My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.

Senin, 04 September 2017

Membangun Perhutanan Sosial di Papua Barat ? "Kita Harus Belajar Dari Kaimana dan Sorong Selatan"

Diskusi awal Pokja Percepatan Fasilitasi Perhutanan Sosial (PS) Provinsi Papua Barat, terbangun di Hotel Sahid Mariat Sorong Tanggal 30-31 Agustus dan disepakati beberapa agenda untuk difasilitasi oleh Pokja. Pokja yang sudah terbentuk melalui SK Gubernur Papua Barat No 522/105/6/2017 memberikan catatan baru upaya-upaya membangun ruang kelola masyarakat adat atas hutan. Pro kontra tentu masih tetap muncul. Sekalipun sudah terbentuk, masih banyak kekhawatiran bahwa kerja pokja dalam mengejar capaian luasan penetapan wilayah perhutanan Sosial di Papua Barat sama saja dengan "menggali lubang untuk mengubur diri sendiri". Di tuntut agar menjaga kualitas fasilitasi dan support yang intens pada kesiapan masyarakat adat sebagai object dan target program PS di Papua Barat ini tidak hanya dibanggakan karena kemampuan luas penetapan lokasi yang bisa dicapai, tetapi bagaimana lokasi-lokasi PS tersebut tumbuh dan berkembang menjadi unit-unit sosial ekonomi baru yang mampu menunjukan sinergitas pembangunan kehutanan antara adat di Papua dengan tata hutan yang disusun oleh negara. 

Pada titik ini, tentu beberapa fasilitator menyarankan agar Pokja mengambil waktu dan kembali belajar dari fasilitasi-fasilitasi yang sudah berjalan pada pembangunan site PS yang ada sekarang. Dua wilayah di Sorong Selatan yang masih aktif berjalan serta satu wilayah PS di Kaimana yang sudah tidak aktif bisa menjadi ruang belajar untuk menegaskan kembali rencana kerja pokja yang tepat tidak hanya pada mengejar penetapan lokasi tetapi memberikan layanan fasilitasi kepada lokasi-lokasi PS dan komunitas yang mendorongnya secara optimal.

Photo Hutan Kaimana

Apabil ditarik kembali, diskusi tentang Perhutanan Sosial di Papua Barat mulai berkembang sejak awal 2010. Diawali dengan inisiatif PHBM di Kaimana yang mencari peluang legal yang bisa dijadikan payung hukumnya. Explorasi kerangka legal pun sampai pada PERMENHUT No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Dimana skema ini yang cukup relefan untuk menjawab jalan buntu pengelolaan hutan alam primer di Papua oleh masyarakat, karena secara normative pemanfaatan hasil hutan alam primer di kawasan hutan produksi dan hutan lindung diperbolehkan didalam PERMENHUT tentang Hutan desa ini. Cita-cita dan harapan besar kemudian ditempatkan pada skema hutan desa di Papua Barat karena ruang legal pengelolaan hutan alam yang diberikan pada kondisi dimana belum ada PERDASUS Pengelolaan Hutan Berkelanjutan berbasis masyarakat adat yang tersedia dan berlaku untuk provinsi Papua Barat.

Sampai akhir Tahun 2015 sudah ada 3 hutan desa di Papua Barat yang ditetapkan yaitu, Hutan Desa Esania di Kaimana dengan Luas 11,005 ha, Hutan Desa Sira dan Mangroholo di Sorong Selatan dengan Luas Masing-masing: 4000 ha. Pasca penetapan kegiatan persiapan pengelolaan dilakukan untuk memenuhi prasyarat teknis dan institutional untuk pengajuan ijin pengelolaan di kedua Wilayah. Namun perkembangan berbeda terjadi di kedua wilayah tersebut. Kesamaan pada pengalaman sebagai wilayah expansi pengusahaan hutan oleh korporasi besar diwilayah ini tidak serta merta memberikan semangat yang sama untuk mendorong kemandirian pengelolaan hutan di tingkat masyarakat adatnya. Proses lanjutan pasca penetapan SK Hutan Desa di Kaimana tertunda sedangkan di Sorong Selatan kegiatan tersebut terus berlanjut dengan target-target pengusulan ijin pengelolaan yang disepakati bersama masyarakat. Tentunya menarik untuk melihat lebih jauh kenapa kemudian perkembangan berbeda terjadi pada kedua wilayah tersebut yang sejak awal proses inisiasi difasilitasi aktif lewat support pendanaan dari Lembaga Non Pemerintah.

