transparn dan melegalkan yang ilegal. Sebagai contoh beberapa perusahaan perkebunan yang kecenderungannya mengambil kayu komersil lalu pergi begitu saja dan tidak membangun perkebunan. Lemahnya penegakan hukum dalam penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi antara masyarakat sekitar hutan dan perusahaan akan mengakibatkan konflik-konflik baru terjadi. Hal ini sering dijadikan pihak ketiga seperti cukong-cukong kayu untuk memanfaatkan konflik tersebut demi kepentingannya. Maraknya penebangan liar merupakan wujud ketidakharmonisan pemerintah/aparat keamanan, perusahaan dan masyarakat sekitar hutan.
  6. Instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi.
C.     Membangun mekanisme penyelesaian sengketa (arbitrase)

Harus diakui bahwa kecenderungan konflik lahan dan sumber daya alam akan semakin dengan peningkatan Investasi dari sector lahan dan hutan di daerah apabila semua pihak masih tidak peduli untuk menjawab akar permasalahan konflik di Tanah Papua. Membangun sebuah system penyelesaian konflik dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi sebuah kebutuhan di Papua karena selama ini dinilai sangat lemah. Lahan dan sumber daya alam didalamnya menjadi objek bagi penguasa-penguasa yang kebal hukum untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi masih menjadi masalah yang tidak kalah bersaing dengan masalah lain dengan predikat ‘Disclaimer” dari BPK[6] dan beberapa kasus korupsi pejabat yang sampai sekarang kecenderungannya tidak secara tegas di tindak memberikan bukti nyata bahwa kebutuhan untuk membangun instrument hokum yang tegas dan bertanggung jawab menjadi mimpi besar yang harus di wujudkan.

Khusus untuk penyelesaian sengketa, sudah banyak contoh kasus pemanfaatan sumber daya alam di Papua yang sengketanya diselesaikan dengan cara kriminalitas. Hal ini muncul karena tidak ada mekanisme penyelesaian sengkata (arbitrase) yang disepakati oleh pihak-pihak yang berkepentingnan dalam menyelesaikan konflik secara damai. Kecenderungan yang ada para actor memakai jalan kriminalitas, bahkan beberapa kasus pengusaha besar kecenderungan menggungakan pendekatan keamanan untuk mengamankan konflik, dimana sebagian diantaranya berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga-lembaga kunci di daerah yang diharapkan bisa mengambil peran arbiter belum menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang. Lagi-lagi korupsi dan suap-menyuap dengan berbagai kepentingan masih menjadi masalah yang menyebabkan semakin lemahnya peran lembaga-lembaga arbiter ini. Ditatanan masyarakat pun terjadi hal yang sama. Muncul berbagai lembaga yang mengatasnamakan adat dan masyarakat untuk tujuan politis dan jembatani kesepakatan-kesepakatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan di wilayahnya. Tetapi pada pelaksanaannya hanyak kepentingan-kepentingan tertentu saja yang diakomodir dan menghiraukan kepentingan masyarakat yang mereka wakili sehinga memunculkan konflik panjang di masyasrakat.

Desain mekanisme dan instrument hukum arbitrase diharapkan ditopang dengan 3 pilar dari negara yang berdasar hukum : 1) lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dan dapat diandalkan, 2) peraturan hukum yang jelas dan sistematis tidak saling overlapping, dan 3) kesadaran hukum masyarakat yang tinggi. Dengan dasar pemikiran tersebut, makan mewujudkan penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang berkeadilan secara efektif bisa digambarkan sebagai berikut[7]:

Merevitalisasi dan meningkatkan koordinasi lembaga peradilan baik peradilan dan penegak hukum negara maupun peradilan adat menjadi langkah awal dalam mewujudkan penegakan hukum dalam pengelolaan hutan di Papua Barat. menyiapkan kerangka legal bagi pengakuan atas hak dan membangun system “reward dan punishment” dalam pengelolaan hutan diharapkan mampu merubah cara pandang masyarakat secara meluas dalam rangka penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang berkeadilan untuk mendorong pengelolaan hutan dan lahan secara berkelanjutan di Papua Barat. Penegakan hukum dalam pengelolaan hukum sedianya diberlakukan dengan mengitegrasikan  prinsip yuridis, sosiologis dan fisolofis hukum itu senditi sehingga aspek ‘menyelesaikan’ masalah bisa berjalan degan adil dan memberikan ‘reward dan punishment’ secara tegas kepada pelanggar dan pelaksana hukum itu.

Arbitrasi memberikan ruang bagi semua pihak untuk duduk bersama tanpa paksaan dan tanpa tekanan membangun kesepakatan-kesepakatan hukum yang bersifat mengikat ‘punish dan reward’nya. Sehingga semua pihak mengerti dan menghormati kewajiban dan konsekuensi dari pelaksanaan aturan hukum dan pelanggaran dari aturan tersebut.

D.    Penegakan hukum dan Penyelesaian Sengketa dalam REDD+

REDD sebagai sebuah skema baru pengelolaan hutan dan lahan yang dikembangkan dari tata hutan dan lahan sebelumnya mensyarakat pra kondisi yang harus bisa diwujudkan oleh negara-negara berhutan untuk diberikan kompensasi. Pra kondisi tersebut diantaranya system pengelolaan hutan yang transparent, partifipatif dan accountable dan dilengkapi dengan mekanisme monitoring dan verifikasi yang bisa diaudit public. REDD juga memperhatikan isu sengketa lahan dan hutan. Dimana dalam negosiasi international muncul istilah ‘safeguard’ yang mengarah pada pengertian ‘jaminan’. Yang ditekankan adalah jaminan ‘sosial atau social safeguard dan jaminan keberlanjutan lingkungan atau environmental safeguard’. Artinya bahwa aspek penegakan hukum dalam dalam mengontrol jaminan tersebut harus tersedia.

Sebagaimana investasi pada pembangunan seperti yang ada sekarang dimana kontrak kerja atau kesepakatan ijin dan kesepakatan lain dibangun dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, REDD pun akan mengikuti pola yang sama berdasarkan aturan yang berlaku di negara. Hanya saja, ada penekanan pada proses partisipasi dan perjanjian ‘hak dan kewajiban’ dari pihak yang berinvestasi disini. REDD juga mensyarakat di sediakannya surat kesepakatan penyelesaian sengketa (arbitrasi) yang akan dipegang bersama dua pihak yang bersepakat sebagai kekuatan hukum yang mengikat untuk memastikan bahwa setiap pihak memiliki kewajiban untuk menghormati hak dan kewajiban masing-masing dan menyepakati bentuk ‘punish dan reward’ dari kegiatan yang dilakukan.

Lembaga arbiter pemerintah dan lembaga arbiter adat yang ada perlu di revitalisasi untuk secara kolaboratif bekerjasama menjembatani kesepakatan yang terbangun. Menjadi pengawas dan menjadi penengah ketika kedua belah pihak melanggar kesepakatan yang terbangun. Apabila sengketa yang terjadi berupa tindak pidana maka, arbiter akan memberikannya langsung kepada lembaga penegak hukum yang berwajib dalam hal ini Kepolisian. Arbiter diarahkan untuk menjadi satu unit koordinasi dibawah lembaga REDD yang akan memberikan ruang bagi semua kelompok peradilan seperti Jaksa, Hakim, Kepolisian, Notaris dan lembaga arbiter lain bersama dengan lembaga adat dan lembaga hukum international mengawal implementasi REDD di Papua Barat

Dalam pengertian REDD yang efektif dimana mekanisme pembagian manfaat dan pengakuan hak atas karbon menjadi kunci dan dikemas dengan system monitoring dan verifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu korupsi dan pelanggaran hukum dalam pengelolaan hutan menjadi perhatian. Mengemas system di daerah yang ‘trustable’ dengan transparansi palaporan dan pembagian manfaat financial yang didapat serta mekanisme tegas terhadap pelanggaran hukum menjadi kunci. “trus fund” diharapkan muncul sebagai unit dalam lembaga REDD daerah yang ‘public audits’ untuk menyediakan jaminan hukum dalam berinvestasi dalam memastikan manfaat yang terdistribusi secara adil


[1] `Yuliana Cahya Wulan, dkk. 2004. Analisis konflik Kehutanan  1997 – 2003. Dipublikasi oleh CIFOR.
[3] Lindon Pangkaly, 2006. Potret Hutan Papua.
[4] ICG, 2002. Sumber daya alam dan konflik di Papua. ICG Asia Reports No 39. Jakarta.
[5] Noer Fauzi Rachman. 2012. Dari konflik Agraria menuju reforma Agraria. Bahan presentasi.
[6] BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
[7] NURUL HAKIM, 2002. EFEKTIVITAS PELAKSANAAN SISTEM ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN LEMBAGA PERADILAN.

0 komentar:

Posting Komentar