Lihat juga: http://tapakbatas.blogspot.co.id/2010/09/membangun-peta-jalan-pembangunan-hutan.html

Refleksi, review dan diskusi dengan teman-teman pendamping yang dilakukan selama Tahun 2012 – 2017 menunjukan bahwa setidaknya ada 7 prasyarat utama yang memungkin pembangunan Perhutanan Sosial berjalan efektif di Papua Barat yaitu:
  1. Klarifikasi dan pengakuan hak atas ruang adat serta mendudukan pemahaman dasar tentang konteks legal pengelolaan sumber daya hutan didalam claim hak adat yang kuat. 
  2. Konsolidasi social, kepemilikan pekerjaan di tingkat masyarakat dan pembangunan pra kondisi di tingkat masyarakat termasuk penyamaan perspective dan visi business kehutanan di di tingkat masyarakat.
  3. Peran dan partisipasi aktif pemerintah sebagai aktor utama yang mendorong fasilitasi aktif semua pekerjaan terkait hutan desa di daerah. 
  4. Pemenuhan prasyarat teknis dan legal sebagai kebutuhan pengusulan penetepan areal kerja sampai dengan kebutuhan pengelolaan wilayah. Dinis juga back up regulasi daerah yang mendukung pembangunan Perhutanan Sosial.
  5. Kesiapan tenaga pendamping dalam hal pengetahuan issue, kebutuhan teknis dan teknis fasilitasi masyarakat. 
  6. Kepastian dukungan pendanaan dan prioritas support yang disediakan secara local melalui pendaan pemerintah 
  7. Potensi hasil hutan yang siap dikelola dan secara ekonomi memberikan manfaat untuk mendorong perubahan kesejahteraan masyarakat di kampung. 

Pendampingan dan support secara berlanjut dalam strategi transfer pengetahuan dan kemampuan kepada masyarakat dan konsolidasi internal di tingkat masyarakat untuk menjalankan pekerjaan Hutan Desa atas dasar kebutuhan adalah hal-hal mendasar yang tidak berjalan optimal di Kaimana. Kami belajar bahwa perhatian pemerintah yang minim, respon masyarakat yang masih melihat inisiatif hutan desa dari sisi project NGO dan gagalnya fasilitator menjalankan fungsi dan peran pendampingan yang baik adalah factor dominan kenapa kemudian hutan desa Esania harus tertunda proses lanjutan. Hal sedikit berbeda terjadi di Sorong Selatan, dimana proses pendampingan, peran aktif pemerintah daerah dan UPT Kementerian Kehutanan serta peran aktif beberapa masyarakat telah mendorong proses persiapan, usulan penetapan areal kerja sampai dengan persiapan pengelolaan sampai saat ini masih berjalan. 

Baik Kaimana maupun Sorong Selatan memberikan ruang dan kasus belajar yang baik untuk inisiasi-inisasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Papua. 7 prasyarat pemungkin diatas perlu menjadi pilar dan rujukuan untuk menguji sejauhmana pilihan skema legal dan kondisi pendukungnya telah siap dan akan memberikan pengaruh penting pada pembangunan skema pengelolaan hutan di Tanah Papua. 


Aspek kemandirian pendanaan local dan mekanisme pendanaan yang harus dikembangkan oleh pemerintah untuk memberikan support aktif kepada inisiatif yang muncul juga menjadi sumber daya pendukung utama yang harus disediakan untuk mensupport keseluruhan proses fasilitasi hutan desa. Pengalaman Samdhana di Kaimana menunjukan bahwa untuk memenuhi semua kondisi pemungkinan diatas paling tidak membutuhan kurang lebih 2,5 milliar rupiah – 3 milliar rupiah untuk memfasilitasi pekerjaan teknis dan social untuk memenuhi kewajiaban legal yang dipenuhi masyarakat. Serta proses pendampingan yang harus dilakukan minimal 3 – 5 tahun untuk mengukur progress perubahan pada aspek social, ekonomi di tingkat masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar